Djoko Saryono *
Estetika bisa kita hampiri secara kolektif dan individual. Penghampiran kolektif tentu saja menfokuskan dan mencandra aspek, dimensi, dan ciri-ciri umum atau generik objek dan gejala estetika. Personalitas, otonomi, dan subjektivitas orang per orang tidak dinomorsatukan atau diutamakan. Sebaliknya, penghampiran individual menekankan dan memerikan aspek, dimensi, dan ciri-ciri khusus atau partikular objek dan gejala estetika. Otonomi dan subjektivitas orang perorang diutamakan serta kolektivitas dikemudiankan. Kita bisa mengombinasikan dua penghampiran estetika tersebut, yaitu penghampiran kolektif dipadu penghampiran individual atau penghampiran individual dibingkai wawasan penghampiran kolektif.
Atas dasar penghampiran individual, kita kemudian menyebut adanya estetika Hegel, estetika Bharata, estetika al-Ghazali, estetika Hamzah Fanzuri, estetika Raja Ali Haji, estetika Danarto, dan seterusnya. Berlandaskan penghampiran kolektif, kita lalu menyebut adanya estetika Timur, estetika Barat, Asia Barat, estetika India, estetika Melayu, dan seterusnya. Kalau kita mengulas estetika Timur, kemudian di dalamnya kita mengulas estetika Bharata, estetika Hamzah Fanzuri, estetika Ronggowarsita, dan estetika Hasan Mustapha berarti kita menggunakan penghampiran kolektif yang dipadu dengan penghampiran individual.
Sebutan estetika Jawa jelas didasarkan penghampiran kolektif. Sosok estetika Jawa ditarik dari aspek, dimensi, dan ciri-ciri umum yang apa dirasakan, dicerap, dan diterima oleh manusia Jawa sebagai objek dan gejala estetika Jawa. Dari sinilah kita tahu, bagi manusia Jawa, estetika Jawa berkenaan dengan keindahan dan keelokan, endah lan elok, suatu objek dan gejala estetis dalam pandangan manusia Jawa. Keindahan dan keelokan itu – dirasakan oleh manusia Jawa – menerobos kulit objek dan gejala estetika Jawa sehingga keindahan dan keelokan Jawa itu melampaui bentuk atau wadag estetika.
Seperti umumnya tradisi sastra Timur sebagaimana diutarakan oleh Nasr dan khususnya tradisi sastra Jawa seperti dikatakan oleh Teeuw, Wiryamartana, dan Zoetmulder – keindahan dan keelokan Jawa terikat erat atau tidak terlepas sama sekali dengan spiritualitas, filosofi, dan etika Jawa. Sebagai misal, filsuf Frans Magnis-Suseno yang suntuk dan kasmaran kepada kebudayaan Jawa khususnya etika Jawa –dalam buku monumentalnya Etika Jawa – sampai pada simpulan berikut. “… halus dan kasar pertama-tama merupakan kategori estetis. Apa yang halus itu juga indah dan yang kasar juga rupanya jelek. Dengan demikian, penilaian tentang baik dan buruk berdekatan dengan penilaian estetis. Karena yang baik hanya terlaksana dalam keadaan keselarasan sempurna, dan karena yang buruk selalu merupakan gangguan terhadap keselarasan itu, maka langsung dapat dimengerti bahwa yang baik itu indah dan yang buruk kelihatan jelek.
Itu sebabnya, dalam kebudayaan Jawa, keindahan dan keelokan berkoeksistensi mutualistis dengan kekudusan dan kesucian (sebagai poros nilai religius atau spiritual Jawa), kebenaran dan ketepatan (sebagai poros nilai filosofis Jawa), dan kebaikan dan kesopansantunan atau kepantasan sebagai poros nilai etis Jawa). Di sinilah masing-masing poros nilai kebudayaan Jawa saling mendukung dan menghargai, tidak berbenturan terus-menerus, misalnya pengalaman estetis mendukung tercapainya pengalaman religius; momen estetis terdorong ke momen religius.
Telah ditunjukkan dengan baik oleh Wiryamartana dalam Aspek-aspek Estetik (1986) dan Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuno lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa (1990) dan Zoetmulder dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983), keterkaitan atau keterjalainan berbagai nilai dasar kebudayaan Jawa tersebut tampak sangat kuat dalam sastra Jawa Kuno. Kualitas estetis sastra Jawa Kuno menemukan puncaknya dalam kualitas religius (kalangon) dan momen estetis sastra Jawa Kuno mencapai puncaknya dalam momen religius.
Demikian juga telah ditunjukkan oleh Sudewo dalam Serat Panitisastra (1991), Simuh dalam Wirid Hidayat Jati: Mistik Islam Kejawen R.Ng. Ronggaowarsita (1985) dan Sufisme Jawa (1995), Darusuprapto, dkk. dalam Ajaran Moral dalam Susastra Suluk (1990), dan Florida dalam Pada Tembok Keraton Ada Pintu: Unsur Santri dalam Dunia Kapujanggan “Klasik” di Keraton Surakarta (1996), dalam sastra Jawa Zaman Pertengahan atau Zaman Mataram-Islam tampak keterkaitan mutualistis di antara nilai dasar estetika Jawa, religiositas Jawa, filosofi Jawa, dan etika Jawa. Kualitas estetis bersepadu dengan kualitas etis, filosofis, dan religius.
Bahkan Sapardi Djoko Damono dalam Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Isi, Fungsi, dan Struktur (1993) dan Quinn dalam Novel Berbahasa Jawa (1992) juga menunjukkan bahwa dalam batas-batas tertentu novel-novel Jawa modern masih memperlihatkan jejak-jejak keterkaitan mutualistis antara berbagai nilai dasar estetika, etika, filosofi, dan religiositas Jawa. Nilai keindahan dan keelokan novel Jawa modern tetap tidak bisa melepaskan diri dari (beban saling mendukung dan menghargai) nilai kebaikan, kepantasan, kebenaran, ketepatan, dan kekudusan serta kesucian menurut perasaan dan pandangan manusia Jawa.
Implikasi semua itu adalah bahwa yang indah dan elok (dapat) menjangkau makna yang baik, pantas, benar, tepat, kudus, dan atau suci dalam kebudayaan Jawa. Di sinilah setiap perbincangan keindahan dan keelokan Jawa tidak bisa meninggalkan pembicaraan tentang dimensi-dimensi kebaikan, kebenaran, dan kekudusan menurut manusia Jawa – persatuan estetika, etika, filosofi, dan religiositas Jawa tidak dapat dipisahkan meskipun dapat dibedakan. Sebab itu, boleh disimpulkan, pada dasarnya estetika Jawa berciri holistis-integratif, dalam arti (bisa) menjangkau atau menembus dimensi etis, filosofis, dan religius yang imaterial-metafisis, bukan semata-mata dimensi estetis ansich yang material-fisis-literer (bentuk atau wadag belaka). Estetika Jawa menerobos-menembus kulit-kulit objek dan gelaja keindahan dan keelokan yang dirasakan manusia Jawa.
***
______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
One Reply to “KEINDAHAN-KEELOKAN JAWA DALAM SASTRA (1)”