Djoko Saryono *
Dalam pandangan manusia Jawa, keindahan dan keelokan bukan hanya sesuatu yang sudah jadi, melainkan juga sesuatu yang mengada dan menjadi. Meminjam istilah Erich Fromm, keindahan dan keelokan itu bukan hanya sesuatu yang being, tetapi juga sesuatu yang to be dan to become. Keindahan dan keelokan mengada dan menjadi jika – menurut seorang ahli sastra Jawa Tanojo – terjadi jumbuhing rasa lan kang dirasakake dan atau – menurut seorang penulis sastra Dwidjosumarto – terjadi manunggaling suraos lan wangun.
Secara lugas wangun berarti bentuk, sedangkan kang dirasakake berarti yang dirasakan (yang bisa berupa bentuk dan isi). Di sini kang dirasakake dan wangun dapat disepadankan dengan objek estetis atau dapat disebut penanda-penanda tekstual baik tekstual samping maupun tekstual utama. Dalam konteks ini, objek estetis dapat dipahami sebagai kesenian Jawa. Sebagai objek estetis, kesenian Jawa dapat disebut indah dan elok bilamana ia mengandung wangun dan kang dirasakake yang sesuai dengan norma-norma rasa dan suraos estetis Jawa pada satu sisi. Pada sisi lain bilamana ia mampu meluluhkan dan meleburkan rasa dan suraos ke dalam wangun dan kang dirasakake.
Hal tersebut oleh Dwidjosumarto, seorang penulis buku sastra Jawa, diibaratkan kemanunggalan bunga dengan wanginya (Rerengganing kasusastran punika boten madeg pribadi utawi boten misah nanging nunggil lan suraos, kadosdene manunggaling sekar lan wanginipun). Jadi, objek estetis Jawa atau kesenian Jawa – khususnya sastra atau disebut kagunan basa dalam bahasa Jawa – bernilai indah dan elok sekali bilamana kandungan wangun dan kang dirasakake (bentuk dan isi) mampu mendorong rasa dan suraos penikmat atau pembaca – bahkan juga sastrawan – luluh dan lebur ke dalam wangun dan kang dirasakake.
Itu dimungkinkan jika norma-norma atau kaidah-kaidah estetik Jawa ditaati dan diikuti, bukan disimpangi dan diberontaki. Pesan tersiratnya, kestabilan (dalam arti keteraturan, ketertiban, kelengkapan) diutamakan, bahkan dinomorsatukan dalam estetika Jawa. Penyimpangan dan pemberontakan terbuka yang menghasilkan ketidakstabilan (dalam arti ketidakteraturan, ketidaktertiban, ketidaklengkapan) dihindari, bahkan tidak dibolehkan dalam estetika Jawa. Di sinilah terlihat betapa pentingnya kemapanan-keselarasan-kebersamaan di dalam estetika Jawa.
Maka dari itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa estetika Jawa pada hakikatnya merupakan estetika kemapanan-keselarasan-kebersamaan. Di dalam estetika ini ihwal kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan menjadi lokus atau intisari keindahan dan keelokan. Artinya, dalam pandangan manusia Jawa, sesuatu yang dianggap atau dipandang indah dan elok adalah sesuatu yang mapan-selaras-bersama. Misalnya, sastra yang indah dan elok adalah sastra yang mapan-selaras-bersama, sebagaimana ditegaskan oleh Padmosoekotjo dalam buku Ngengrengan Kasusastran Jawa. Demikian juga gending – musik perkusi pentatonis Jawa – yang indah dan elok adalah yang mapan-selaras-bersama, terbukti dari namanya laras pelog–laras slendro dan tidak adanya tonjolan-tonjolan atau dominasi salah satu jenis perangkat gending. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa estetika Jawa dalam berpusat pada kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan di antara elemen-elemen sastra.
***
Sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/06/keindahan-keelokan-jawa-dalam-sastra-1/
______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
One Reply to “KEINDAHAN-KEELOKAN JAWA DALAM SASTRA (2)”