KEINDAHAN-KEELOKAN JAWA DALAM SASTRA (5)

Djoko Saryono *

/1/
Sesudah keterpesonaan Jawa, saya ingin mendedah atau menggali lebih dalam keterhanyutan ala Jawa dalam sastra. Hal ini sangat penting karena nilai keterpesonaan Jawa tidak dapat dipisahkan dengan nilai keterhanyutan. Bahkan dapat dikatakan, nilai keterhanyutan merupakan dimensi yang lebih subtil, sublim, dan spiritual daripada nilai keterpesonaan. Malah ia biasa disebut tahap estetis yang lebih tinggi.

Nilai keterhanyutan manusia Jawa berkenaan dengan kemengaliran, keterbawaan, dan atau kelaratan rasa manusia Jawa pada waktu berjumpa atau bersatu dengan objek estetis sehingga rasa itu terangkat, lebur, dan atau luluh ke dalam situasi dan keadaan penuh keindahan dan keelokan yang sublim, spiritual, dan atau transenden. Hal ini berarti, manusia Jawa yang mengalir, terbawa, dan atau larat pada waktu bersatu dengan kesenian Jawa hingga lebur atau luluh dengan situasi dan keadaan indah dan elok yang subtil, sublime, dan transeden dapat disebut manusia terhanyut atau dalam keterhanyutan.

Sebagai contoh, jika orang Jawa menikmati wayang kulit atau macapat hingga mereka bisa mengalami sublimasi dan transendensi, maka dia dapat disebut terhanyut oleh keindahan dan keelokan, yakni manunggal dengan keindahan dan keelokan wayang kulit atau macapat tersebut. Jika orang Jawa begitu suntuk menikmati gending-gending Jawa hingga merasa terbawa dan terseret suasana dan rasa gending-gending itu, maka orang itu dapat dikatakan sedang terhanyut; berada di dalam keterhanyutan.

Dalam budaya Jawa, nilai keterhanyutan tersebut terartikulasi dan termanifestasi terutama dalam konsep lengeng, lengleng, kalangon, kalangwan, jalal, jamal, kamil, kamal, enges, dan nges. Konsep lengeng, lengleng, kalangwan, dan kalangon, yang merupakan warisan berharga estetika India, berarti terbenam atau tenggelam ke dalam keindahan dan keelokan yang sublim dan transenden atau spiritual. Kemudian konsep jalal, jamal,kamil, dan kamal, yang merupakan warisan sangat berharga (dari estetika) Islam, berarti keagungan, keindahan, kesempurnaan, dan sempurnanya kemanunggalan keagungan dan keindahan yang tiada tepermanai dan tiada tara.

Selanjutnya, konsep enges atau nges, yang boleh dikatakan local genius budaya Jawa, berarti keharuan yang mengalirkan dan atau membawa manusia Jawa ke dalam situasi dan keadaan yang tidak tepermanai, dan yang bebas dari kepentingan instrumental atau yang sublimatif. Dalam wayang kulit Jawa, pertunjukan dan dalang yang baik adalah pertunjukan dan dalang yang enges atau nges, bisa menimbulkan keharuan yang sublimatif kepada penonton. Dalam novel-novel Jawa modern, enges atau nges tetap penting sebagai satuan nilai estetis novel Jawa. Novel-novel Jawa modern tetap memanfaatkan enges atau nges untuk mem- bangun bobot estetik. Karena itu, dapat dikatakan bahwa nilai kehanyutan Jawa dapat dijabarkan ke dalam nilai keharuan dan nilai ketenggelaman akan keindahan dan keelokan.

/2/
Seperti sudah disinggung di atas, nilai keharuan ala Jawa berkenaan dengan rasa keterpakuan, kerawanan, keterpanaan, ketakbisa-berpalingan, keterbawaan, dan atau keturutan hati manusia Jawa pada waktu bertemu dan atau bersatu dengan objek estetis, yang dalam hal ini kesenian Jawa. Objek estetis Jawa yang memungkinkan penikmatnya terpaku, rawan hati, jatuh hati, tak bisa berpaling, dan atau turut dapat disebut mengandung bobot (kualitas) keharuan, yang sekaligus indah.

Dalam konteks tersebut penikmat benar-benar dapat turut serta merasakan segala yang ada di dalam objek estetis. Demikian juga seniman Jawa yang mampu membuat penikmatnya (pembaca, penonton, dan pendengar) rawan hati, terpadu, dan atau tidak bisa berpaling melalui karyanya dapat disebut seniman yang membangkitkan keharuan sekaligus keindahan. Keharuan ini bisa bersifat sublimatif ataupun transenden.

Keharuan sublimatif terartikulasi atau tereksternalisasi dalam konsep enges atau nges, sedang keharuan transenden terartikulasi dan tereksternalisasi dalam konsep jalal dan jamal. Agar dapat disebut indah, karya seni Jawa setidak-tidaknya harus mengandung bobot enges atau nges, lebih-lebih lagi bila mengandung bobot jalal dan jamal. Begitu juga, agar dapat disebut seniman baik atau unggul, seniman Jawa harus mampu menciptakan bobot enges atau nges, lebih-lebih bobot jalal dan jamal, dalam karya seninya.

Karya seni Jawa yang tidak mengandung bobot enges, nges, jalal, dan atau jamal bukanlah karya seni yang indah dan baik; demikian pula seniman yang tidak mampu menciptakan bobot enges, nges, jalal, dan atau jamal dalam karyanya tidak dapat disebut seniman yang baik, bagus, dan unggul. Oleh karena itu, Quinn, yang mengutip pendapat Panudju, seorang penulis Jawa, menyatakan bahwa nilai keharuan (baik enges, nges, jalal maupun jamal) merupakan aspek penting dari indah dalam budaya Jawa.

/3/
Keharuan yang sedemikian intens, sublim, kontem- platif, transenden, dan “dahsyat tiada terperi” dapat membawa atau mendorong manusia Jawa ke dalam ketenggelaman. Sebab itu, bisa dikatakan bahwa nilai ketenggelaman merupakan pencerahan lanjut nilai keharuan manusia Jawa. Nilai ketenggelaman manusia Jawa di sini berkenaan dengan keterserapan, ketersedotan, keterbenaman, kekaraman di dasar, “kelenyapan”, dan atau ketakmauberpalingan rasa (batin) manusia Jawa pada waktu berjumpa atau bersatu dengan objek estetis, yang dalam hal ini kesenian Jawa

Di dalam ketenggelaman itulah, manusia Jawa membiarkan dan merelakan rasa batinnya terserap, tersedot, terbenam, karam, dan atau lenyap ke dalam objek estetis sehingga dia berasa menyatu dengan objek estetis itu. Dalam tradisi kakawin Jawa Kuno, ketenggelaman ini disebut lengeng, lengleng, dan kalangon). Lengeng dan lengleng berarti tenggelam tiada daya dalam keindahaan, sedang kalangon berarti tenggelam dalam keindahan transenden, bahkan keindahanan religius.

Dalam tradisi kesenian Islam Jawa, misalnya manakiban, barjanjen, slawatan, dibaan, dan srokal, ketenggelaman ini dapat disebut jamal (keindahan yang menghanyutkan atau membuat orang “ekstase’) dan terutama kamal (keindahan-keagungan yang paling maha- sempurna). Dalam tradisi kesenian Jawa modern pada umumnya, tampaknya tidak terdapat istilah atau konsep yang menjadi pusat nilai ketenggelaman.

Istilah Jawa modern yang mendekati istilah-istilah tersebut adalah nglangut dan nglangen (klangen, klangenan); keadaan nglangut dan nglangen membawa, menyerap, dan menyedot manusia ke dalam keindahan tidak tepermanai. Bobot lengleng, lengeng, kalangon, jamal, kamal, nglangut, dan atau nglangen tersebut dapat dikatakan merupakan puncak nilai estetis Jawa, yang melewati atau mengatasi bobot ngeh, greget, banyol, sem, nges, dan sebagainya, sebab dalam bobot ini manusia Jawa (baik seniman maupun penikmat) tergulung dan “lenyap” ke dalam keindahan dan keelokan agung yang benar-benar tidak tepermanai, yakni keindahan yang sudah berpadu dengan nilai filosofis dan religius yang transenden. Jika suatu karya seni Jawa mampu menawan, jamal, kamal, nglangut, dan atau klangen, maka karya seni itu dapat disebut sebagai karya yang indah dan elok sekali.

Demikian juga jika seniman Jawa mampu menciptakan karya yang mampu membuat dirinya dan penikmatnya berada dalam keadaan lengeng, lengleng, kalangon, jamal, kamal, nglangut, dan atau klangen, maka seniman itu dapat disebut seniman yang baik, hebat, bahkan unggul. Perlu ditambahkan di sini bahwa pencapaian nilai ketenggelaman tersebut tidak mudah sehingga jarang seniman Jawa dan karya seni Jawa mencapai bobot nilai ketenggelaman. Akan tetapi, patut dipahami, setiap opus magnum karya seni Jawa selalu mengandung bobot ketenggelaman dan setiap seniman empu, master, mampu menciptakan karya yang berbobot nilai ketenggelaman tersebut.

Masih bersambung…

Sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/06/keindahan-keelokan-jawa-dalam-sastra-4/

______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

One Reply to “KEINDAHAN-KEELOKAN JAWA DALAM SASTRA (5)”

Leave a Reply

Bahasa »