KEINDAHAN-KEELOKAN JAWA DALAM SASTRA (7)

Djoko Saryono *

Oleh sebab berbagai faktor, sastra Indonesia banyak memantulkan jejak estetika Jawa, membayangkan keindahan dan keelokan Jawa. Cukup banyak bangunan literer atau puitis sastra Indonesia yang bertumpu atau berpusat kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan ala Jawa. ¬Jika disikapi secara tentang dengan tidak terburu-buru menghubungkannya dengan nilai estetis Barat atau estetika Barat, maka di dalam teks Pengakuan Pariyem, Para Priyayi, Tirai Menu¬run, Ronggeng Dukuh Paruk, Burung-burung Manyar, Durga Umayi, Burung-burung Rantau, Pasar, dan Kotbah di Atas Bukit, bahkan teks Amba – sekadar sebagai contoh – akan dapat kita rasakan atau ketahui adanya sinyal-sinyal kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan sebagai entitas keindahan dan keelokan Jawa.

Secara filosofis, dapat dikatakan, pada dasarnya berbagai teks tersebut memantulkan jejak kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan. Konflik-konflik dan masalah-masalah yang terdapat di dalam berbagai teks tersebut, tidak pernah dominan dan mendasari (menguasai, mengendalikan) seluruh teks, hanya meru-pakan sebuah unsur katarsis dan inisiasi – penyucian, penyembuhan, dan pentahbisan – sehingga tidak mengganggu atau merusak bangunan literer kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan. Malah dapat dikatakan di sini bahwa kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan menjadi obsesi utama teks atau pengarang teks tersebut yang tidak jarang berdampak pada struktur atau komposisi literer teks.

Tak heran, semua kisah-berita dalam pelbagai teks tersebut selalu berakhir dengan kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan. Sebagai contoh, teks Pengakuan Pariyem berakhir dengan mapan-selaras-bersamanya dunia Pariyem yang orang kecil Wonosari Gunung Kidul dengan dunia Cokro Sentono yang priyayi luhur Ngayogyakarta. Konflik dapat dikatakan hampir tidak ada dalam teks. Pergerakan alur berlangsung secara datar, lamban, dan tidak ada tonjolan-tonjolan yang kuat. Teks Para Priyayi juga berakhir dengan mapan-selaras-bersamanya dunia Sastrodarsono, Noegroho, Hardojo, Soemini, Lantip, Marie, Harymurti, dan Halimah yang sebe¬lumnya sempat tercerai-berai oleh berbagai kepentingan permukaan kehidupan; mapan-selaras-bersamanya tiga generasi yang masing-masing sebenarnya memiliki visi dan obsesi serta sejarah berbeda. Di dalam teks Para Priyayi dan Jalan Menikung pergerakan alur juga berlangsung secara sangat datar, tidak tampak kuat tonjolan-tonjolan karakter, dan penuh lanturan deskripsi antropologis Jawa. Teks trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Ke¬mukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala berakhir dengan mapan-selaras-bersamanya dunia Dukuh Paruk [yang sebelumnya terbelakang, melarat, primitif, mesianistis, merangkak lamban, bahkan jahiliah dan musyrik] ke dalam pangkuan kesadaran sejati Tuhan Yang Mahaesa, ke dalam religiositas dan moralitas islami-kultural, berkat bantuan Rasus.

Demikian juga teks Burung-burung Manyar dan Durga Umayi serta Burung-burung Rantau karya Mangunwijaya yang dianggap mewartakan dunia nasional, trans-nasional, dan tran¬skultural yang penuh perbenturan dan keindividualan berakhir dengan kemapanan, keselaran, dan kebersamaan. Di dalam Burung-Burung Manyar, pada akhirnya dunia Setadewa (Teto) yang Belanda (musuh republik) memerlukan dan menemukan kemapanan-keselarasan-kebersamaan dengan dunia Larasati (Atik), Janakatamsi (Jana), dan anak-anak Atik-Jana yang Indonesia. Setadewa yang berwatak antroposentris-sekular mencapai kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan dengan dunia Atik-Jana yang berwatak antropohumanistis-spiritual. Di sini terlihat Setadewa mencapai persatuan dengan spiritualitas, suatu persatuan mistis, unio mystica. Dalam Durga Umayi, Iin Sulinda yang sudah melanglang dunia pada akhirnya memerlukan sekaligus mencapai kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan dengan saudara kembarnya yang petani desa yang tanahnya justru akan dilumat-digusurnya. Di dalam Burung-burung Rantau,¬ dunia transnasional dan transkultural anak-anak Letjen Wiranto – Bowo, Candra, Anggi, dan Neti – mencapai kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan dengan dunia Yuniati – sang induk yang Jawa ternyata menjadi tempat pulang anak-anaknya yang merantau ke berbagai dunia, budaya, dan peradab¬an. Membaca keseluruhan teks gubahan Mangunwijaya tersebut, kita serasa menonton pertunjukan wayang Jawa.

Hal yang relatif sama pada dasarnya juga dapat dike¬nakan pada teks Tirai Menurun karya Nh Dini. Bangunan teks fiksional ini dapat juga disebut roman-berbentuk-wayang karena bangunan struktur teks ini mirip sekali, bahkan sepadan dengan bangunan struktur lakon (atau pertunjukan) wayang. Seperti halnya Durga Umayi, dalam sampul belakang Tirai Menurun dikemukakan antara lain bahwa “Disusun seperti adegan-adegan pertunjukan wayang orang, Tirai Menurun menyuguhkan babak demi babak kehidupan empat tokohnya: Kedasih, Kintel, Sumirat, dan Wardoyo … Sang dalang berhak mengatur serta merangkai alur cerita dan peristiwa di pentas. Tanpa sadar, di panggung kehidupan ia terjerat oleh rangkaiannya sendiri. Namun, dialah yang mengakhiri pertunjukan. Dia sempat menancapkan gunungan di tengah-tengah layar: Tancep Kayon.” Kemudian di dalam sampul depan terdapat gambar dua orang yang berdandan sebagai tokoh wayang orang, gambar gunungan yang biasa dipakai di dalam wayang kulit, dan gambar naga yang biasanya menghias tiang penyangga seperangkat gong. Selanjut¬nya, dalam halaman berikutnya ada persembahan karya bagi tokoh-tokoh besar kesenian Jawa: Kepada tokoh-tokoh yang kukagumi: Kusni Cokromino¬to, Nartosabdo, Bagong Kussudiardjo. Halaman berikutnya lagi ada kutipan butir-butir kawruh Jawa atau ajaran Jawa yang sudah sangat terkenal yang disusun terbalik: Rame ing gawe, sepi ing pamrih, memayu hayuning bawono. Seperti halnya struktur naratif Burung-burung Manyar, bahkan struktur naratif Tirai Menurun dibagi menjadi tiga bagian yang masing-masing analog dengan pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura dalam wayang. Penanda-penanda teks tersebut memperlihatkan adanya estetika wayang Jawa dalam teks Tirai Menurun.

Selanjutnya, dalam teks Pasar karya Kuntowijoyo pada akhirnya Pak Mantri Pasar dan Paijo – yang pergerakan ceritanya begitu lamban – mencapai kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan setelah melalui berbagai perjuangan mengendalikan diri (jagat kecil, mikrokosmos) untuk mengendalikan dunia luar (jagat besar, makrokosmos) yang berupa pasar. Adapun dalam Kotbah di Atas Bukit pada akhirnya si tua Barman yang kaya raya mencapai kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan setelah melalui perjuangan membersihkan dan mengendalikan diri dengan kehidupan asketis atau zuhud guna me¬nguasai ngelmu kasampurnaning urip lewat guru Humam. Barman melambangkan sosok yang mencari kesempurnaan hidup ala Jawa, yang berakar pada religiositas Jawa.

Sementara itu, pantulan keindahan-keelokan Jawa dalam bangunan literer teks Perburuan, Bu¬mi Manusia, Pasar, Ibu Sinder, dan Perjanjian dengan Maut juga terlihat meskipun tak terlalu kuat dan tak menonjol, dalam arti langsung, lugas, dan ter-surat. Meskipun demikian, dalam batas-batas tertentu kelima teks tersebut dapat dikatakan masih atau tetap memantulkan atau estetika Jawa secara signifikan – dalam arti tersirat, tersorot, dan tersembunyi. Perburuan, misalnya, secara tersirat dan tersorot menampilkan estetika wayang. Pergerakan cerita dalam Perburuan lakasana struktur naratif wayang. Bahkan novel mutakhir Indonesia berjudul Amba karya Laksmi Pamuntjak juga meninggalkan jejak struktur naratif wayang, paling tidak meneladani struktur wayang sebagaimana tampak pada jalan hidup tokoh utama Amba dan Bisma.

Pelbagai contoh tersebut memperlihatkan bahwa pada hakikatnya bangunan teks fiksi Indonesia yang disebut di atas masih dikendalikan atau didasari oleh nilai estetis kemapanan, keselarasan, dan kemapanan yang menjadi pusat estetika Jawa. Setidak-tidaknya pengarangnya masih berobsesi dan berusaha menggunakan kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan sebagai dasar penciptaan teks. Dari sinilah dapat dikatakan bahwa bangunan teks fiksi Indonesia banyak yang memantulkan jejak keindahan Jawa.

Masih bersambung…
Sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/06/keindahan-keelokan-jawa-dalam-sastra-6/

______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

One Reply to “KEINDAHAN-KEELOKAN JAWA DALAM SASTRA (7)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *