Keindahan dan keelokan wayang purwa Jawa cukup banyak terpantul dalam teks-teks sastra Indonesia. Ini karena cukup banyak pengarang Indonesia gemar menggunakan keindahan dan keelokan wayang purwa Jawa sebagai pengucapan artistik atau literer karya mereka. Sebagai contoh, keindahan dan keelokan wayang purwa Jawa menjadi struktur lahir dan struktur batin novel Durga Umayi karya Mangunwijaya. Jika disimak secara cermat, tanpa harus terburu-buru menganggap sebagai teks eksperimen pascamodern (walau boleh saja menganggapnya demikian dalam paradigma pascamodernisme), dapat kita ketahui bahwasanya Durga Umayi menyorotkan keindahan dan keelokan wayang purwa dengan sangat kuat.
Secara lugas dan tersurat, keindahan dan keelokan wayang purwa sudah tampak pada keterangan di dalam sampul belakang teks Durga Umayi yang berbunyi, “Mengambil dasar dari mitologi Jawa dengan pelaku simbolis namun berakar pada fakta sejarah”. Sampul depannya juga diberi gambar beberapa tokoh wayang. Demikian juga pada awal tiap-tiap bab diberi ilustrasi gambar tokoh wayang yang berbeda-beda: ada tokoh Batari Durga, Dewi Umayi, dan Togog.
Judul teks Durga Umayi sendiri berasal dari satu (diri) tokoh wayang dengan dua nama yang mewakili watak dan kepribadian berbeda, yaitu Batari Durga dan Dewi Umayi – satu hal yang menurut logika modern Barat menggambarkan suatu sistem oposisi biner atau paradoks luar biasa, tetapi sebenar¬nya berpasangan komplementer menurut logika (orang) Jawa. Mengapa begitu? Sebab menurut logika (orang) Jawa, segala sesuatu (selalu) berpasangan komplementer (saling melengkapi): kebaikan-keburukan, kejahatan-kebaikan, kehidupan-kematian, kebenaran-kesetiaan, kesetiaan-kecintaan, kawula-gusti, Pendawa-Kurawa, Rahwana-Rama, dan Kumbokarno-Wibisana bukan oposisi biner, melainkan pasangan komplementer yang sama-sama dibutuhkan dalam hidup dan kehidupan manusia. Hal ini mirip sekali dengan infinita kembar, yin-yang menurut logika Cina, dan jalal-jamal yang menyatu di dalam kamil menurut logika (tasawuf) Islam.
Selanjutnya, dalam pembukaan teks Durga Umayi diberi prawayang yang tampak¬nya ber¬fungsi sebagai bingkai atau balungan cerita atau bangunan dasar cerita yang diksi dan gaya bahasanya mirip dengan suluk/sulukan dalang wayang purwa pada waktu mulai mendalang atau memainkan lakon. Prawayang tampak juga berfungsi menjelaskan watak tokoh utama dengan menggunakan model Batari Durga dan Dewi Umayi. Lebih lanjut, dasanama yang biasanya ada di dalam wayang atau sastra Jawa juga digunakan untuk membangun identitas tokoh utamanya. Tokoh utama dalam teks Durga Umayi mempu¬nyai nama berma¬cam-macam, yaitu antara lain Iin Sulinda, Linda, Tiwi, Pertiwi Nusamusbida, Tante Wi, Nussy, Cik Bi, dan Iin Pertiwi Nusamusbida yang pemakaiannya bergantung pada peran sosiopolitis dan sosiokultural yang sedang dimainkan¬ dan atau diembannya.
Itu semua sangat mirip dengan tradisi dasa¬nama dalam wayang dan sastra Jawa karena tokoh-tokoh wayang umumnya memiliki dasanama. Mi¬salnya, satria lelananing jagad di negeri Madukara memiliki atau menyandang nama Janaka, Arjuna, Dananjaya, (Begawan) Mintaraga, (Begawan) Ciptoning, Parta, Pamade, Bambang Kendiwratnala, Margana, Endraputra, dan Prabu Kariti – yang pemakaiannya bergantung pada peran yang sedang dimainkan atau diemban oleh sang tokoh.
Tak dapat diabaikan adalah modus bahasa dalam teks Durga Umayi yang menampakkan secara jelas-tegas modus bahasa Jawa ngoko yang sering terdapat di dalam cerita-cerita Jawa termasuk wayang Jawa. Misal¬nya, kalimat yang sangat panjang berpilin-pilin [yang menurut retorika modern menulis atau kiat menulis akademis sebaiknya ditinggalkan] yang melukiskan suasana dan keadaan seperti halnya kalimat bahasa Jawa yang melukiskan suasana dan keadaan sesuatu (pada umumnya alam) di dalam pertunjukan wayang. Perlu dikemukakan di sini bahwa di dalam teks Durga Umayi yang tebalnya 188 halaman ha¬nya terdapat 103 paragraf dan 280 ka¬limat (catatan: penggila karya ilmiah niscaya akan memvonisnya karya yang buruk heeee…). Di dalamnya ada berbagai kalimat yang panjangnya dua halaman penuh de¬ngan 700-an kata campuran Indonesia-Jawa dan hasil kreasi Mangunwijaya sendiri yang maknanya praktis tidak ada menurut bahasa sehari-hari, kecuali keselarasan dan kemerduan irama permainan bunyinya atau kadar ikonisitasnya yang demikian tinggi (simak Durga Umayi halaman 184-185).
Keselarasan dan kemerduan irama atau ikonisitas itulah yang kiranya memenuhi cita rasa keindahan dan keelokan wangun dalam sastra Jawa. Saya kutipkan satu kalimat yang panjangnya dua halaman (Durga Umayi, halaman 184-185) berikut ini: “Merenunglah dalam berdoa Iin Sulinda Pertiwi Nusamusbida Charlotte Eugenie de Progueleaux du Bois de la Montagne Angelin Ruth Portier Tukinah Seni dengan doa yang keropos keripik keriput tergagap tergopah tergontai dengan kaing-kaing kalap kalang kabut; dengan di mukanya terbuka tertutup terbuka tertutup terbuka Alkitab Alquran Bagawad¬gita dan lain-lain, merenung berpikir menimbang bingung bimbang mengotak-atik dan merancang apa sebaiknya, merenung menimbang-nimbang lagi bagaimana seyogyanya mengolah pertanyaan penuh dilema dan kontradiksi Durga Umayi … dan ya Allah duh Gusti, justru pada saat gundah gulana bingung bimbang serasa terjungkal terjungkir dalam jurang tanpa jawaban itu, ah datanglah muncullah tak tersangka tak ternyana, sesudah sekian puluh tahun menjauh, jelas karena marah-lalu-malan mendengar warta-warita tentang tata tingkah si Durga meratui Umayi, ah ternyata kok masih ingat dia si doi sang sahabat lama ah mon noble Chevalier, que je reve desireuse de vous, oui de vous, Mikrofon Pegangsaan Timur 56, maafkan maafkan si musafir kafir, belailah pipi-pipi basah air mataku dengan kotak suaramu yang bagus elegan yang sabar ikhlas menjadi perantara, berkata berpesan beramanat¬lah … hooong ngo’ahoo, wila-hoong hunglawi, aduh-aduh I’in Sulinda Sundali Pertiwi Perwita, cewek wece cakep lacep cantik ca’em, anak na’ak hijau jihau, sabda dabas amanat tanama, tujuh jutuh, belas lebas, delapan nadalep, seribu ubiser, sembilan sembalin, empalima malitapem, semoga mogase, terdamai maidater, hatimu mutiha, oooh ho’ooo Pertiwi Perwita, manis sinam, tercinta tacinter, musafir rifasum, pencari rencapi, ilham mahil, angin nga’in, empat tapem, kiblat tablik, merdeka kademer sejati tesaji, oooh oho’o I’in Ni’i, hamiiin mahin minhamin hamimin haniniiim nimhamiiin… Demikianlah.
Kalimat panjang di atas membuat kita pusing sepusing-pusingnya andaikata kita berkeras mencari maknanya, tapi membuat kita terbuai andaikata membayangkan pelisanannya. Kenapa? Kalimat panjang di atas mempermain-mainkan kata-kata, kata dan angka serta konsep keramat bagi bangsa Indonesia sehingga membongkar (eh: mendekonstruksi) bahasa, makna bahasa, dan sejarah Indonesia. Permainan di atas bisa disejajarkan dengan plesetan, otak-atik gathuk, atau kirata basa dalam bahasa Jawa. Hal ini makin memperkuat pantulan estetika wayang atau nilai keindahan dan keelokan wayang purwa dalam teks Durga Umayi.
Karena itu, sebagaimana sudah disinggung di atas, tak berlebihan bila teks Durga Umayi disebut sebagai satu wujud estetika wayang purwa di dalam teks fiksi Indonesia yang difungsikan untuk mendekonstruksi atau memelesetkan berbagai hal mengenai bangsa Indonesia. Bukan hanya konsep bahasa Indonesia baku (baik dan benar menurut Badan Bahasa yang dijadikan representasi nasionalisme kultural Indonesia) yang didekonstruksi, melainkan juga berbagai konsep mengenai bangunan bangsa Indonesia yang dikonstruk¬si oleh elite bangsa Indonesia. Yang didekonstruksi atau dipele¬setkan dalam kutipan di atas, misalnya, adalah amanat 17 Agustus 19945 (lihat: Amanat tujuh belas delapan seribu sembilan empat lima). Di sinilah kita memperoleh kesan bahwa teks Durga Umayi sekaligus estetika wayang purwa Jawa dijadikan medium membongkar atau mempermainkan konstruksi keindonesiaan yang dibangun oleh elite politik berkuasa dan mengalami regimentasi yang kemudian disakralisasi oleh elite penguasa.
***
Masih bersambung…
Sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/06/keindahan-keelokan-jawa-dalam-sastra-7/
______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
One Reply to “KEINDAHAN-KEELOKAN JAWA DALAM SASTRA (8)”