KEINDAHAN-KEELOKAN JAWA DALAM SASTRA (9)


Djoko Saryono *

/1/
Berdasarkan penanda-penanda teks samping (parateks) dan teks utama, novel Burung-burung Manyar karya Mangunwi¬ja¬ya juga dapat memantulkan jejak estetika wayang atau nilai keindahan dan keelokan wayang. Seperti halnya dalam pembukaan teks utama Durga Umayi, di awal pem¬buka¬an teks utama Burung-burung Manyar juga terdapat prawa¬yang yang secara metaforis tampak berfungsi sebagai bingkai atau balungan cerita, bahkan berfungsi sebagai model tokoh. Prawayang itu mengambil mo¬del gambaran dari wayang kulit Jawa – dalam hal ini epos panjang-menggen¬tar¬kan Maha¬bharata – yang sudah mengalami penjawaan sedemikian rupa sehingga jejak-jejak keindiaan¬nya tidak begitu tampak lagi. Di dalamnya digam¬bark-an suatu keadaan dan suasana desa Widura Kandang di negeri Ngamarta beserta tokoh-tokohnya.

Tokoh-tokoh dalam teks Burung-burung Manyar mengambil model tokoh-tokoh dalam prawayang tersebut: Atik (Larasati) modelnya Larasati atau Rarasati, Teto (Setadewa) modelnya Kakrasana atau Baladewa, Pak dan Bu Antana modelnya Antagopa dan Nyai Sagopi, Brajabasuki model-nya Salya, Vreddenburg modelnya Petruk, dan lain-lain. Oleh sebab itu, seperti halnya dalam wayang yang perwatakan tokohnya demikian tipologis, dalam teks Burung-burung Manyar perwatakan tokohnya juga demikian ti¬pologis (perkembangan psikologis tokoh yang menjadi ciri teks-teks prosa modern tidak begitu tampak).

Di samping itu, struk¬tur naratif teks Burung-burung Manyar mengesan¬kan mirip dengan struktur lakon wayang, modus bahasa¬ teks yang kejawa-kejawaan, dan makna teks yang perlu dibaca secara intertekstual dengan lakon-lakon wayang demi kemudah¬an pema¬haman-pemaknaan merupakan penanda-penanda estetika wayang khususnya nilai keindahan dan keelokan. ¬Secara ringkas bisa dinyatakan di sini bahwa struktur naratif Burung-burung Manyar terbagi atas tiga bagian yang masing-masing bersifat metaforis atau simbolis.

Secara substantif, bagian pertama yang terdiri atas empat anak bab yang judulnya sangat metaforis mirip dengan pathet nem atau jejer janturan, jaranan, dan perang ampyak wayang karena – seperti halnya dalam wayang – bagian ini memperkenal-kan dan melukis¬kan masa kanak-kanak para tokoh dengan segala suka, duka, dan kegagal¬an menjalani karier hidup. Kemudia¬n bagian dua yang terdiri atas sembilan anak bab yang judulnya juga sangat metaforis mirip dengan pathet sanga atau adegan sabrangan, perang gagal, gara-gara, dan perang kembang wayang karena – seperti halnya dalam wayang – bagian ini memperkenalkan dan melukiskan masa remaja tokoh, pergulatan melawan berbagai nafsu, penca¬rian jati diri, dan proses menuju kedewasaan para tokoh. Selanjutnya, bagian tiga yang terdiri atas sembilan anak bab yang judulnya sangat metaforis pula mirip dengan pathet manyura atau perang brubuh, perang sampak manyura, dan tancep kayon wayang karena bagian ini melukiskan kedewasa¬an para tokoh dan tugas masing-masing sebagai bentuk penyele-sa¬ian masalah yang dihadapi oleh masing-masing tokoh.

Strukur naratif mirip struktur lakon wayang tersebut ditunjang oleh modus kejawa-lisanan bahasa Indonesia yang menggambarkan multilingualisme. Ku¬tipan-kutipan berikut adalah contoh modus kejawalisan¬an atau kengoko¬an bahasa di dalam teks Burung-burung Manyar. Modus kejawa-lisanan dan kengokoan bahasa Indonesia banyak sekali muncul atau bertebaran dalam bagian-bagian teks Burung-burung Manyar. Modus bahasa seperti itu semakin menegaskan jejak esetika wayang Jawa khususnya nilai keindahan dan keelokan wayang purwa di dalam teks Burung-burung Manyar. Sebab itu, tek tersebut bisa disebut sebagai eksposisi keindahan dan keelokan dalam pandangan budaya Jawa.

/2/
Mirip dengan teks Durga Umayi dan Burung-burung Manyar, teks Tirai Menurun karya N.H. Dini juga memantulkan jejak estetika wayang purwa. Maka, tek tersebut juga bisa dise¬but sebagai eksposisi keindahan dan keelokan dalam pandangan Jawa. Persis dengan Durga Umayi, di sampul belakang Tirai Menurun dikemukakan antara lain bahwa “Disusun seperti adegan-adegan pertunju¬kan wayang orang, Tirai Menurun menyuguhkan babak demi babak kehidupan empat tokohnya: Kedasih, Kintel, Sumirat, dan Wardoyo… Sang dalang berhak mengatur serta merangkai alur cerita dan peristiwa di pentas. Tanpa sadar, di panggung kehidupan ia terjerat oleh rangkaiannya sendiri. Namun, dialah yang mengakhiri pertunjukan. Dia sempat menancapkan gunungan di tengah-tengah layar: Tancep Kayon.” Kemudian di sampul depan terdapat gambar dua orang yang berdandan sebagai tokoh wayang orang, gambar gunungan yang biasa dipakai di dalam wayang kulit purwa, dan gambar naga yang biasanya menghias tiang penyangga seperangkat gong.

Selanjut¬nya, dalam halaman berikutnya ada persembahan karya bagi tokoh-tokoh besar kesenian Jawa: Kepada tokoh-tokoh yang kukagumi: Kusni Cokromino¬to, Nartosabdo, Bagong Kussudiardjo. Halaman berikutnya lagi ada kutipan butir-butir kawruh Jawa atau ajaran Jawa yang sudah sangat terkenal yang disusun terbalik: Rame ing gawe, sepi ing pamrih, memayu hayuning bawono. Penanda-penanda teks tersebut memendarkan adanya rona estetika Jawa khususnya nilai keindahan dan keelokan wayang kulit purwa dalam teks Tirai Menurun.

Pantulan jejak estetika wayang khususnya nilai keindahan dan keelokan wayang puwa tersebut makin kental jika disi¬mak struktur naratif teks utamanya. Mirip dengan struktur naratif Burung-burung Manyar, struktur naratif Tirai Menurun dibagi menjadi tiga bagian. Masing-masing bagian tampak sejajar atau analog dengan pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura dalam wayang. Bagian pertama yang dijuduli Asal-Usul terbagi atas bab Grobogan, Banaran, dan Merapi mem-perkenalkan latar belakang dan identitas tokoh-tokoh utama — terutama Kedasih dan Sumirat — serta kepergian atau proses urbanisasi mereka ke kota Semarang. Bagian ini bisa dikatakan sejajar dengan jejer janturan dan adegan sabrang¬an dalam wayang.

Kemudian bagian kedua yang berpusat di kota terbagi atas subbagian Kota Satu sampai dengan Kota Tujuh mengi¬sahberi¬takan berba¬gai sepak terjang tokoh-tokoh utama, usaha tokoh-tokoh utama mengatasi segenap persoalan hidup dan kehidupan di kota sebagai anak wayang, dan nasib tokoh-tokoh utama di kota sebagai anak wayang. Bagian dua ini bisa dikatakan sejajar dengan adegan gara-gara, jejer pandhita, perang kembang, perang sampak sanga, dan perang ageng.

Selanjutnya, bagian ketiga yang dijuduli Tancep Kayon terdiri atas tiga anak bab mengi¬sahberitakan usaha-usaha beberapa tokoh utama menegakkan rombongan wayang orang dari keruntuhan, nasib masing-masing tokoh utama di dalam usaha tersebut, dan keruntuhan rombongan pertunjukan wayang orang. Bagian ini – seperti sudah tersurat dari judulnya – bisa disejajarkan dengan adegan jejer tancep kayon dalam wayang. Jadi, secara umum, struktur nara¬tif atau balungan teks Tirai Menurun mengikuti struktur naratif lakon wayang. Jelaslah hal itu memperlihatkan bahwa Tirai Menurun merupakan manifestasi esetika wayang Jawa.
***

Sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/06/keindahan-keelokan-jawa-dalam-sastra-8/

______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Bahasa »