KENORMALAN LAMA

Aprinus Salam *

Tempo hari, terutama sebelum pandemi, segala hal yang berbau penormalan dan kenormalan biasanya tidak saya terima begitu saja. Banyak hal yang masih harus dipertanyakan; itu kenormalan bagi siapa, untuk siapa? Siapa yang diuntungkan dan yang dirugikan dalam kenormalan itu. Kenormalan selalu dalam satu versi tertentu yang menghendaki situasi dan kondisi seolah dianggap normal.

Maka, kalau diingat, kemarin-kemarin berjalan-jalan ke mall menghabiskan waktu, tentu sambil belanja, adalah sesuatu yang normal. Kalau tidak suka jalan-jalan ke mall, itu tidak normal. Dulu kita sering menyelenggarakan kegiatan di hotel. Kalau tidak di hotel, tidak normal dan tidak prestisius. Dulu, kita suka makan-makan di restoran terkenal. Jika kita tidak suka makan-makan di restoran mahal, itu tandanya tidak bergengsi. Tidak punya gengsi itu tidak normal.

Kalau ada orang suka barang mewah dan mahal, apalagi bermerek, itu suatu hal yang normal. Banyak orang memang maunya begitu. Sayang kondisi keuangan terbatas. Kalau tidak bisa beli barang mahal, beli palsunya. Itu pun masih normal, dalam arti kita sebenarnya suka barang mahal dan bermerek.

Terhadap konormalan di atas, ada pihak yang diuntungkan, ada pihak yang tidak diuntungkan, atau justru dirugikan. Sistem ini dikondisikan terus sehingga arus uang mengalir ke pemilik modal. Mereka yang bermodal semakin kaya, yang tidak bermodal hanya bisa menjadi konsumen yang konsumtif.

Tidak mengherankan jika jurang kaya miskin semakin merenggang. Walaupun tidak terlalu sesuai dijadikan pedoman, tetapi ada yang disebut sebagai indeks Gini. Indeks Gini Indonesia ada di tataran 0,382 (tahun 2019). Di beberapa daerah memperlihatkan keberadaan indeks Gini yang semakin berbahaya, tetapi untunglah tidak di atas 0,50. Jika di atas 0,50, secara teori situasi itu ada di ambang batas terjadinya gejolak sosial.

Agar tidak bergejolak, mekanisme, sistem, dan gaya hidup yang dianggap normal itu tetap dikontrol agar kenormalan tetap bertahan. Salah satu yang terkenal, misalnya, kebijakan perusahaan kopi yang harganya di kisaran 40 ribu sampai 50 ribu secangkir kecil. Bisnis kopi ini berkampanye bahwa keuntungan yang didapat akan dipakai untuk membantu petani kopi dengan memberi bibit kopi secara cuma-cuma.

Hal yang terjadi, kita pun merasa bangga membeli kopi yang mahal tersebut karena merasa ikut bersedekah. Situasi tersebut bukan tidak kita ketahui bahwa itu lebih semacam strategi kapitalisme mempertahankan budaya dan kekuasaannya sehingga segala sesuatunya terkesan berjalan normal, bahkan telah melakukan kesalehan. Kita tahu, harga kopi itu mahal, yang di angkringan bisa kita dapatkan dengan harga sekitar 3 ribu hingga 5 ribu. Akan tetapi, besok kita kembali membeli kopi mahal tersebut karena memang bergengsi. Memiliki gengsi itu normal.

Kemudian, muncullah Covid-19. Virus itu tidak kelihatan dan jika kita dikenai virus tersebut, dapat saja menimbulkan kematian. Karenanya, pemerintah, mau tidak mau, suka tidak suka, menerapkan kebijakan lock down, PSBB, dan berbagai kebijakan lain yang “mengondisikan” kita di rumah saja, melakukan segala aktifitas dari dan di rumah saja.

Kini kebijakan itu telah berjalan 2 bulan lebih, dan akan masih berjalan. Ternyata, alhamdulillah, kita dapat melewatinya dengan baik. Walaupun ada aktifitas tertentu yang harus dikerjakan di luar rumah, dalam skala terbatas kita masih bisa mengerjakannya. Memang, terdapat pekerjaan-pekerjaan tertentu terutama terkait dengan pekerjaan transportasi, perhotelan, travel, pariwisata, dunia hiburan, dll., mengalami peredaan. Bagi mereka (terutama para buruh, karyawan, pekerja seni) yang berkerja dalam bisnis itu mengalami gangguan pendapatan.

Mempertimbangkan hal itu, kemudian ada wacana, dan sebagian telah menjadi kebijakan, untuk menerapkan new normal (kenormalan baru). Kenormalan baru adalah hidup sesuai dengan standar prototol kesehatan, terutama untuk mengantisipasi menyebarnya virus. Protokol tersebut dengan mudah kita dapatkan di manapun, terutama di media sosial.

Hal yang ingin dikedepankan adalah dulu saya sering menolak apa-apa yang disebut sebagai hal yang dianggap normal. Akan tetapi, sekarang saya ikut menganjurkan dan menerima apa yang disebut sebagi kenormalan baru. Lupakan segala hal yang dulu dianggap normal (lama), termasuk jalan-jalan ke mall atau makan di restoran mahal.

________________
*) Aprinus Salam, mengajar di Pascasarjana FIB UGM.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *