F. Rahardi *
Kompas, 14 Mei 2005
Setelah absen sekian lama, “Presiden Penyair” Sutardji Calzoum Bachri, mengumumkan lima sajak terbarunya (Republika, Minggu 24 April 2005). Salah satu sajak yang diumumkannya itu berjudul Para Munafik Ismail. Dugaan saya, sajak ini ditulis di sekitar Idul Adha atau Hari Raya Kurban. Hari raya ini memperingati peristiwa, ketika Nabi Ibrahim diminta Allah untuk menyembelih puteranya, Nabi Ismail. Sajak Sutardji itu pendek, hanya dua bait yang masing-masing terdiri dari tiga baris. Untuk jelasnya saya kutipkan sajak tersebut.
PARA MUNAFIK ISMAIL
para ismail yang munafik
bergegas menyodorkan leher
? sembelihlah kami!
Ibrahim yang hanif bilang
— tak, kalian tak boleh mati!
agar menjadi pertanda biar umat waspada
2005
Selain pendek dan sederhana, sajak ini sarat relefansi dengan kondisi Indonesia mutakhir. Terutama dengan peristiwa penangkapan tokoh pembela HAM atas tuduhan penyuapan. Sebelumnya kita juga dikejutkan berita penangkapan tokoh LSM oleh aparat keamanan. Tokoh tersebut dituduh mencuri logistik para korban gempa dan tsunami Aceh. Seorang tokoh pembela HAM lain, ternyata juga menjadi pembela dari perusahaan miltinasional. Perusahaan ini selain merusak lingkungan tanahair kita, juga sering meneror rakyat. Ketika disorot kamera teve, tokoh pembela HAM ini tampak manis bak malaikat pelindung rakyat. Di belakang kamera, secara formal dia pembela pengusaha yang menyengsarakan rakyat.
***
Kalau disuruh memilih, saya pribadi akan memberi hormat kepada maling yang secara jujur mengaku sebagai maling. Saya salut dengan pengusaha Bob Hasan yang tanpa banyak lagak, menerima keputusan pengadilan untuk mendekam di Nusakambangan. Dibanding koruptor lain yang mengerahkan segala daya dan dana untuk tetap bertengger sebagai pimpinan dewan, lalu tampil anggun di depan kamera teve seperti anak tanpa dosa. Rampok yang datang dengan topeng, golok, pistol atau atribut rampok lainnya, lebih mudah diwaspadai dibanding dengan rampok yang datang berjas dan berdasi dengan rambut tersisir rapi.
Korupsi, dewasa ini memang telah berkembang kualitas maupun kuantitasnya dengan sangat pesat. Demikian pula dengan kawasan penyebaran serta variasai kelompok yang dijangkitinya. Dulu, pada jaman Orde Baru, korupsi hanya disinyalir terjadi di kalangan eksekutif. Mereka melakukan kolusi dan nepotisme bersama para pengusaha. Setelah reformasi, pola korupsi pun ikut pula tereformasi. Para anggota legislatif dan yudikatif yang harusnya menjadi “benteng” kedilan juga ikut terjangkiti wabah korupsi. Lingkungan keagamaan, LSM dan perguruan tinggi juga ikut tercemari. Bahkan rakyat jelata juga dengan sigap menangkap peluang menjadi tanaga demo bayaran, penjarah perkebunan dan perusak tempat-tempat hiburan.
Korupsi jelas tidak ada kaitannya dengan kebudayaan. Meskipun banyak orang menyebut korupsi telah menjadi budaya di negeri ini. Korupsi merupakan alat bagi sifat rakus manusia yang nyaris tanpa batas untuk menumpuk harta. Kalau bisa manusia bahkan ingin mencapai Allah tanpa lewat kebajikan dan ketakwaan, melainkan dengan membangun menara Babil. Jalan pintas yang kemudian terbukti lebih menyengsarakan umat manusia sendiri. Sifat rakus rakyat yang menjarah kebun, hanyalah untuk sebatas kebutuhan sehari-hari mereka. Tetapi sifat rakus penguasa yang didukung oleh kekuatan politik, bisa merobohkan bangunan negeri.
Korupsi juga bukan hanya masalah hukum. Hingga penyelesaiannya di pengadilan sering menjadi dagelan yang melukai nurani rakyat. Korupsi adalah kejahatan politik. Hingga penyelesaiannya juga harus dengan kekuatan politik. Ketika terjadi euforia reformasi tahun 1998, rakyat sangat mendambakan adanya niat politik untuk membasmi korupsi. Istilah “Basmi KKN” pun dengan cepat menjadi slogan yang memasyarakat. Namun penguasa demi penguasa bukannya memainkan peran politiknya untuk memenuhi tuntutan rakyat, melainkan justru lebih gencar dari penguasa sebelumnya dalam menjarah uang rakyat.
***
Ketika ada seorang demonstran yang berteriak-teriak di depan moncong kamera teve, seorang tukang bajai nyeletuk. “Mereka teriak-teriak begitu karena belum dapat bagian.” Berteriak lantang membela rakyat, kebenaran, HAM, demokrasi dll. sebenarnya hanyalah “tiket” untuk masuk ke kawasan elite penguasa negeri ini. Setelah berada di dalam, godaan dari sifat rakus manusia tetap sulit untuk dikendalikan. Namun di lain pihak, naluri untuk mempertahankan predikat yang selama ini sudah terlanjur melekat, juga sangat kuat. Menurut para pakar psikologi, jadilah seseorang berkepribadian ganda.
Di depan publik, terutama di depan kamera teve dan wartawan koran, seorang tokoh pembela HAM harus tetap berakting sebagai pembela HAM. Seorang pimpinan LSM pembela wong cilik, wajib terus nyerocos membela wong cilik. Seniman yang terlanjur dikenal sebagai pembawa “panji-panji kebenaran” juga perlu terseok-seok memikul sang panji-panji. Namun di belakang kamera dan para wartawan, korupsi adalah sah. Uang lembaga donor juga nyaman buat dijarah. Lebih-lebih uang KPU yang katanya harus dimanfaatkan untuk belajar berdemokrasi di negeri ini.
Sayang, Nabi Ibrahim menolak untuk menyembelih ismail yang munafik. Dia hanya bersedia memenuhi titah Allah untuk menyembelih Ismail yang tidak munafik, yakni puteranya sendiri. Namun yang ini pun, akhirnya juga tidak dikabulkan Allah. Sebab Allah hanya bermaksud menguji keteguhan hati UtusanNya. Nabi Ibrahim, dalam sajak Sutardji ini, Ibrahim menyampaikan dalihnya enggan menyembelih para munafik ismail: “agar menjadi pertanda biar umat waspada”.
***
*) Penyair/Wartawan.
Keterangan foto (jepretan F. Rahardi): Sang Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, 18 Juli 2017, saat membacakan puisinya, “Wahai Pemuda, Mana Telurmu?”
https://frahardi.wordpress.com/artikel/kerakusan-para-munafik-ismail/