Jika Kucing Lenyap dari Dunia, Genki Kawamura
Maut dan kematian bekerja seperti kucing menyergap mangsa — mengendap-endap penuh perhitungan dan sangat hati-hati nyaris tanpa bunyi supaya mangsa tak lari dan dalam jarak terukur lantas menyambar-terkam mangsa yang telah tak mungkin mengelak, kendati terluput terkaman masih ada. Begitulah novel Genki Kawamura — yang diterjemahkan dengan “maknyus” oleh Ribeka Ota dan ditata dengan apik hingga menyenangkan mata saya — berusaha menggambarkan secara “wajar dan nyaman” ambang kematian.
Di ambang kematian, ketika maut bekerja amat cermat dan lembut, dan nyaris seorang manusia tak punya pilihan lain kendati masih mungkin, apakah makna kehidupan? Apakah yang harus didahulukan? Apakah yang harus tetap dipegang dan apakah yang harus dilepaskan dalam kehidupan? Novel ini berusaha menarasikan makna kehidupan di ambang kematian dengan unik, mengalir, deras, lancar, terasa ringan, dan jenaka yang bisa menawan pembaca suntuk membaca.
Sebab itu, kendati berjudul Jika Kucing Lenyap dari Dunia, novel ini sejatinya tak berkisah tentang kucing, melainkan pilihan hidup dan makna kehidupan tatkala maut dan kematian sudah di hadapan seorang manusia. Pilihan manakah yang harus diambil seorang manusia? Pinjam bahasa Fromm, seorang manusia lebih memilih memiliki (benda atau harta) ataukah memilih menjadi (selamat sebagai manusia)? — memilih ketermilikan benda-benda ataukah kelepasan dari benda? Kalau memilih kelepasan seorang manusia bisa tetap hidup, tapi kalau memilih ketermilikan harta seorang manusia akan menemui kematiannya.
Hal tersebut pilihan eksistensial yang dilematis-sulit yang diceritakan dengan lumayan ringan, jenaka, dan berkesan di dalam novel ini. Dengan teknik pengandaian (tiap bab pakai judul “jika…”) novel ini menjelentrehkan atau menguraikan soal eksistensial manusia dengan enak, terbuka, malah riang dalam arti tak menakutkan, dan memberi gambaran seimbang dua modus pilihan eksistensi — tanpa nada menggurui dan kotbah direktif searah. Pembaca tak akan merasa digiring ke satu lorong menyeramkan, justru seakan didorong untuk melakukan dialog batin dan melakukan permenungan mendasar dengan cara rileks dan natural, tak perlu dikepung kecemasan dan ketakutan.
Kendati bukan novel tentang kucing atau narasi tentang kehidupan kucing, tetapi menggunakan simbolisme kucing sekaligus menjadikan kucing sebagai elemen terpenting cerita, para pecinta kucing wajib membaca novel Jika Kucing Lenyap dari Dunia! Pecinta kucing dapat merenungi simbolisme kucing dan hal-hal terkait untuk lebih mencintai kucing-kucing piaraannya sebagai bagian eksistensial kehidupan. Para pengkaji sastra malah bisa mendedahnya pakai kaca mata kajian humanimal, “humanimal studies”.
***
9 Juni 2020