Djoko Saryono *
Bagi saya, Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto pertama-tama bukan sosok seni tradisi Jawa, dalam hal ini seni pertunjukan tradisional rakyat Jawa Timur, yang mampu bertahan dan bernafas hidup pada zaman sekarang, Abad XXI yang penuh pancaroba.
Usia yang beberapa hari lalu mencapai 51 tahun bukan saja menandakan paguyuban ini mampu melintasi pergantian abad yang punya ekosistem dan ekologi budaya berbeda, tetapi menandakan juga kemenangan/keberhasilan dalam percaturan, pergulatan atau pergumulan kultural — baik sosiokultural, geokultural maupun religiokultural — yang harus dijalani oleh organisasi-organisasi tradisi. Paling tidak paguyuban ini tak tenggelam dan menghilang — seperti halnya seni-seni tradisi yang lain, khususnya seni teater tradisional yang rapuh dan tumbang — dihempas perubahan zaman, yang dimaknai membawa modernitas.
Sebab itu, bagi saya, Ludruk Karya Budaya Mojokerto, yang sekarang dipimpin dan diasuh oleh Edy Karya, merupakan sosok konkret tradisi yang hidup sehat di tengah zaman penuh ketakpastian, ketakterdugaan, kemenduan, dan kompleksitas yang susah dinamai dan dipahami secara sederhana. Ludruk Karya Budaya merupakan sosok tradisi yang mampu, berani, dan berhasil berdialog, berdialektika, tawar-menawar, dan bernegosiasi dengan tradisi lain dan modernitas pada satu sisi dan pada sisi lain dengan berbagai disrupsi yang datang cepat dan bertubi-tubi. Ini menandakan Ludruk Karya Budaya bukan saja mampu menyesuaikan diri dengan ekosistem dan ekologi budaya baru, melainkan juga mampu beradaptasi secara lentur-kenyal dan berkoeksistensi dengan modernitas dan disrupsi yang silih berganti. Meskipun untuk itu harus ditebus dengan kesusahan, kesulitan, penderitaan, dan pengorbanan dari seluruh warga komunitas atau paguyuban.
Lebih jauh hal tersebut menandakan bahwa tradisi yang hidup itu dinamis, punya greget dan gumregah melayani secara proaktif berbagai tantangan dan ancaman yang selalu ada baik laten maupun momentan. Dengan cara itu kiranya Ludruk Karya Budaya juga dapat selamat dari terjangan buldoser tantangan dan ancaman yang bergerak tak pernah hati. Minimal Ludruk Karya Budaya sanggup meloloskan diri dari kematian atau kepunahan dengan cara terus menggerakkan dinamika internal dan menari bersama dinamika eksternal. Edy Karya dan sebelumnya orang tuanya berhasil menggerakkan Ludruk Karya Budaya sebagai tradisi sehingga tradisi ludruk dinamis dan adaptif — dinamis bergerak bersama tradisi lain dan modernitas, adaptif menyerap serat semangat dan elemen tradisi lain dan modernitas dan lalu mencangkokkannya ke dalam tradisi ludruk. Dengan Ludruk Karya Budaya, Edy Karya mampu menampik persepsi umum bahwa tradisi itu beku-kaku bagaikan manekin yang dipajang di etalase kebudayaan. Hasilnya Ludruk Karya Budaya bisa berumur setengah abad lebih berkat kemampuan melakukan dinamika kelompok.
Sebab itu, tak berlebihan kalau saya katakan bahwa Paguyuban Ludruk Karya Budaya merupakan laboratorium tradisi yang hidup dinamis, yang mampu bergerak di tengah disrupsi bertubi-tubi. Paguyuban Ludruk Karya Budaya adalah eksemplar tradisi yang hidup di tengah zaman modern, ultra-modern, bahkan post-modern atau entah apalagi sebutan lainnya. Yang pasti: Paguyuban Ludruk Karya Budaya adalah bukti konkret bahwa budaya atau kesenian tak bekerja dengan hukum linier-lurus ke depan, sering tawar-menawar melalui jalan memutar. Dalam revolusi digital atau Revolusi Industri 4.0, tradisi tak tumbang dan berkalang tanah, sering juga menumpang di dalamnya.
Selamat ulang tahun ke-51 Paguyuban Ludruk Karya Budaya. Meski agak terlambat, ucapan selamat tetap berguna. Sebab ucapan selamat adalah doa.
_____________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.