Lukas Luwarso *
watyutink.com 25 Feb 2018
‘Heboh” Angkatan Puisi Esai (APE) yang digembar-gemborkan impresarionya, Denny JA, mengukuhkan sinyalemen J Hillis Miller yang pernah menyatakan: “The end of literature” (matinya sastra).
Dalam buku On Literature, terbit 2002, Miller menyampaikan: beda era beda media, zaman berubah mengubah kebiasaan manusia, termasuk dalam menyerap sastra dan seni umumnya. Perkembangan teknologi media menyebabkan manusia mengalami mutasi dalam pengalaman perseptual dan mengubah minat orang terhadap sastra.
Miller mewartakan “matinya sastra” tanpa bermaksud menyampaikan sastra telah punah, karena karya sastra klasik bermutu tetap abadi. Ia hanya ingin menunjukkan, sastra pada era mesin cetak begitu dominan dalam membentuk persepsi budaya. Kini nilai pentingnya menjadi berkurang (diminishing important) karena begitu banyak alternatif medium dalam menserap kebudayaan.
Dan “kematian sastra”, setidaknya di Indonesia, menjadi semakin gamblang ketika hiruk pikuk dan kehebohan tentang sastra bukan soal wacana kualitas karya, melainkan sebatas label. Puisi Esai adalah marketing ploy, menjual label untuk membangun “legacy” personal. Boleh jadi akibat terlalu harfiah dalam memahami ungkapan John F Kennedy: “Jika politik kotor, maka puisi akan membersihkannya.” Menjadi penyair juga yang berpikir bisa membersihkan (dari rasa bersalah) berbisnis di wilayah politik.
Kekonyolan terbesar gerakan APE adalah upaya agresif menuntut pengakuan (self-aggrandizing) bahwa proyek ini seolah-olah adalah gerakan sastra yang penting. Ada tiga alasan kenapa gerakan APE konyol.
Pertama, Anakronistik. Menjual label puisi di era yang salah. Jika aksi APE mengklaim sebagai angkatan atau gerakan pembaruan puisi dilakukan seabad atau 50 tahun lalu, mungkin akan sedikit memancing perhatian. Ketika itu, khalayak masih tertarik dengan atraksi atau sensasi sastra karena belum banyak distraksi. Khalayak belum sibuk dengan gadget, baru ada TVRI, belum ada Netflix, media sosial. Semua koran masih menyediakan halaman untuk puisi, deklamasi dilombakan. Ketika antologi puisi atau menonton pertunjukan baca puisi masih “sesuatu”.
Kedua, Pretensius. Publik umumnya tidak terlalu peduli lagi sastra sebagai karya seni yang memiliki nilai khusus. Mem-banal-kan puisi sekadar menjadi esai yang ber-rima (plus ada catatan kaki) tidak menjadikan puisi lebih diminati. Dulu ada gerakan atau atraksi penyair yang mencoba memancing perhatian–dan berhasil–tanpa bersikap pretensius untuk tercatat dalam sejarah sebagai “angkatan”. Gerakan puisi lebih cerdas dan kreatif seperti puisi mbeling; atraksi pengadilan puisi; manifesto Sutardji Calzoum Bachri membebaskan kata-kata dari makna; atau puisi pamflet WS Rendra, berhasil memancing perhatian khalayak di luar komunitas penyair. Menarik karena orisinil dan non-pretensi.
Ketiga, Tak bermakna. Apa sesungguhnya makna “angkatan” dalam sastra/puisi, sehingga begitu menjadi obsesi. Angkatan-isme tak lain sekadar upaya mengkategori, membuat periodisasi, untuk memudahkan memahami dinamika dunia kesenian yang begitu beragam dan kompleks. Wacana angkatan cuma alat, bukan esensi. Pengkategorian karya sastra berdasarkan angkatan tidak valid metodologinya. Hanya untuk memudahkan pemilahan dalam konteks sejarah sastra.
Pemberian label angkatan bersifat arbriter dan subyektif, setiap orang bisa melakukan. Tak perlu terlalu serius menganggapnya sebagai faktual dan representatif realitas sastra yang kompleks. Lazimnya pemberian label angkatan atau gerakan diberikan oleh kritikus atau institusi kredibel. Tidak lazim seorang penyair mengklaim, memaksakan, bahkan menjejalkan karya atau aktivitasnya membawa perubahan. Bahkan Sutardji sadar Abdul Hadi WM tidak serius (dan lagi mabuk) ketika mendeklarasikan dirinya sebagai “Presiden Penyair Indonesia” pada 1970-an.
Puisi adalah seni berkata-kata untuk menyampaikan sesuatu yang sulit dirangkai dengan kata verbal. Puisi adalah ungkapan pengalaman dan pemahaman subyektif. Jika mau bernarasi secara langsung atau menyampaikan informasi, tulislah status di media sosial, diary, kolom, jurnalisme, skripsi, tesis, desertasi, atau esai (boleh pakai catatan kaki), tanpa berpretensi sebagai puisi.
Sastra, termasuk puisi, adalah seni mencipta dunia imajiner dengan kata-kata. Sastra tetap perlu sebagai kebutuhan dasar manusia untuk berimajinasi dan berkisah. Heboh proyek APE cuma kehebohan semantik, bukan substansi. Tak soal berapa banyak buku diterbitkan atau berapa ratus penyair terlibat dan dibayar. Memasarkan sastra dengan gimmick atau sensasi (bukannya kualitas karya) hanya akan membunuh sastra, atau mempercepat kematiannya.
***
*) Jurnalis Senior, Kolumnis.
https://www.watyutink.com/topik/berpikir-merdeka/Matinya-Sastra-dan-Kehebohannya