Lukas Luwarso *
SHNet, 30 Jan 2017
Zaman berubah, media massa turut berubah. Pemahaman tentang media massa mestinya juga berubah. Pengertian perlu diperbarui, dengan melihat situasi dan kondisi media massa terkini.
Media massa tradisional, seperti koran harian, majalah mingguan, stasiun radio dan televisi, sebagai sumber informasi massal, mulai ditinggalkan, sementara platform media baru–online berbasis digital–terasa kacau dan membingungkan.
Sejauh ini “pemahaman” (legal formal) kita tentang media pers dan aturan main penyelenggaraan pers di Indonesia tertuang dalam UU No. 40 tahun 1999 (UU Pers). Dalam UU Pers, Pasal 1, diuraikan sejumlah pengertian, antara lain:
“Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, media siber, dan segala jenis saluran yang tersedia.”
‘Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.”
“Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.”
Dalam UU Pers, istilah pers mencakup pada lembaga, cara kerja, dan medium salurannya–sekaligus. Sementara dalam terminologi aslinya, pers (press)adalah proses mencetak pada media cetak yang terbit secara teratur (koran, majalah). Dan kemudian–taken for granted–pers sinonim dengan jurnalisme.
Dalam UU Pers, perusahaan media penyiaran dan media elektronika (online) juga dikategorikan sebagai pers. Dengan asumsi, media penyiaran dan media online juga menyebarkan atau menyiarkan konten karya jurnalistik (news media).
Media penyiaran memiliki UU Penyiaran, berlaku sejak 2002, yang mengatur teknis penyelenggaraan dan konten program. Namun, ada konsepsi, bahwa terkait dengan program jurnalisme (siaran berita, talk show, dokumenter), ketentuannya merujuk pada UU Pers.
Penyelenggaraan media online belum diatur secara spesifik dalam undang-undang khusus. Namun, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) seolah telah menjadi ketentuan hukum bagi media online. Banyak kasus fitnah, pencemaran, dan penistaaan yang disebarkan melalui media online terjerat UU ITE–yang kini menjadi momok bagi pengguna internet dan media sosial.
Pengertian pers, perusahaan pers, dan wartawan, seperti diatur UU Pers adalah rumusan era akhir 1990-an. Barangkali bisa dimengerti 17 tahun lalu–ketika UU itu dirumuskan dan kemudian disahkan. Namun, sejak saat itu perubahan lanskap dan platform pers berlangsung dengan cepat. Pers (jurnalisme), perusahaan pers, dan cara kerja wartawan kini ditantang dengan situasi baru.
Pemilahan secara kategoris media berita (news media) dalam media cetak, media penyiaran dan media online menjadi kabur dan kurang relevan. Kini adalah era media konvergensi, perusahaan media memiliki dan mengelola semua platform media.
Pengertian dan pengaturan perusahaan pers, sebagaimana tertuang dalam UU Pers, sudah tidak lagi memadai. Sejumlah ketentuan mengenai perusahaan pers yang diatur di UU Pers, misalnya, wajib berbadan hukum, wajib memenuhi kesejahteraan karyawan, dan sebagainya, menjadi tidak relevan, atau tidak terkait langsung dengan kegiatan jurnalistik.
Melaksanakan kegiatan jurnalistik–mencari, memperoleh, mengolah, dan menyebarkan karya jurnalistik–kini tidak lagi memerlukan perusahaan pers. Internet menyediakan medium bagi siapa saja, individu dengan pengetahuan dan kemampuan teknis menulis, bisa mengabaikan perlunya “perusahaan” hanya untuk menjalankan kegiatan atau usaha pers.
Siapapun kini adalah wartawan. Jika siapapun wartawan, maka tidak ada lagi wartawan. Sebagai “profesi” wartawan hampir mati (vanishing trade). Priviledge wartawan sebagai intermediary antara sumber informasi dengan publik tidak lagi dirasa perlu. Publik bisa mengakses informasi langsung dari sumber utama, melalui website, cuitan twitter, status facebook, instagram, dan platform media sosial lainnya.
Tugas wartawan sebagai kurator informasi: memilah, memilih, mengolah, dan menawarkan informasi yang layak dikonsumsi menjadi obsolete. Gejala ini sudah terlihat dengan semakin berkurang orang mau membayar untuk informasi. Orang mulai berhenti membaca berita melalui media cetak; sebagaimana orang kini tidak lagi mendengar siaran radio dari pesawat radio, atau nonton acara TV dari pesawat televisi.
Media cetak–sebagai cikal bakal media pers–dan media penyiaran mulai ditinggalkan pembaca dan penonton. Publik kini mengakses informasi (dan jurnalisme) melalui platform online, melalui smart phone.
Berbagai perubahan baru dalam dunia media itu tidak mudah untuk diatur atau dikontrol secara koheren. Pemblokiran media online, situs website, atau akun media sosial yang dinilai berbahaya, karena maraknya hoax, bukan solusi yang demokratis, jika tidak melalui proses pengadilan. Belum lagi pemblokiran sesungguhnya sia-sia, karena mudah diatasi secara teknologi.
Inisiatif Dewan Pers, bersama Menkominfo, menerapkan barcode pada media massa, guna memilah “media yang terverifikasi dengan media abal-abal,” layak diapresiasi–meskipun mungkin tidak banyak manfaatnya. Sejauh ini Dewan Pers menyebut 243 media telah terverifikasi dari sekitar 43.300 media online di Indonesia.
Asumsi pemberian barcode sebagai semacam stempel untuk tanda media “yang lebih terpercaya”, bakal kecil pengaruhnya. Media “terpercaya” bagi seseorang boleh jadi penyebar hoax bagi orang lain. Karena ironi verifikasi adalah: media berkualitas tak perlu, media abal-abal tak mau.
Kini bukan lagi era manusia mencari informasi, tapi informasi mencari manusia (melalui WhatsApp Grup dan media sosial lainnya). Dalam situasi banjir informasi saat ini, individu hanya akan mengkonsumsi informasi yang mengkonfirmasi cara pandang dan preferensi.
Beberapa tahun ke depan, pers berkualitas sepertiNew York Times, Washington Post, The Guardian, The Economist, Tempo, atau Kompas, mungkin akan bertahan menjadi media cetak super-elite yang dikonsumsi kalangan terbatas (kaum intelektual idealis utopis). Menjadi jurnal informasi berkualitas yang menarik untuk kajian ilmu komunikasi atau didiskusikan dalam forum-forum ilmiah–menjadi suplemen informasi sehat, namun bukan lagi menjadi menu pokok kebutuhan informasi sehari-hari.
Teknologi digital telah mengambil banyak korban, dari perusahaan raksasa seperti Kodak hingga ratusan perusahaan pers di berbagai belahan dunia. Profesi jurnalis (tradisional) juga terkena imbas, menuju kepunahan. Meskipun demikian, jurnalisme berkualitas sebagai menu informasi sehat, akan bertahan; karena mereka yang berakal sehat masih membutuhkan.
***
________
*) Penulis adalah Dewan Pengurus Yayasan Multimedia Adinegoro-Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS).
http://sinarharapan.net/2017/01/memahami-media/