MENUMBUHKAN KESENANGAN BELAJAR BERSAMA


Anton Wahyudi *

KOTA-KOTA BERSUARA tak ubahnya seperti kado spesial ulang tahun, sebuah kontribusi seni —terkhususnya teater—, terhadap kehidupan masyarakat masa kini yang digempur atau dijejali habis-habisan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Buku ini merupakan hasil kerja kurasi dalam penciptaan ruang seni kreatif yang menyentuh akal dan jiwa masyarakat pendukungnya. Hasil kerja kurasi yang berisi dua puluh satu catatan ringkas buah karya tiga belas pegiat atau pekerja seni —selaku kontributor— lintas daerah. Tiga belas pegiat seni yang berasal dari Jombang (Inung Ardiansyah), Kediri (Rendra Bagus Pamungkas), Malang (Yuniar Resti Swandayani), Solo (Yogi Swara Manitis Aji), Surakarta (Yustinus Popo H. A. C.), Yogyakarta (Andy Sri Wahyudi, Ficky Tri Sanjaya, dan Irfanudien Gozali), Kupang-Nusa Tenggara Timur (Armando Soriano), Temanggung (Febrian Adinata Hasibuan), Denpasar-Bali (I Wayan Sumahardika dan Komang Ira Puspitaningsih), Amperan-Lombok (Kiki Sulistyo), hingga Sumatera Barat (Afrizal Harun). Tiga belas penulis yang memiliki latar belakang berbeda, mulai dari aktor, sutradara, penulis lakon dan skenario, pegiat seni rupa, penyair, cerpenis, filmakers, pantomimer, guru sekolah, pegiat komunitas seni, hingga pekerja sosial di pelosok daerah.

Dua puluh satu cerita atau catatan kurasi yang ditulis ketiga belas penulis di dalam buku ini dibagi menjadi empat sub bab bersinergi. Pertama, subbab tentang ‘Masyarakat dan Aktivitas Tradisi’ sebanyak lima tulisan. Kedua, sub bab ‘Seni dan Aktivitas Pendidikan’ berisi enam tulisan. Ketiga, sub bab ‘Dari Depan dan Belakang Panggung’ berisi sebanyak empat tulisan. Dan, keempat, sub bab bernama ‘Dari Festival ke Festival’ sebanyak enam tulisan.

Dalam prolog buku, Rendra Bagus Pamungkas memberikan aksentuasi pemikiran tersendiri bagi pembaca buku terkait hakikat dan pesan judul buku yang dibuat. Sebuah prolog ringkas yang pada akhirnya mampu memberikan stigma, mampu menyalakan saklar imajinasi, dan membangun skenario pikiran di kepala para pembacanya. “Kami sempat memiliki kerja membagikan nilai-guna bagi sesama dan semesta raya saat masih mengolah hidup” (Hlm. 7).

Sebuah prolog yang menggugah —seperti layaknya sebuah sahior atau mantra-mantra, yang mampu memberikan motivasional efek bagi para pembacanya. Memberi pengetahuan sekaligus menjadi pengikat batin antara penulis satu dengan penulis lainnya, antara penulis dengan pembacanya, termasuk antara pembaca satu dengan pembaca lainnya. Sebuah ikatan batin yang menanamkan nilai-nilai eksplisit tentang arti pentingnya kerja berjejaring.

Pernyataan sikap “Kami” (yang notabene-nya menjadi kontributor dan pelaku seni) sejatinya mampu mendefinisikan arti tentang upaya menghargai keberadaan tubuh dan paruh waktu dengan bahagia. Tubuh dan waktu yang dianalogikan bak dua sisi uang logam, yang memiliki hubungan erat, serta sulit dipisahkan maksud keberadaan beserta tujuannya. Oleh karena, sebagai pemilik tubuh individu yang masih hidup, setiap individu pada umumnya harus bisa memberikan kebahagiaan atau kebermanfaatan bagi kehidupan manusia yang lainnya. Termasuk, tiap-tiap individu juga harus sanggup mengolah pesona semesta raya, agar waktu yang digunakan untuk menjalani hidup di dunia bisa menjadi lebih bermakna.

Sajian catatan kurasi awal berjudul “Mikroba dan Performa Keseharian Rapah Ombo” tentunya sangat menarik untuk didedah. Lantaran penulis telah memotret interkoneksitas antara subjek (individu) dengan sesuatu yang ada di luar dirinya sendiri. Sebuah pengejawantahan potret drama sosial —tentang ruang dan waktu— yang dilakoni oleh pemilik-pemilik gesture individu masyarakat desa terpencil bernama Rapah Ombo Plandaan di Kabupaten Jombang dalam melawan segala macam keterbatasannya. Tulisan sederhana yang terlihat atraktif dalam merepresentasikan drama sosial tentang kesederhanaan dan kemandirian masyarakat di desa terisolir tepian batas Jombang wilayah Barat yang sangat terbatas akan akses informasi dan geografis ke tempat lainnya.

Performa keseharian masyarakat desa terpencil itu pada hakikatnya menjadi sebuah cermin untuk merefleksi diri tiap-tiap individu dalam menjalankan peran di kehidupan nyata. Sebuah performa yang tidak mengarah pada seni pertunjukan, akan tetapi mengarah pada sajian tatanan sosial, pekerjaan, dan peran pembentukan subjek masyarakat kolektif suatu desa yang bersumber dari cerita babad kampung, jejak-jejak kolonialisme, dan revolusi kemerdekaan Indonesia.

Kerja kreatif yang diusung atau dipotret oleh Komunitas Mikroba dalam buku ini menyuguhkan hasil kerja sederhana yang dilakukan oleh pekerja komunitas tanpa menggubah tatanan atau gesture sosial masyarakat setempat. Melainkan, turut ‘memerankan’ dan ‘berperan’ aktif dalam kelompok masyarakat sebagai upaya pembentuk mentalitas tubuh atau individu masyarakat.

Tidak hanya itu, catatan kurasi menarik lain sebagai upaya melestarikan dan menanamkan pesan filosofis kepada generasi muda juga bisa disimak dari cerita di sub bab ‘Masyarakat dan Aktivitas Tradisi’ lainnya. Seperti halnya cerita apik tentang Cak Trubun sang pewaris kepala Banteng dalam kesenian Bantengan di Batu Malang, cerita gairah atau semangat kerja seni Ketoprak Ngampungan di Solo, serta geliat Wayang Tenda di Semarang sebagai upaya alternatif untuk menciptakan iklim kehidupan modern yang sehat di tengah arus metropolitan yang kian hari kian bergerilya.

Seni tradisi Bantengan di tanah Jawa misalnya, yang diyakini bisa dijadikan sebagai alat atau media untuk mengumpulkan, menyatukan, dan mengguyupkan masyarakat. Hal tersebut merujuk pada anggapan warisan leluhur yang menempatkan posisi kesenian itu sebagai media spiritual dan dijadikan sebagai pelajaran ilmu kanuragan bagi para pemuda desa setempat. Dan, menciptakan suasana-suasana magis yang syarat atau kaya simbol-simbol kebudayaan Jawa tentunya merupakan wujud spiritual dalam rangka memupuk sifat-sifat solidaritas dan kebijaksanaan antarsesama.

Menariknya, cara sederhana untuk menemukan sensasi atau kebahagiaan dalam menyelami seni tersebut hanya bisa dilalui dengan terjun langsung di lapangan: —melihat secara langsung kesenian berlangsung, merasakan aura-aura kerakyatan, serta mendengar hiruk-pikuk para penonton yang melingkupinya. Cara sederhana inilah yang kemudian disebut sebagai ilmu teater sesungguhnya.

Sasaran utama kerja kreatif yang diusung dalam buku Kota-Kota Bersuara ini memang ditujukan untuk para generasi muda, baik pada tataran pelajar, mahasiswa, maupun pemuda-pemudi desa yang sudah bekerja. Akan tetapi, semua dititikberatkan pada kerja teater dan seni-seni lain yang melingkupinya. Baik seni rupa, musik, tari, maupun film. Jika generasi muda bisa dikendalikan, maka pastilah generasi tua akan tergerak untuk mengikutinya. Langkah-langkah kreatif itu termanifestasi seperti halnya pada kurasi kerja kreatif Komunitas Seni Nan Tumpah (KSNT) di Sumatera Barat, Komunitas atau Sanggar Pasinaon di Solo, Seni Bosan (Bocah Santri) di Jogjakarta, Mozaik Hidup Kami di Surakarta, Skena Teater di Mataram Nusa Tenggara Barat, Ruang Karakter di Malang Jawa Timur, Ruang Karakter di Jogjakarta, Komunitas Kiprah Perempuan (KIPPER) di Jogjakarta, maupun SFNlabs di Mataram Lombok.

Akan teramat disayangkan jikamana catatan-catatan kerja kreatif itu dilewatkan dan tidak ditularkan antarsesama. Hal tersebut dikarenakan dua puluh satu cerita kerja kreatif itu bisa diadopsi, dikembangkan, atau direalisasikan di daerah-daerah senada lainnya. Sebagai upaya sederhana untuk penyadaran mental dan penguat sinyal-sinyal daya khayal dalam rangka menggugah kesadaran bersama tentang arti kerja sinergitas dalam berkesenian. Oleh karena, seni selalu mengajarkan tentang beragam keindahan dan kebermaknaan yang hakiki. Selamat membaca. Selamat menumbuhkan kesenangan belajar bersama.
***

_________________
*) Anton Wahyudi, bermukim di Dusun Jambu RT/RW: 2/2, Desa Jabon, Jombang. Mengelola Jombang Institute, sebuah Lembaga Riset Sejarah, Sosial, dan Kebudayaan di Jombang, Jawa Timur. Di samping aktif dalam kegiatan menulis, dan sebagai editor lepas, menjadi Dosen Sastra Indonesia di Kampus STKIP PGRI, Jombang. Buku terbarunya “Guruku, Ayahku, Kakakku Kwat Prayitno” (2020).

Leave a Reply

Bahasa »