Djoko Saryono *
/1/
Pancasila sebagai konsensus bangsa Indonesia, yang berakar pada tradisi luhur bangsa, dapat menjadi sumber kreativitas dan inovasi kebudayaan bangsa di samping menjadi sumber konstruksi kebudayaan. Selanjutnya kebudayaan dapat diposisikan sebagai basis dan orientasi pembangunan bangsa karena dimensi terdalam pembangunan adalah kebudayaan pada satu sisi dan pada sisi lain pembangunan merupakan proses pembudayaan. Di sinilah terlihat hubungan erat antara Pancasila, kebudayaan, dan pembangunan, bahkan dapat dinyatakan tesis bahwa terdapat pertautan saling menguntungkan [simbiotis] antara Pancasila, kebudayaan, dan pembangunan bangsa.
Sebagai temuan cemerlang bangsa Indonesia yang otentik dan koheren, karakter inti Pancasila adalah gotong royong. Sebagaimana bangsa Amerika memiliki karakter inti kebebasan, bangsa Tiongkok memiliki karakter inti keuletan atau ketangguhan, bangsa Indonesia memiliki karakter inti kegotongroyongan. Kegotongroyongan sebagai karakter inti Pancasila ini disertai oleh semangat asal (fitrah) kehidupan bersama baik kehidupan berbangsa maupun bernegara berupa (a) semangat menuhan (ketakwaan kepada Tuhan), (b) semangat kekeluargaan, (c) semangat keikhlasan dan ketulusan, (d) semangat tanggung jawab dan pengabdian, (e) semangat menghasilkan yang terbaik, (f) semangat keadilan dan kemanusiaan, dan (g) semangat kejuangan. Kegotongroyongan seperti ini mampu membuahkan kesetiakawanan sosial, yang selanjutnya terbukti mampu menjadi tenaga batin dan prasyarat moral yang mengangkat marwah bangsa pada satu sisi dan pada sisi lain mampu menjadi instrumen untuk mengatasi berbagai kesulitan dan masalah bangsa Indonesia yang demikian majemuk baik secara historis, geokultural maupun sosiokultural dan religiokultural.
Itu menunjukkan bahwasanya keanekaragaman bangsa Indonesia – baik secara etnis maupun kultural – terbukti terselamatkan oleh kegotongroyongan. Berbagai kisah sejarah dan pengalaman masa lalu (baik yang dituliskan maupun hanya dituturkan) yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia memberikan bukti kebenaran hal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa berkat kegotongroyongan terciptalah kesatuan dalam keberagaman di Indonesia; di sini kegotongroyongan menjadi titik-temu atau titik-simpul kesatuan dalam keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Lebih lanjut hal tersebut mengimplikasikan bahwa daya-selamat bangsa (survival of the nation) Indonesia ditentukan oleh karakter kegotongroyongan bangsa Indonesia.
/2/
Kegotongroyongan yang menjadi titik-temu kesatuan dalam keberagaman di atas merupakan basis simbolik atau basis mental kebudayaan. Dengan kata lain, basis mental kebudayaan berjangkarkan karakter dan moral sehingga mentalitas bertautan erat dengan karakter dan moralitas. Basis mentalitas kebudayaan ini merupakan dasar budaya kemajuan, yang akan menentukan basis sosial dan basis material kebudayaan. Komparasi geokultural dan historis membenarkan hal tersebut. Sebagai contoh, secara komparatif, kemajuan bangsa Amerika dan Korea Selatan justru disokong oleh investasi mentalitas, bukan material dan sosial. Kedua bangsa tersebut mampu mengekspor hasil-hasil kreativitas dan inovasi ke berbagai negara di dunia. Dewasa ini produk-produk kreatif dan inovatif Amerika dan Korea Selatan membanjiri negara-negara di dunia. Hal ini menandakan bahwa transformasi atau transformasi kebudayaan menjadi penentu kemajuan bangsa Amerika dan Korea Selatan.
Sementara itu, secara historis komparatif, kemajuan Eropa pada masa lampau dan sekarang, sejak zaman pencerahan hingga sekarang disokong oleh ilmu pengetahuan, riset, dan kreativitas. Resainsans merupakan titik balik kemajuan Eropa yang didasarkan pada gairah tinggi akan ilmu pengetahuan, riset, dan kreativitas. Hal ini juga menandakan bahwa transformasi kebudayaan menjadi basis lahirnya kembali Eropa. Dalam pada itu, investasi material yang menjadi fokus dan tekanan Orde Baru justru membawa keruntuhan ekonomi dan politik Indonesia, mengantarkan Indonesia ke jurang krisis multidimensi, alih-alih membawa kemajuan bangsa Indonesia. Sebab itu, kebudayaan khususnya basis mental kebudayaan menjadi motor atau mesin kemajuan pembangunan sebuah bangsa.
Berkenaan dengan itu, timbul pertanyaan: Mengapa bangsa Indonesia demikian susah mencapai kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan bangsa? Hal ini terjadi karena baksil-baksil mentalitas menjangkiti kebudayaan Indonesia. Pelbagai baksil mentalitas seperti feodalisme, tidak percaya diri, tidak mandiri atau serba bergantung, dan tidak kreatif telah membentuk struktur mental yang menciptakan involusi kebudayaan, stagnasi kebudayaan, disorientasi dan dislokasi kebudayaan, dan bahkan kemunduran kebudayaan. Bahkan korupsi yang demikian meruyak dan merusak sendi-sendi kehidupan negara, bangsa, dan masyarakat merupakan salah satu baksil mentalitas yang ganas dalam kebudayaan Indonesia.
Berbagai bukti dan pengalaman sejarah bangsa Indonesia, yang terentang mulai Aceh sampai dengan Papua, memperlihatkan bahwa gagalnya pembangunan pada masa lalu dan masa modern disebabkan oleh kemunduran kebudayaan atau ketua-rentaan kebudayaan. Demikian juga gagalnya pembangunan Indonesia lebih banyak ditentukan oleh ketua-rentaan kebudayaan. Oleh karena itu, agar pembangunan Indonesia berhasil perlu dilakukan pembalikan keadaan tersebut. Di sinilah diperlukan perubahan kebudayaan, transformasi kebudayaan sehingga pembangunan pada dasarnya proses transformasi atau transformasi kebudayaan.
Proses transformasi kebudayaan itu perlu dimulai dari basis mental kebudayaan sehingga diperlukan transformasi mental. Transformasi kebudayaan yang sukses selalu dimulai dari basis mental kebudayaan pada satu sisi dan pada sisi lain bermuara pada keberhasilan pembangunan. Di sinilah transformasi mental harus menjadi tugas sejarah (imperatif historis) bagi kita semua yang mencintai kemajuan, kemakmuran, dan kejayaan Indonesia.
/3/
Dalam usaha melaksanakan transformasi kebudayaan, proses penyegaran kebudayaan supaya terhindar dari ketua-rentaan kebudayaan, penting untuk ditengok, digali, dan dimanfaatkan kebudayaan tradisi atau kebudayaan lokal. Dengan perkataan lain, restorasi, revitalisasi, dan rejuvinasi kebudayaan lokal atau kebudayaan tradisi dapat digunakan untuk melakukan transformasi atau transformasi kebudayaan, yang akan mendukung keberhasilan pembangunan bangsa. Dikatakan demikian karena beberapa alasan.
Pertama, secara komparatif, pengalaman sejarah Eropa, Amerika, Korea Selatan, dan Jepang menunjukkan bahwa titik balik kemajuan bangsa-bangsa tersebut berdasarkan kebudayaan lokal atau kebudayaan tradisi masing-masing, dalam hubungan ini bersangkutan dengan mentalitas bersumberkan kearifan lokal yang luhur. Kreativitas, inovasi, dan invensi kebudayaan berlandaskan kebudayaan lokal atau tradisi menjadikan bangsa-bangsa tersebut mencapai kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan; kreativitas, inovasi, dan invensi mentalitas luhur menjadikan bangsa-bangsa tersebut maju, makmur, dan sejahtera.
Kedua, secara historis, pengalaman sejarah (lokal dan nasional) Indonesia menunjukkan bahwa kebudayaan-kebudayaan lokal di Indonesia yang mandek, mundur, melapuk, dan menutup diri telah menjadikan mundurnya wilayah-wilayah atau suku-suku bangsa pemangku kebudayaan lokal tersebut. Sebaliknya, keterbukaan, kesiapan berubah, dan kreativitas kebudayaan lokal terbukti telah memajukan dan memakmurkan wilayah atau suku bangsa pemangku kebudayaan tersebut.
Ketiga, berbagai pengalaman sejarah Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan sampai dengan tahun 1950-an (zaman transformasi fisik sampai dengan transformasi sosial) juga menunjukkan bahwa keberhasilan negara-bangsa Indonesia menegakkan, mempertahankan, dan merawat kemerdekaan yang menginspirasi dan memberi teladan bagi berbagai bangsa di belahan dunia didorong oleh adanya transformasi atau transformasi kebudayaan khususnya transformasi atau transformasi basis mental kebudayaan yang didasarkan atas kebudayaan lokal atau tradisi. Semua itu mengimplikasikan bahwa modal kultural menjadi kekayaan utama sebuah bangsa yang sukses melaksanakan transformasi kebudayaan sekaligus pembangunan pada satu pihak dan pada pihak lain keberagaman kebudayaan lokal atau tradisi telah menjadi modal dasar keberhasilan pembangunan.
Atas dasar hal itu, boleh dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan ditentukan oleh seberapa besar potensi kebudayaan lokal atau kebudayaan tradisi yang ada dapat diakumulasikan atau dikonversi menjadi modal kultural pembangunan. Di samping itu, keberhasilan pembangunan negara dan bangsa Indonesia juga ditentukan oleh seberapa besar kemampuan negara dan bangsa untuk metransformasi kebudayaan tradisi khususnya basis mental kebudayaan tradisi di Indonesia menjadi modal pembangunan negara dan bangsa Indonesia.
Sebagaimana diketahui, kebudayaan lokal atau tradisi sebagai modal kultural pembangunan negara dan bangsa Indonesia sangatlah beraneka ragam. Setidak-tidaknya terdapat ratusan variasi kebudayaan lokal di Indonesia yang dapat dijadikan modal kultural negara dan bangsa Indonesia. Lebih lanjut, berbagai variasi kebudayaan lokal atau tradisi di Indonesia tersebut memiliki berbagai unsur atau wujud yang sangat beragam pula, baik berwujud kesenian, permainan, ilmu pengetahuan, maupun spiritualitas dan ekonomi. Berbagai variasi kebudayaan lokal tersebut dapat menjadi modal kultural pembangunan negara dan bangsa Indonesia dengan cara direstorasi, direvitalisasi, dan direjuvinasi. Di sini diperlukan kreativitas, inovasi, dan invensi kebudayaaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa potensi kebudayaan lokal atau tradisi di Indonesia demikian kaya dan banyak untuk diolah menjadi modal kultural pembangunan negara dan bangsa Indonesia.
Kemampuan, kecendekiaan, dan kecekatan mengolah potensi kebudayaan lokal di Indonesia yang beraneka ragam tersebut bergantung pada seberapa besar karakter kreatif dan inovatif kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia pada satu sisi dan pada sisi lain seberapa kuat masyarakat Indonesia mampu membangun mentalitas kebudayaan yang diperlukan oleh pembangunan negara dan bangsa Indonesia. Di sinilah diperlukan politik budaya dalam proses pembangunan negara dan bangsa Indonesia.
/4/
Semua itu menunjukkan bahwa pembangunan negara dan bangsa Indonesia merupakan pelaksanaan politik budaya. Di sini mengemuka pertanyaan: politik budaya seperti apakah yang mampu mendorong dan mendukung keberhasilan pembangunan negara dan bangsa Indonesia, dalam arti memajukan, memakmurkan, menyejahterakan, dan membahagiakan masyarakat Indonesia? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini diperlukan perumusan politik budaya Indonesia sebagai praksis pembangunan negara dan bangsa Indonesia termasuk permusan peta-jalan transformasi mental sebagai politik budaya Indonesia dalam rangka pemberantasan korupsi.
Perumusan politik budaya Indonesia – termasuk perumusan transformasi mental sebagai politik budaya dalam rangka pemberantasan korupsi – yang mampu membawa keberhasilan pembangunan negara dan bangsa Indonesia harus melibatkan banyak pemangku kepentingan budaya di Indonesia, mengajak seluruh lapisan masyarakat Indonesia, tidak boleh hanya pihak tertentu yang merumuskan politik budaya Indonesia. Selain itu, perumusan politik budaya – terutama transformasi mental sebagai politik budaya dalam pemberantasan korupsi – harus dilaksanakan secara mendasar, mendalam, dan menyeluruh serta bersistem sehingga memerlukan dialog, diskusi, dan pembicaraan yang serius dan kritis.
Khusus dalam usaha merumuskan transformasi mental sebagai politik budaya dalam pemberantasan korupsi – sehingga pembangunan negara dan bangsa berhasil – perlu dipastikan dan dipertegas bahwa transformasi mental yang kita rumuskan haruslah transformasi mental Pancasila, bukan transformasi mental yang lain, karena Pancasila merupakan konsensus bangsa Indonesia dan peleburan tradisi luhur bangsa Indonesia yang menjadi sumber kreativitas dan inovasi budaya selain sebagai konstruksi budaya Indonesia. Perumusan transformasi mental Pancasila tersebut harus relasional dan sistemik sehingga sila-sila beserta segala nilai yang dikandung di dalamnya tidak hanya dipandang secara terpisah-pisah [secara analitis], melainkan dipandang secara terpadu dan utuh [holistik]: kelima sila membentuk hubungan sistemik dan relasional.
Setelah rumusan transformasi mental Pancasila tersebut dapat diperoleh, selanjutnya penting sekali ditransformasikan menjadi gerakan nasional, yang dapat kita sebut gerakan transformasi mental Pancasila. Gerakan nasional transformasi mental Pancasila ini harus dilakukan dalam seluruh lapangan kebudayaan atau kehidupan kita bernegara dan berbangsa – baik lapangan pendidikan, ekonomi, sosial maupun lapangan kebudayaan lainnya. Dalam hubungan ini lini lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan lembaga negara dapat menjadi ruang strategis dan vital bagi gerakan nasional transformasi mental Pancasila sehingga perlu memperoleh fokus perhatian secara sungguh-sungguh.
Dalam gerakan transformasi mental Pancasila di berbagai lembaga tersebut penting ditekankan pembatinan, penanaman, dan pembiasaan [internalisasi, intensifikasi, dan habituasi] mental Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sehingga dicapai ketergugahan dan ketercerahan bangsa dan masyarakat Indonesia semakin mantap dan kuat. Bilamana bangsa dan masyarakat Indonesia tergugah dan tercerahkan oleh mentalitas Pancasila kita bisa berharap pemberantasan korupsi memperoleh pijakan dan landasan yang kokoh dan kuat.
***
______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.