1 /
Menganggap segenap pemikiran “Barat” itu sebagai wujud kolonialisme, menganggap logika itu propaganda kafir, menganggap sains dan filsafat itu persuasi iblis—yang mendorong manusia jatuh ke dalam dosa—menurut saya, pemikiran begitu, tiada lain contoh dari propaganda itu sendiri, pula semacam logical fallacy yang disebabkan oleh kerancuan komposisi, dan sama sekali bukan argumen logis. Propaganda seperti itu membuat “para pemeluk teguh agama” menjauhi objek masalah, lalu menganggap sains-filsafat-logika setara najis yang haram disentuh, apa lagi dikaji—mirip doktrin para fundamentalis ekstrim dan teroris bertopeng agama. Dengan lain kata, membuat orang semakin tak paham masalah-masalah sebenarnya, alias terus berdamai dengan kebodohannya. Lalu, pada titik itu, para penyeru propaganda tersebut akan mulai membangun istana pasir bagi para pengikutnya, para musang nan berjinak-jinak itu, satu istana yang dibayangkan lebih kokoh daripada besi, meski faktanya amatlah rapuh.
Misalnya begini, seseorang mengecam peradaban Barat dengan berapi-api, sementara ia sendiri masih menggunakan Facebook untuk melontarkan kecamannya itu. Jika ia berdalih, Facebook hanyalah alat, maka beri ia tiga pertanyaan dan satu pernyataan dengan tanda seru berikut ini: Apakah alat yang bernama Facebook itu dibuat sama sekali tanpa dasar sains, tanpa epistemologi, tanpa logika yang Anda tuding secara serampangan berasal dari kolonialisme Barat, dari ajaran kafir, dari Iblis? Apa facebook itu dibuat laiknya spesies homo sapiens dulu memunguti belulang binatang lalu menggunakannya sebagai pentungan, sebagai senjata, sebagai alat untuk berburu? Bisakah kini Anda membuat alat semacam Facebook hanya dengan memungut sepotong tulang rusuk unta di gurun? Jika bisa, buktikan!
2 /
Sejarah episteme itu, sejarah pemikiran dan kebudayaan dan peradaban manusia itu, tak pernah bisa “murni”, tak pernah mungkin atau akan seutuhnya murni, tanpa pengaruh dari yang lain, kecuali hanya dalam imajinasi yang luar biasa naif. Jika menurut Anda memang ada pemikiran murni seperti itu, silakan tunjukkan pada saya pemikiran yang seperti apa, konsep yang seperti apa, teori yang seperti apa yang dimaknai sebagai murni itu, yang ditafsirkan seolah hanya bersandar pada “pikiran ilahi” itu?
Ketika kita menggunakan sistem bahasa tertentu, maka bahasa itu tak bisa murni, karena bahasa—sistem bahasa mana pun—adalah produk “interaksi” manusia dengan manusia lainnya atau dengan alam lingkungannya atau dengan dirinya sendiri. Dan, dengan sangat berat hati, berdasarkan fakta sains perihal sejarah bahasa, saya mesti menyatakan bahwa sistem bahasa manusia sama sekali bukan derivasi dari alam gaib, perihal yang sering dimaknai sebagai yang murni itu, kecuali hanya dalam mitos belaka. Lebih jauh, bahasa sebagai produk dari pemikiran, baik di sini maupun di sana, pada faktanya saling berinteraksi. Hal ini bahkan sudah dibuktikan dalam Teorema Ketaklengkapan dari Kurt Godel atau Teori Kebenaran Semantik dari Alfred Tarski. Agar lebih jelas perihal hakikat interaksi dalam bahasa tersebut saya akan berikan contoh yang akrab dalam fakta sehari-hari kehidupan kita.
MIsalnya begini, konsep angka nol dalam bahasa Arab—dilambangkan dengan titik—baru muncul dalam matematika Islam dan Eropa abad pertengahan setelah seorang matematikawan Islam dan penerjemah buku filsafat Yunani dari Persia, Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi (780 – 850 M), mengadopsinya dari konsep bilangan Brahmagupta (matematikawan dan astronom dari India, 598 – 670 M). Namun, bilangan nol juga diciptakan oleh Bangsa Babilonia di Timur Tengah dan Bangsa Maya di Amerika Latin. Bangsa Babilonia memperoleh sistem bilangan mereka dari Bangsa Sumeria, bangsa pertama di dunia yang mengembangkan sistem penghitungan sekira 4.000 hingga 5.000 tahun lalu. Uniknya, sistem simbol dari Bangsa Sumeria tersebut merupakan sistem terbuka, karena menyatakan bahwa nilai satu simbol tergantung terhadap simbol lainnya. Contoh lain, dalam konteks etimologi, sekira 70% – 80% kosa kata dalam Bahasa Melayu dan Indonesia itu merupakan kata-kata serapan dari Bahasa Sanskerta, Bahasa Tamil, Bahasa Portugis, Bahasa Belanda, Bahasa Cina, Bahasa Jepang, Bahasa Arab, dan Bahasa Inggris. Hal ini membuktikan bahwa perihal bahasa itu sama sekali bukan perihal yang murni, melainkan interaksi.
Sampai di sini kita bisa menyatakan bahwa “pemaknaan kata” adalah akar dari sistem berpikir manusia, dasar dari episteme, dan karenanya sejarah epistemologi adalah sejarah interaksi juga, saling pengaruh (diafirmasi atau dinegasi), serta sama sekali tak pernah merupakan pemaknaan yang murni, yang dikhayalkan bersih dari segala “noda” yang lain. Oleh karenanya, bahasa—seperti juga pemikiran manusia—tak pernah bisa menjadi murni, tak pernah bisa menjadi absolutis/absolutisme, melainkan hanya interpretasi terhadap “yang lain”—terserah apakah yang lain itu hendak dimaknai sebagai yang nyata atau yang tersembunyi.
3 /
Syekh Ibnu Arabi (1165 – 1240), seorang sufi dan filosof dan penyair dari Andalusia (Spanyol), dalam buku Futuhat Al Makkiyyah, juz 5, lanjutan pasal 1, bab 2, ada berujar, “Bahwasanya huruf-huruf adalah salah satu umat di antara umat-umat yang diseru dan dibebani taklif. Di antara mereka terdapat rasul-rasul dari kalangan mereka dan memiliki nama-nama dari perspektif mereka sendiri… Alam huruf adalah alam yang paling fasih budi bahasanya dan paling jelas dalam penjelasan dibandingkan alam-alam lain… Dan mereka memiliki syariat yang mereka diharuskan beribadah dengannya. Alam-alam mereka ada yang lembut dan ada yang kasar. Seruan yang diberikan kepada mereka hanya berupa perintah, tiada larangan bagi mereka. Di antara mereka ada yang dari kalangan awam, khusus, khawasul khawas, dan lain-lain.”
Ungkapan-ungkapan “metaforik” tasauf filosofis oleh Ibnu Arabi, misalnya seperti yang saya terakan di atas, bisa diduga meneruskan interpretasi atau minimal ada interteks dengan pandangan Plato (424 – 348 SM) tentang Logos—tentang ide, dunia ide, dan idea. Hanya saja Ibnu Arabi kemudian mengaitkannya dengan konteks Islam, meletakkan interpretasinya itu pada tataran Al-Quran dan Hadis. Sama seperti dalam iman Kristiani yang berusaha mengaitkan konsep Logos sebagai Theos (Tuhan) dalam konteks kehadiran Yesus sebagai “Firman” yang menjelma. Namun, perlu kita ketahui, konsep Logos pertama kali justu tidak diungkapkan oleh para filsuf Yunani, melainkan oleh seorang filsuf atau mistikus dari Emperium Persia awal, tepatnya di daerah Turki sekarang, tatkala ajaran Zarathustra masih menjadi pandangan religius mayoritas di sana, yaitu oleh Heraclitus (535 – 475 SM).
Perihal metaforik tersebut, berarti perihal ungkapan atau ujaran, jelas tidaklah identik dengan realitas yang dimetaforakan, tetapi hanya mengandung perihal “kemiripan”. Ungkapan (tanda) metaforis tersebut berusaha menjelaskan realitas atau ide yang dicerap manusia melalui sistem tanda (penanda dan petanda) dan persepsi indrawi dengan menggunakan “kendaran metaforik”, atau menggunakan perbandingan yang dilandasi kemiripan antara topik dengan metaforanya. Secara linguistik, ungkapan tasauf filosofis dari Ibn Arabi di atas adalah ungkapan metaforis, karena ia berusaha menjelaskan tidak secara literal satu realitas yang dihayatinya dalam satu pengalaman spiritual, tetapi dengan menggunakan kendaraan metaforik, misalnya berupa simbol huruf-huruf Arab yang ia perbandingkan langsung dengan kehidupan “umat” manusia.
Hal di atas bisa menimbulkan pertanyaan: Apakah Ibnu Arabi bisa kita pastikan telah mengalami pencerahan spiritual hanya dengan membaca pernyataan metaforisnya tersebut? Menurut saya tak ada yang bisa membuktikan kepastian pencerahan Ibnu Arabi tersebut, kecuali Ibnu Arabi sendiri dan Sang Absolut yang ia yakini. Kita cuma bisa berspekulasi tentang hal itu berdasarkan pendapat orang lain atau pengakuan Ibnu Arabi yang kita baca dalam bukunya. Pengakuan seperti itu tak bisa menjelaskan apa yang “sebenarnya” terjadi, karena pengakuan itu juga hanya spekulasi, sesuatu yang terbatas, dan tak bisa menjadi sebuah pengakuan absolut. Itu adalah pengalaman personal Ibnu Arabi sendiri dengan “The Great Outdoors” yang ia yakini. Hal demikian tidak bisa dijelaskan seperti kita menjelaskan fenomena sains atau filosofis misalnya, yang bisa diuraikan secara universal maupun partikular dalam kerangka sains dan atau logika tertentu. Pula, Ibnu Arabi sendiri tak menyatakan bahwa pernyataan metaforisnya itu merupakan semacam absolutisme.
Lantas, apa sebenarnya pernyataan absolutisme itu? Apakah pernyataan metaforis Ibnu Arabi tentang emanasi *) adalah emanasi itu sendiri, adalah absolutisme perihal realitas ilahi yang menjelma ke dalam realitas empiris, adalah Ya Zahir (Yang Maha Hadir) itu sendiri?
4 /
Untuk menjawab pertanyaan perihal keabsolutan tersebut, nampaknya kita bisa beralih ke pemikiran Quentin Meillassoux (pelafalan: Qountan Meissou), seorang filsuf Prancis abad ke-21, yang menulis buku berjudul “After Finitude” (2010)—satu buku yang cukup menyentak dunia pemikiran filosofis kontemporer. Namun, saat ini, saya hanya akan sedikit menguraikan inti kerangka pikir Miellassoux terlebih dahulu, belum dalam konteks mengkritiknya.
Salah satu konsep inti di dalam buku After Finitude tersebut adalah perihal “korelasionisme”. Menurut Miellassoux, konsep korelasionisme yang ia maksudkan merupakan satu kritik epistemologis terhadap realisme naif yang secara absolut bersandar pada prinsip korespondensi atau idealisme naif yang bersandar pada prinsip koherensi. Ia membantah absolutisme kedua prinsip tersebut dengan mengeluarkan satu tesis bahwa semua itu sebenarnya masuk wilayah spekulasi. Ia kemudian berargumen bahwa yang “absolut sejati” ada di luar pikiran (tidak tergantung pada pemikiran manusia), juga adadi luar teks (tidak tergantung pemaknaan dalam konteks berbahasa), seperti objek dan peristiwa misalnya. Begini dua argumennya:
1) “Let us call ‘speculative’ every type of thinking that claims to be able to access some form of absolute, and let us call ‘metaphysics’ every type of thinking that claims to be able to access some form of absolute being, or to access the absolute through the principle of sufficient reason. If all metaphysics is ‘speculative’ by definition, our problem consists in demonstrating, conversely, that not all speculation is metaphysical, and not every absolute is dogmatic–it is possible to envisage an absolutizing thought that would not be absolutist.” (After Finitude, p.34)
2) “Every materialism that would be speculative, and hence for which absolute reality is an entity without thought, must assert both that thought is not necessary (something can be independently of thought), and that thought can think what there must be when there is no thought.” (After Finitude, p.36)
Tiliklah argumen 1 dan 2 dari Miellassoux yang saya kutip di atas. Semua penjelasan filosofis atau saintis—baik yang berdasarkan prinsip idealisme maupun materialisme—bagi dia adalah spekulasi dan tak bisa menjadi “absolutis/absolutisme”. Sebagai satu pernyataan spekulatif, maka pernyataan itu bisa benar atau salah, bisa dikoreksi terus-menerus. Tak ada penjelasan absolut bagi dia, tak ada prinsip absolut juga. Yang absolut adalah objek di luar teks, di luar bahasa. Meski demikian, manusia tetap bisa menjelaskan keabsolutan hal di luar teks itu asalkan tidak terjebak pada pandangan absolutis/absolutisme. Hal begini sebenarnya mirip pandangan di dalam spiritualitas Zen. Zen, sebagai jalan sekaligus pencerahan “di luar kata”, tidak dinyatakan oleh para master Zen sebagai konsep yang absolutis/absolutisme, sebab: “Tangan yang menunjuk bulan, bukanlah bulan.”
Jadi, dalam kerangka argumen Miellassoux, korelasi itu tidaklah dinafikan perannya, tapi yang dibatalkan oleh Miellassoux adalah kecenderungan para filsuf atau spiritualis atau agamawan atau ilmuwan sebelumnya untuk membuat korelasi sedemikian menjadi semacam pandangan absolutis/absolutisme, pandangan yang tak bisa dibenarkan atau disalahkan, tak bisa dibuktikan secara filosofis maupun saintis, tapi mesti diterima hanya sebagai keyakinan yang tak terbantahkan. Ketika sebuah konsep atau asumsi dijadikan sebagai yang mutlak, baik itu dalam konteks realitas material maupun realitas ideal, maka itulah yang dibantah oleh Miellassoux. Semua asumsi dasar di dalam pikiran kita adalah spekulasi, bukan yang absolut—begitu pun dengan setiap penjelasan, setiap ujaran. Mari kita lihat argumen berikutnya dari Miellassoux:
3) “Everything in the world is without reason, and is thereby capable of actually becoming otherwise without reason. Everything could actually collapse: from trees to stars, from stars to laws, from physical laws to logical laws; and this is not by virtue of some superior law whereby everything is destined to perish, but by virtue of the absence of any superior law capable of preserving anything, no matter what, from perishing.” (After Finitude, p.53)
Kenapa Miellassoux menyatakan bahwa semua konsep itu spekulasi dan tidak bisa menjadi absolut? Karena semuanya dapat runtuh, mulai dari pohon, bintang hingga hukum logika dan fisika, semuanya akan berakhir, diganti yang baru, dikoreksi, begitu seterusnya. Juga, sebelum manusia ada–menurut fakta sains dalam bidang arkeologi, manusia baru membangun peradabannya sekira 6000 tahun lalu, sementara semesta tempat kita berdiam ini menurut fakta kosmologis dan bukti astronomis terkini telah ada 13,7 miliar tahun lalu–semesta ini telah lebih dulu ada. Misalnya, ketika era Jurassic, dinosourus sudah ada dan menguasai kehidupan di bumi sebelum manusia seperti kita sekarang menguasainya. Miellassoux memang memanfaatkan temuan-temuan sains terkini untuk membangun basis argumen filosofisnya. Namun, Miellassoux tak pernah menyatakan bahwa argumennya tentang keabsolutan “The Great Outdoors” masuk ke dalam wilayah absolutis/absolutisme. Sebab, jika sebuah konsep dinyatakan absolutis/absolutisme, maka konsep tersebut (terutama makna dari konsep itu) tak akan berubah, tak memiliki permulaan dan tak berakhir, dengan kata lain hal sedemikian tak ada dalam sejarah episteme. Kenapa? Karena pada faktanya semua konsep dalam pikiran manusia selalu memiliki “sejarah episteme”, memiliki awal dan akhir, dan selalu mungkin diinterpretasikan kembali, selalu mungkin berubah, yang berarti sama sekali tak bisa menjadi absolutis/absolutisme.
The Great Outdoors itu, alam raya di luar pikiran kita, telah-masih-akan ada tanpa memerlukan argumen apa pun. Dan, oleh karenanya, Anda bisa “membuktikan” The Great Outdoors itu selalu ada di sini dan saat ini, di tempat dan ketika Anda memikirkannya atau tidak memikirkannya, sebagai semacam latar dari segalanya—termasuk latar dari eksistensi Anda. Begitu sederhana.
Juli 2017
*) Konsep emanasi, perihal keilahian yang memancar menjadi alam empiris, dipinjam oleh Ibn Arabi dari filsafat Neoplatonisme. Konsep ini berasal dari Plotinus (204-70 SM), seorang filsuf besar fase terakhir filsafat Yunani. Jadi pendiri Neoplatonisme bukanlah Plato—hal yang sering disalahpahami orang di sini—tetapi oleh Plotinus. Di samping mendalami fisafat Yunani dari gurunya, Ammonius Saccas, Plotinus juga mendalami ajaran-ajaran mistik India dan Persia, yang waktu itu pas sedang populer. Intinya aliran filsafat ini berupaya menggabungkan ajaran Plato, Aristoteles (pelafalan: Aristotes), dan mistik Timur, yang kemudian dikenal dengan sebutan Neoplatonisme.
Jika ajaran Plato berpangkal pada “Yang Maha Baik” (Eudaimonia), yang meliputi segala-galanya, maka ajaran Plotinus berpangkal pada “Yang Maha Esa” (To Hen, mirip pelapalan kata “Tu-han” bila dalam Bahasa Indonesia). Menurut Plotinus, Yang Maha Esa itulah Prima Causa, pangkal dari segala-galanya. Yang Maha Esa adalah “Sang Sumber”, adalah permulaan sekaligus sebab dari segala yang ada. Dari Yang Maha Esa itu memancarlah segala sesuatu yang kita kenali sebagai alam raya ini, termasuk manusia seperti kita. Filosofi Plotinus berpusat pada keyakinan bahwa Yang Maha Esa adalah kesatuan dari segala sesuatu dan sama sekali tak memiliki kontradiksi di dalamnya. Inilah sebenarnya konsep emanasi Plotinus, yang juga menjadi inti tasauf filosofis dari Ibnu Arabi.
Jadi, dalam konteks ini, Plotinus adalah orang yang memunculkan konsep emanasi dalam filsafat Barat dan pemikiran mistik Islam, meski dalam filsafat Timur–di India (konsep Braman-Atman) atau di Babilonia (konsep Ahuramazda sebagai Cahaya Maha Cahaya) atau di Cina (konsep Yin-Yang dan Tao)–sudah ada berabad sebelumnya. Kemudian para filsuf Neoplatonik lainnya, terutama Lamblichus, menambahkan ratusan makhluk perantara seperti dewa, malaikat, dan mahluk gaib lainnya sebagai mediator antara Yang Maha Esa dengan manusia. Dewa-dewa Neoplatonisme adalah makhluk adikodrati yang nyaris sempurna dan tidak menampakkan perilaku amoral seperti dewa-dewa Yunani dan Romawi. Jadi, andai dalam terminologi Islam, sekalian dewa Neoplatonisme ini bisa disebut dengan istilah malaikat.
________________________
**) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandarlampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).