TAK ADA YANG LEBIH TEKUN KECUALI WAKTU
tak ada yang lebih tekun kecuali waktu
tak istirah bekerja mengukir wajah kalian
halus dan misterius, mungkin begitu
dan kalian tak sempat memperhatikan
lantaran sibuk memburu kesuksesan
di muka cermin selalu terburu dandan
lantaran suntuk di salon kecantikan
tak sempat bertemu dengan keaslian
lantaran tak merumuskan pertanyaan:
apa yang dalam hidup itu kepastian?
maka umur bekerja leluasa
menggoreskan lekuk-liku wajah kalian
sampai kalian, pada suatu ketika
bertanya: kemana masaku berlarian?
tak ada yang lebih cekatan
selain tangan lembut umur
melukis berbagai wajah kalian
: gambar-gambar perubahan
hingga batas
umur melepas kuas
tak ada lagi gambar wajah kalian
karena wajah tak lagi diperlukan
wajah-wajah pergi
membawa waktu yang ia punya
dan tubuh kalian terbaring di sini:
bumi yang fana
11 Juni 2020
KITAB PUISI
adalah
kitab puisi
lebih memberi arti
dari segelas pekat kopi
adalah
wajah berseri
niscaya lebih hakiki
dari segala fajar pagi
bila kau teguk kopi
sembari mengaji puisi
dengan binar wajah seri
itu lebih abadi dari mimpi
sebab segala ayat
jadi tempat sembunyi puisi
karena mimpi acap tersesat
di tebing rapuh halusinasi
11 Juni 2020
RUMAH
dihapus oleh pandemi korona
kota-kota mendadak sirna
dari peta di kepala
penjuru terlihat hanya mala
bahkan buana mengerut,
menyiramkan rasa kecut
bahkan dunia-hidup mengerucut,
cuma rumah riuh disebut
aku tak bisa kemana-mana
tak ada ruang terbuka
tak juga kehangatan bersempena
semua terpasangi alarm bahaya
bagi segala kiprah hayat manusia
aku tak dapat kemana-mana
kata-kata — tanda-tanda
menghentikan pergerakan
menyetop semua perjalanan
dan aku terkurung di curah seram
dan aku terkandang di jantung diam
aku tak mungkin kemana-mana
bahasa berisi ranjau belaka
suara-suara — nada-nada
lantas menghardik lantang
aksara-aksara — gatra-gatra
ialah aba-aba harus hengkang
alinea-alinea — makna-makna
cuma menyediakan penjuru: pulang!
pulang
maka aku pun pulang
rumah menyambutku girang
menjamuku berbulan-bulan
menyuguhi alami kehangatan
selama ini kuabaikan, mungkin
tak syak aku merasa tiba
di tempat asing: terpana
sebab hidup ialah wisata
bertahun-tahun tak purna
mendatangi wilayah tak kupunya
oh…inikah rumah?!
oh…inikah yang dinamai rumah?!
berwindu aku cuma datang dan pergi
persis musafir menginap genapkan hari
menanti esok untuk kemudian pergi lagi
oh…inikah rumah?!
tempat berdiam diri — kediaman hati
tempat tinggal insan — ruang kehidupan
kusangka penginapan — kalender bergantian
“inilah rumah kita, memang,
kurawat dan kujaga — bertahun kau terbang”,
suara perempuan begitu terang
yang amat kukenali
sebagai kekasih hati — tekun menunggui
berpuluh tahun — sampai umur terbantun
“di sini cinta — kudekatkan di perapian
bila kau tiba bisa menemukan kehangatan
terlebih saat korona ancam keselamatan
di sini kau dapat berdiang kerinduan”,
perempuan itu menawari keberkahan
bulan demi bulan aku di rumah
menanti suasana lekas berubah
sembari belajar memaknai kediaman
tempat kembali dari pengembaraan
“ajarilah aku menyalakan rindu
biar tungku hati baranya tak lesu
biar aku ingin berada di rumah selalu
kendati wabah korona sudah berlalu”,
rajukku — segera kau meringkus jarak
yang semula hanya setombak
lalu ada deru menabrak
dadaku yang tersentak
dan kulemparkan pandang
pada sekeliling rumah yang terang
memberi keamanan — keselamatan
di tengah pagebluk membahayakan
terlihat keasingan pergi
saat bernyanyi sebuah pagi
“ajarilah aku rindu, sayang,
agar aku senantiasa pulang!”
(bukankah kerinduan
yang paling hafal alamat kepulangan:
— hatimu yang berlantunan bacaan!)
perempuan itu menerawang
dan kurasakan pagebluk hilang
8 Juni 2020
SELAMAT MEMPERINGATI HARI LAHIR PANCASILA
ia menempuh perjalanan jauh
di sepanjang denyut nadi budaya
berhamparan seantero nusantara
sebelum berteduh di bawah pohon
dan disapa begitu banyak suara
ia menempuh percakapan riuh
di kecipak arus pikiran bersih ganih
berkejaran di laut jiwa orang terpilih
sebelum tiba di hening dada
orang cendekia dan orang ridha
tapi ia belum sampai tujuan
masih terbentang memanjang
horison harapan — kebanyakan orang
maka ia terus berjalan
kadang kesepian — kadang keletihan
kadang tersesat dan disesatkan
para penyamun berkeliaran
maka ia terus berjalan, kadang
melewati keributan — kadang sorak sorai
orang-orang bertikai, main hadang
atau orang berdansa, hingga abai
maka ia terus langkahkan diri
kadang di jalan
terdengar lantang teriakan
orang-orang kebanyakan
maka ia tetap ayunkan diri
kadang ditelikung
orang-orang berkepentingan
amankan nista kehidupan
tapi ia terus berjalan
belum sampai tujuan
belum sampai tujuan
cahaya fajar merah
masih indah
menemani
perjalanan diri
siluet senja
di kaki cakrawala
belum tiba
maka ia tetap berjalan
orang-orang merayakan
orang-orang mendoakan
ia tak letih berjalan
1 Juni 2020
Djoko Saryono, lahir di Madiun 27 Maret 1962, besar dan mukim di Malang. Menyelesaikan S1 (1986), Magister Pendidikan (1991), Doktor pendidikan (1997), dan meraih gelar Guru Besar di bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia (2009). Mengajar di IKIP Malang (Universitas Negeri Malang) sejak 1986. Menulis sekitar 25 buku mengenai perihal kebudayaan, kesenian, kesusastraan, kebahasaan dan pendidikan, diantaranya: Pergumulan Estetika Sastra di Indonesia; Perempuan dalam Fiksi Indonesia; Etika Jawa dalam Fiksi Indonesia; Suara Sufistik dan Religius dalam Sastra; Budaya, Seni dan Bahasa dalam Kelindan Kuasa. Kumpulan puisinya Arung Diri (2013), Arung Cinta (2015), Kemelut Cinta Rahwana (2015), Arung Flores (2015) dan Tafsir Kenthir Leo Kristi (2015).