RABAAN MISTIS, GELISAH PENYAIR, MEMBINA INSAN KAMIL *


DR. Fuad Mardhatillah UY Tiba **

Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu (berada) di dalam kaca, (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah baratnya, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walau tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa saja yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS, an-Nur: 35)

I
Ada dimensi bathin dari jagad makro (semesta alam) dan mikro (semesta manusia) yang terkadang tak mampu dimaknai, meski oleh seorang penyair atau filosof yang telah menjadi sinting sekalipun. Kehadirannya yang intensif dan mendalam sekalipun, juga niscaya gagal mengungkap keseluruhan makna melalui logika dan ungkapan sastrawi kosa-kosa kata yang sejauh ini telah pernah dicipta, dalam bahasa apapun, untuk coba mengekspresikan seutas makna yang tak berumpama dan bermisal, maka seolah hanya bathin-nya belaka yang mengerti tanpa mampu bercerita dalam kata-kata.

Seumpama bola kristal wajah realitas social dan pengalaman mistis yang memiliki perspektif serbamuka, baik facet maupun foci, bagi sebuah sudut pandang dari upaya pemaknaan yang di dalamnya mengandung kemajemukan semiotika, tanda-tanda, dan merupakan suatu fenomena abstrak, bathini, maka semata monopoli otonom pribadi yang mengalami. Sehingga, keadaan ketidak-mengertian maknawi dan ketidak-mampuan menangkap pesan-pesan intrinsic mistis yang membathin ini, seringkali menjemukan para pembaca, dan merasa dibuat kesal, putus-asa atas keterbatasannya untuk mengerti. Memang, terkadang si pembaca harus mengaku merasa terhibur oleh suatu situasi keindahan yang dipastikan terkandung di dalamnya, meski sebenarnya ia masih berada dalam gulita tak kunjung dimengerti.

Apalagi, saat sang penyair saja masih sedang coba-coba mengail nama dan makna, setelah berhasil mengabstraksikan suatu konsep pemahaman ke alam bathinnya, tentang ikhwal sesuatu yang sesungguhnya kongkrit belaka. Namun itu selalu harus dirumuskan ke dalam jagad makna yang menyingkapinya lapis-lapis konfigurasi hijab, yang justru menyebabkan sesuatu itu semakin sulit dimengerti. Tanpa penyingkap itu, maka semakin kecil pula medan realitas wujud yang berhasil diungkap-tafsirkan maknanya ke dalam kata-kata, yang niscaya dan sesungguhnya memiliki juntrungan teleologis permuaraannya, bagi perjalanan kelana seorang musafir-penyair, filosof ataupun sufi, menemukan lautan hikmah dari sebuah atom ma’rifah.

Itulah wilayah kerja sastrawi yang didalamnya berserak nilai-nilai misteri, aneka keanehan, keganjilan dan absurdity, dari perjalanan dan petualangan mencari makna dan hikmah yang kiranya melingkari medan realitas, fenomena dan afinitas gaya grafitasi keakuan (egohood) seorang penyair yang sangat subjektif. Kata demi kata yang diungkap secara tak pernah selesai, tetapi selalu coba dihadirkan kehadapan sidang para pembaca, dimana mensyaratkan adanya kemampuan hermeneutica terhadap ungkapan bathin kepenyairannya. Namun, sang penyair seringkali harus berharap untuk diberi apresiasi dan penghormatan atas suatu jerih-payah sastrawinya, walau kehadirannya tak persis dipahami oleh para pembacanya.

Di sini, antara produsen dan konsumen memang selalu ada kesenjangan yang menganga. Terutama, hal itu disebabkan oleh adanya apa yang dikatakan oleh Ludwig Wittgenstein sebagai pengejawantahan kehadiran pesona the game of language yang sepertinya memang tak begitu butuh akan suatu makna praktikal dalam membingkai prilaku yang koheren dan konsisten, yang sebenarnya selalu perlu diamalkan untuk coba memperkaya pengalaman sejarah ummat manusia. Boleh jadi, ungkapan Wittgenstein berupa: “Tractatus Logico-Philosophicus” (perjanjian logis kefilsafatan) yang menunjuk jalaran nalar pemaknaan atas realitas yang mengalir melalui entitas logika, intuisi dan spiritualitas kebahasaan, mengutarakan: “It is clear that however different from the real one an imagined world may be, it must have something—a from—in common with the real world”. Ini karena This fixed form consist of the objects di mana The substance of the world can only determine a form and not any material properties. For these are first presented by propositions—first formed by the configuration of the objects (Wittgenstein, 1922, no.2.022/2.023-2.0231).

II
Selanjutnya, ruang, waktu, konstruksi sejarah hasil ulah-laku dan lakon manusia, juga menunjuk kesadaran akan kehadiran Tuhan adalah semacam transendensi konfiguratif rendezvous para hamba, baik yang aulia maupun yang hina, yang mempertemukan imagi alam makhluk dengan kehendak azali Tuhannya yang niscaya tak kunjung harus dipahami eksistensialNya, walau dalam maqam ma’rifat yang telah menyingkap serba hijab yang mendinding antara yang mencipta dengan yang diciptakan. Karena, Tuhan memang harus dan niscaya harus hadir dalam sifat-sifat keilahian yang juga memang harus tidak pernah sepenuhnya dimengerti oleh hambanya, terhadap seluruh yang esensial dan substansial dari dimensi yang dinamakan “ketuhanan”, meskipun beragam upaya allegori dan interpretasi anthromorphism yang coba menggambarkan divine presence, memang sesungguhnya sah-sah saja dihadir-terjemahkan oleh manusia, walau dalam segala keterbatasannya yang sangat terbatas, meski kita selalu sulit menentukan dengan pasti di mana letak keterbatasannya.

Namun, upaya itu harus dilihat sebagai wujud manifestasi curiosity dari rasa cinta, yang tanpa Dia, kita seringkali menghadirkan bencana. Sehingga, hermeneutika mpenafsiran itu merupakan proyeksi dari nama-nama yang menyifati wajibul-wujud eksistensial-Nya di alam bumi yang nyata, bersama segala misteri yang memang selalu harus tersisa. Ini menjadi semacam kemestian azali, agar validitas ketuhanannya dapat diterima dan diakui oleh hambanya yang berakal, jika dan hanya jika masih tersisa aneka rahasia dan misteri. Ini diperkuat oleh watak akal itu sendiri, yang lantas menyimpulkan bahwa Tuhan memang harus completely berbeda dan tak terpahami, justru karena agar Ia sah menjadi Tuhan.

Sementara kebaradaan Tuhan memang bukan untuk dipahami, tetapi Tuhan mencipta manusia agar manusia memahami dirinya sendiri, dari mana ianya berasal, apa pula tugas-tugas kemanusiaan yang secara sunatullah wajib diemban dan ke mana pula ia harus mengemudi langkah-langkah hidup, di tengah gelombang exodus manusia meninggalkan rumah-rumah kodratinya, tanpa cinta, penuh benci, dan keinginan memusnahkan, yang dipandang akan melempangkan jalan menuju istana-istana imagi, yang seluruhnya adalah ilusi. Karena manusia, memang diberi hak dan kuasa untuk bermimpi, khususnya saat in melek dan terjaga…

Maka Nabi Muhammad SAW juga memberitahukan pada para malaikat Allah, bahwa banyak manusia yang mengalami kematian saat ia masih bergerak hidup kesana-kemari, tetapi is justru kembali merasa hidup saat ia telah terkurung dalam keranda kematiannya.

Di sinilah, kegelisahan dan persahabatan ataupun bahkan gugatan terhadap esensi ketuhanan yang semestinya tak pernah dipahami secara memadai dalam artian historisitas kemanusiaan. Namun, Tuhan justru semakin membuat para hambanya menjadi semakin gelisah dan penasaran untuk terus berusaha dekat denganNya. Meski kedekatan itu hanya sekedar sebuah ilusi, saat ia telah merengkuh maut…

Barangkali, inilah suatu rabaan mistis seorang din saja yang coba kembali pulang ke rumah azali, setelah sekian lama merantau ke alam nir-ilahi, yang mengembara ke alam teka-teki. Kini ia berikrar di hadapan Tuhan, justru karena ia kembali menggapai kemerdekaan dan kemandirian, melalui sujud-sujud yang kini telah mampu dilakukan.

Ada semacam kerelaan yang muncul saat ia menggapai kembali kemerdekaannya, yang selama ini dirasa direnggut oleh suatu kekuatan yang sebenarnya selalu bersemayam dalam benak dan kesadarannya sendiri yang merasa tidak merdeka. Padahal, selain Tuhan itu sendiri, tiada suatu kekuatanpun yang mampu merenggut kemerdekaan yang telah dianugerahkan Tuhan pada semua manusia yang terlanjur hidup, walau seringkali merasa terjajah dan terpasung dalam kehidupan yang tak mampu dielak, kecuali bunuh-diri saat ia merasa sangat kecewa, soal ikhwal kenapa kematian tak kunjung datang menyapa dan mengajak dirinya pergi. Padahal semestinya ia tak perlu bunuh diri atau membunuh orang lain, ketika ia telah sejak lahir, secara gradual sukses menjadi binatang dan gagal menjadi manusia.

Sehingga sejarah kemunafikan yang kini menjadi ”agama” baru masyarakat, meskipun ia harus mengimpor, di mana importirnya adalah setan-setan yang telah mendapat lisensi dari Tuhan, untuk membunuh kemanusiaan dan menjelmakan kebinatangan, yang jalang dengan hunus pedang, bedil-bedil dan missile-missile, yang menggelikan para setan, yang tergelak tawa sendiri. Itu merupakan sebuah momentum perayaan kesuksesan dengan ikrar kesetiaan kepada Tuhan-Tuhan baru yang diproduksi sendiri oleh alam ketakutan, yang kini mengurung eksistensinya. Dengan senyum dan air mata, juga jubah, butir-butiran tasbih dan helaian sorban, beserta persujudan dirinya pada sajadah kenistaan dari berhala-berhala fana, yang disayembarakan dalam sebuah festival memenggal leher-leher keluarganya sendiri, sebagai tumbal yang dilakukan untuk membuktikan kesetiaan dirinya pada iblis dan setan yang memberhalakan kematian saudaranya, sesama manusia. Namun ia seolah dengan gagah melenggang masuk syurga.

Maka, kita tak perlu heran jika, di rumah-rumah banyak bekicot, yang memelototkan mata menyedot sumsum-sumsum peradaban manusia, apalagi di dinding-dinding kamar, laba-laba menebarkan jala-jala, untuk kemudian, entah siapa selanjutnya menjadi mangsa-mangsa.

Dan begitulah, saat din saja, berpikir, membaca dan mengerti, apa maksud dan tujuan penciptaan, yang sepertinya, ada pertentangan antara dirinya dan Tuhan. Meskipun kemudian, ia bertekad untuk terus berzikir-pikir, semoga ia dapat bertemu dengan Dia, Allah, yang barangkali semakin malu bertemu dengan hamba-hambanya yang semakin angkuh dan nistanya keserakahan, menyusuri jalan menuju ke kuburannya, yang sejak awal telah dipersiapkan penggaliannya.
Walau kemudian, din saja, kiranya berhasil bertemu dan bercakap-cakap dengan Tuhan dan melapor bahwa di negeri ini ada ”sekuntum mawar” yang tak lagi harum, yang batangnya alif: ”arogan, lancang, ilusif dan fasik”; yang daunnya lam: ”laknat, amuk dan musyrik”; dan yang kelopaknya mim: ”mengeluarkan igauan tangis yang menjijikkan…”

III
Gelora geliat jiwa yang sepertinya sedang meronta untuk keluar dari lingkaran setan kemunafikan, kepura-puraan di atas panggung extravaganza sandiwara politik negeri ini, kiranya masih menyisakan seorang din saja yang sepertinya sedang membangun rumah taubat. Namun, bukan dalam rona dan arena pertaubatan seperti yang sering dikumandangkan oleh para imam, khatib, da’i, ulama dan para pemimpin negeri ini, yang mencela kebodohan dan kedosaan rakyatnya, untuk kemudian merasa suci sendiri dalam ”taubat nasuha”nya yang sesungguhnya tak pernah mampu dipahami, diyakini dan apalagi dilakoni.

Karena ia hanya sekedar semulut ”corong” pengeras suara dan perpanjangan tangan para umara, yang merasa bahwa tugasnya hanya membuka mulut untuk memperbaiki dan mengajak rakyat bertaubat dari segala dosanya terhadap penguasa. Sementara mereka sendiri menjadi para punggawa yang ikut berpartisipasi mencari kaedah-kaedah pembenar, ijtihad-ijtihad yang coba mengkamuflase bungkus-bungkus kemunafikan, meramaikan kejahatan dan kebusukan, bersama para umara yang hari ini terjerembab dalam totemisme politik, yang merasa dirinya menjadi wakil Tuhan, entah Tuhan yang mana, kita pun tak persis tahu, namun merasa paling benar dan suci. Mereka bahkan merasa harus bersaing dengan Tuhan untuk menunjuk pada rakyatnya ”akulah paling berkuasa”, rezeki kekayaan ada pada tangan-tangan dermawannya. Namun, jika engkau ingkar, wahai rakyat yang diduganya penuh kebodohan, kukirim segera keranda-keranda untuk mengemas tuntas kematianmu.

Akhirnya, hantaran renungan eksistensial yang menggelisahkan antara ancaman dan jaring pengaman ketuhanan, yang dikemas dalam ungkapan puitis oleh seorang din saja yang sedang membaca dirinya dan alam di sekitarnya, untuk kemudian coba menemukan kembali Tuhannya, jika memang masih ada dalam benak kita hari ini. Itu semua adalah suatu abstraksi yang coba memetakan realitas kongkrit yang terkadang tidak cukup bahasa dan kata untuk mengungkapkannya. Jadi ada ”dimensi diam” tak berbunyi dan tak bersuara dalam pengalaman historis bathini yang coba ditransendensikan sedemikian rupa, untuk selanjutnya ia sekedar mampu melantunkan do’a-do’a belaka, bahwa ia masih dan punya harapan dan asa, yang kiranya masih tersisa di tengah kebusukan peradaban manusia yang telah berkoalisi dengan iblis dan setan. Membentang jaring koalisi politik machiavelian, yang sedang membangun istana kerajaan egosentrismenya, bersama konstitusi yang menjadi totem dan voodoo, untuk coba sepenuhnya menjadi jimat dalam mengambil alih tugas-tugas ilahi untuk mengeksekusi kehidupan…dan…kehidupan…

IV
Memang Allah telah menerangkan wujud eksistensial dirinya dalam alegori cahaya-cahaya yang di atas cahaya, nuurun ’ala nuur, sebagaimana yang terungkap dalam ayat surat An-nur di atas. Manusia berhak mendamba arahan dan panduan dari cahayaNya yang dalam konteks filsafat Islam itu harus dipandang sebagai hayula (esensi awal) dari jiwa ketuhanan, dalam keindahan (jamal) sebagaimana yang terungkap dalam 99 nama-nama Allah. HarapanNya, manusia harus merasa rela dan bersedia untuk mewujudkannya dalam kehidupan nyata di dunia, bersama dan terhadap sesama makhluk: manusia, flora, fauna dan lingkungan semesta. Di sinilah jiwa kepahlawanan dari penggunaan energi fitrah manusia dalam semangat dunianya yang hanif dan terpadu oleh esensi kehendak Tuhan.

Boleh jadi kita mengasosiasikan ungkapan sastrawi din saja ini, tidak sebagai sebuah keluhan, apatisme, dan keputus-asaan, namun mestilah dibaca sebagai pesan-pesan keindahan dan serba kekuatan yang menhyalakan api kehidupan, yang tentu saja coba mempersembahkan sesuatu, sebagai manifestasi dari sifat ilahiahnya manusia. Barangkali, itu semua dapat dipahami dengan mengikuti tradisi dan konsepsi Neo-Platonis dalam konsep ”raja-pemikir”. Seperti Iqbal misalnya, seorang penyair filosof Pakistan, yang telah sukses mengembalikan kepercayaan diri rakyat Pakistan melalui syair-syair puitis Asrari Khudi-nya. Di sini, ia coba membongkar konsep egohood para manusia yang telah merusak sendiri kodrat fitriahnya, akibat dorongan keangkuhan, keserakahan dan kemunafikan, sehingga seolah melihat diri ibarat seorang Tuhan. Oleh Iqbal, kemudian coba merangsang tumbuhnya konsep diri kemanusiaan muslimin, untuk menyimpulkan bahwa keindahan sebagai abadi, dan sebagai sebab yang efisien dan final dari segala macam cinta, setiap hasrat, dan semua gerak, darai seluruh dimensi peradaban, sebagai manifestasi dari ketundukan total kita terhadap kehendak keindahan Tuhan, baik dalam konteks free will ataupun pre-determination.

Lebih lanjut kita juga melihat, bahwa pada pertengahan abad ke-19, gerakan romantisme di Barat juga mencapai babak baru. Di Inggris, Browning menulis syair-syair yang sarat dengan muatan kekuatan yang membangkitkan dari keterlenaan. Sementara Carlyle menerbitkan beberapa karya yang memuji pahlawan-pahlawan besar dunia, yang salah satu diantara yang paling dikaguminya adalah Nabi Besar Muhammad SAW. Karya-karya terakhirnya, seperti On Heroes and Hero-Worship, secara jenius mengungkapkan pujian akan jiwa kepahlawanan. Posisi sentral elanvitas kehidupan yang menjadikan hidup menjadi bermakna dapat pula dilihat pada karya seorang ahli biologi Lloyd Morgan, The Emergent Evolution (1908) dan Outline of Psychology (1910), yang kesemuanya menganggap bahwa tenaga kepahlawanan merupakan esensi suci kehidupan, dan dorongan perasaan keakuan (egohood) sebagai kekuatan paling inti dari kepribadian manusia, yang sangat potensial bagi merubah wajah peradaban dunia.

Gagasan imajinasi H.G Well, mengilhami manusia untuk menaklukkan ruang dan waktu, dan para ilmuwan pun akhirnya juga sibuk mewujudkan penaklukkan itu. George Bernard Shaw, seorang diantara kaum terpelajar itu, merupakan orang yang memiliki keyakinan kuat terhadap tenaga kehidupan. Penghargaannya yang tinggi terhadap Caesar, Napoleon, Hitler, Mussolini, dan Stalin misalnya, cukup menjadi bukti bahwa dirinya sangat tertarik kepada aspek-aspek heroisme dan vitalisme sebagai inti tenaga kehidupan. Meskipun menjadi tenaga hidup yang memusnahkan kehidupan.

Konsep neo-platonisme tentang ”raja-pemikir” ini juga telah sepenuhnya dikembangkan oleh para pemikir muslim, seperti, al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Arabi, Rumi, al-Jilli dan lain-lain, yang menempatkan tema Insan Kamil sebagai tema utama dari eksistensi kemanusiaan yang seharusnya diperjuangkan oleh setiap manusia. Jadi, manusia semestinya tidak larut dalam nestapa, dan duka lara kegagalan yang hanya akan mengecewakan Tuhan setelah ia menciptakan manusia. Frederick Nietzsche dan Bergson, yang meyakini bahwa gerak adalah esensi hakiki dan intuisi yang menerangi sumber-sumber ilmu pengetahuan. Yang mereka ingin tunjukkan bahwa peran eksistensial manusia memang sangat tergantung dari hasil refleksi dan proyeksi kesadaran dirinya dalam bimbingan esensial entitas super-ego, yang mengejawantah dalam gerakan vitalis heroik.

V
Memungkas pengantar apresiatif terhadap karya din saja ini, kiranya kita harus setuju, bahwa dunia di sekeliling kita yang sedang kelabu, suram dan bau busuk dalam kebusukan sekarang ini. Ini mensyaratkan perlunya segera ditata-ulang, melalui pembenahan diri keakuan (egohood) kita yang masih merasa berminat. Secara kontekstual, tentu semestinya menyadarkan kita semua, agar rela kembali membina jati-diri dalam nuansa potensi yang setiap orang miliki, di mana keindahan, kebermaknaan dan kebermanfaatan diri bagi sebanyak mungkin orang-orang lain, merupakan obat mujarab untuk memperbaiki keadaan hari ini yang telah sangat rusak, di mana pengrusakan itu justru dilakukan oleh para pemimpinnya sendiri.

Maka, setiap orang yang masih tersisa hari ini, diharapkan masih berkenan membina keinginan mewujudkan vitalitas-heroisme yang melaju dalam sirathal mustaqim eksistensialisme insan kamil, yang sudah menjadi konsep kemanusiaan paripurna dalam Islam. Di mana kita tidak lagi mengukur keberhasilan seseorang pada ritual-ritual, seremoni-seremoni dan simbol-simbol yang sebenarnya semuanya hanya pembohongan publik. Tetapi ukurlah seseorang pada komitmen dan tanggungjawab memegang amanah, yang di dalamnya menyebarkan dan mengalirkan rahmat dan manfaat bagi sebanyak mungkin orang-orang lain. Itulah sebentuk metafisika insan kamil yang harus diperjuangkan setiap orang muslim hari ini, dalam rangka membangun sejarah masa depannya yang tercerahkan.

Tak berlebihan kiranya, jika substansi puisi-puisi yang coba merangsang tumbuhnya kembali semangat dan elan vitalitas heroisme insan kamil para pembaca dan penulisnya sendiri itulah, yang kiranya ingin dicapai dan dipersembahkan oleh sang penyair din saja, melalui goresan pena dan nalar renungan sastrawinya. Akhirnya, semoga Allah selalu memberi kita kekuatan, hidayah dan inayah bagi pencapaian prestasi kemanusiaan sebagaimana yang diharapkan dalam blue-print skenario penciptaan yang dikehendaki Tuhan, saat kita pertama kali diciptakan. Insya Allah.
Faiza ’azamta fatawakkal ’alallah…
La haula wa la quwwata illa billah…

Darussalam, 05 Agustus 2003

*) Kata Pengantar Hanya Melihat Hanya Mengagumi, Puisi-puisi Din Saja.
**) Dosen Filsafat IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *