Frischa Aswarini
JP Radar Bali, 2010
Sebuah karya sastra yang mumpuni, pada galibnya, tak hanya mampu menyuguhkan rangkaian kata dan bahasa yang estetis dan segar, tetapi juga memuat makna yang mendalam, baik yang tersirat maupun sengaja ditegaskan oleh penulisnya. Sastra dapat memberikan suatu pengalaman batin yang baru—tak pernah terbayangkan sebelumnya—atau justru mengingatkan pembaca akan hal-hal sederhana namun esensial yang kerap luput dari perhatian. Dengan demikian, sastra sesungguhnya tidak menjadi hiburan atau pelipur semata tetapi juga cermin kehidupan sosial yang dapat mencerahkan masyarakat pembacanya.
Hal senada sempat diungkapkan oleh Warih Wisatsana pada acara “Sandyakala Sastra” yang digelar di Bentara Budaya Bali, Senin 19 Juli 2010, lalu. Warih menelaah karya-karya Gde Aryantha Soethama, seorang penulis Bali, yang juga hadir dalam kegiatan diskusi sastra tersebut. Menurutnya, cerpen-cerpen karya sastrawan yang pernah menjadi jurnalis tersebut, terbilang istimewa sebab selain menggunakan bahasa yang jernih, lugas dan terukur, juga mampu merefleksikan kenyataan yang tengah terjadi dewasa ini.
“Cerpen-cerpen Gde Aryantha Soethama yang dimuat media massa, dapat dibaca sebagai ‘sketsa-sketsa sosial’ yang terasa begitu menarik karena mampu menggambarkan fenomena serta keadaan yang terjadi di sekitar kita (utamanya bagi masyarakat Bali). Namun, tatkala karya-karya itu dirangkum dalam sebuah buku antologi, terasa ada suatu tema besar yang menjadi benang merah penyambung antarsketsa tersebut yang menjadikannya sebentuk ‘dokumen sosial’ tentang transformasi sosio–kultur yang berlangsung di pulau Bali.” tutur penyair dan esais yang baru-baru ini menyunting sebuah novel sejarah “Emillie” bersama budayawan Perancis, Jean Couteau.
Adapun terminologi ‘dokumen sosial’ biasanya diidentikkan dengan laporan penelitian, karya jurnalistik atau hasil survei, yang kesemuanya disusun berdasarkan rincian data-data konkret yang merekam rangkaian peristiwa atau kecenderungan yang ada dalam suatu masyarakat pada kurun waktu tertentu. Pertanyaannya kemudian, bagaimana mungkin sebuah karya sastra yang dikenal fiksional dapat menjadi bahan rujukan yang (dipercaya) dapat menjadi refleksi kenyataan sosial di masyarakat? Bahkan menjadi semacam media penyadaran bagi khalayak dalam menyikapi berbagai peristiwa faktual?
Sastra sebagai dokumen sosial bisa dikata merupakan sebentuk karyacipta yang meski bersifat rekaan, namun bertolak dari realitas dan menggambarkan kondisi sosial yang kontekstual. Henry James (Michel Zerraffa dalam Elizabeth and Burns, 1973:36) mengatakan bahwa sastrawan menganalisis “data” kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda-tanda yang esensial guna dipindahkan ke dalam karya sastra.
Terkait pertanyaan di atas, justru karena sifatnya yang fiksional dan rekaan itulah sastra menjadi unggul jika dibandingkan dengan karya jurnalistik atau laporan penelitian. Lain halnya dengan esai atau makalah ilmiah yang mengeksplorasi pemikiran semata dalam bentuk yang cenderung ‘kaku’, karya sastra menggunakan bahasa yang lebih sugestif dan penuh nuansa rasa; mampu mengungkapkan peristiwa sehari-hari dalam masyarakat sehingga menjadi lebih menyentuh dan meninggalkan kesan mendalam. Pada berita atau risalah, penulis kerapkali tidak dapat mencantumkan hal-hal yang dianggap dapat menyinggung suatu sosok atau peristiwa yang dipandang tabu secara langsung. Namun, melalui sastra, pendapat dan pemikiran penulis dapat dituangkan secara lebih leluasa, sehingga hal-hal yang selama ini ‘tak terkatakan’ memperoleh kemungkinan untuk diutarakan dan didiskusikan oleh khalayak.
Menimbang hal tersebut, maka karya-karya fiksi Gde Aryantha Soethama, baik cerpen maupun novelnya, tak bisa dibaca sebagai karya rekaan belaka, sebab di dalamnya terdapat potret-potret peristiwa yang merupakan salinan kehidupan sosial masyarakat Bali yang tengah berubah.
Adapun kedua pendekatan tadi, yakni melalui kajian ilmiah ataupun karya fiksi, sesungguhnya sama-sama penting dan layak untuk dijadikan rujukan bagi khalayak luas dan pemerintah, termasuk ahli sejarah, dalam mengkonstruksi pelbagai hal yang telah terjadi sekaligus juga berupaya merumuskan strategi pembangunan di masa depan.
***
https://aswarini.wordpress.com/2013/09/10/sastra-sebagai-dokumen-sosial/