“SELAMATKAN BANGSA INI DARI TULISAN2 BURUK, DARI PEMIKIRAN2 KLISE, DARI MEDIOKER, DARI PENULIS YG BUKAN PENULIS, DARI INTELEKTUAL YANG TAK INTELEK. Linggis kita Inggris, seterika kita Amerika, terus Korea apa?” demikian tulis Nuredan Wongudin si Putra Petir di laman Facebook-nya.
Dan kukira banyak dari kaum medioker yang panas mata dan panas hati tatkala membaca status yang ditulis 4 Juni 2017 dan dishare kembali hari ini sebagai memori itu.
Betapa tidak, bagaimanapun pernyataan itu sudah jadi kenyataan yang kerap tak terbantahkan. Karenanya, syukurlah jika sebagian dari kaum medioker itu memang merasa panas hati. Itu artinya mereka diam-diam sebetulnya “sadar diri”, kendati di sisi lain mereka tetap saja tidak tahu diri; tetap saja terus-menerus berusaha mencitrakan diri sebagai kaum intelek yang layak di balik fakta karya maupun pemikiran mereka yang tidaklah layak.
Lihat saja belakangan ini, betapa banyaknya mereka yang tulisannya baru satu-dua kali dipublikasikan oleh surat kabar atau media online atau menerbitkan setumpuk buku latah tiba-tiba sudah merasa dirinya penulis hebat, penyair keren, cerpenis dan novelis top, dan kritikus brilian yang layak mengadakan kelas menulis online berbayar untuk membimbing para pemula yang malang.
Padahal dari iklan-iklan pembukaan kelas menulis mereka yang berseliweran di medsos saja kita sudah tercengang-cengang melihat betapa semrawutnya penggunaan bahasa mereka yang menempatkan diri sebagai mentor kepenulisan itu. Yang sebagian di antaranya harus aku katakan secara tegas: belum khatam tata bahasa!
Ini belum lagi ditambah dengan iklan bimbingan online dalam hal membaca yang tak kalah mengerikan sekaligus menggelikan. Bayangkanlah dengan akal logismu, mereka berani menawarkan metode memahami buku secara mudah hanya dalam waktu dua jam!
Alhasil, kita yang masih waras pun tak urung memaki: “Fuck Indon!”
***
AH, terserahlah jika aku dianggap ingin ikut-ikutan sok cerewet kayak si Nuredan apabila aku tak tahan untuk terus mencoba mengingatkan bahwa TAK ADA YANG INSTAN DALAM BIDANG APAPUN!
Kalau kau memang bercita-cita menjadi seorang penulis atau menjadi seorang profesional di bidang apapun yang kau inginkan, satu-satunya jalan yang bisa kau tempuh hanyalah lewat belajar dan belajar!
Reputasi, kapasitas, dan kualitas tidaklah mungkin kita peroleh serta merta tanpa melalui proses demi proses yang tak mudah. Hanyalah dengan keikhlasan untuk terus belajar, kita bisa mengukur pencapaian diri kita sendiri, menakar seberapa jauh kapasitas dan kualitas diri kita!
Dan proses itu, upaya untuk belajar tanpa henti itu harus kau mulai dari nol, dari yang paling dasar. Kalau kau hendak menjadi seorang pelukis, kau harus belajar membuat arsiran, menarik garis, mengenali seluk-beluk pencahayaan dan anatomi atau mencampur warna. Tak bisa tiba-tiba kau muncul dari dalam rawa ketidaktahuan lalu seenaknya membaptis dirimu sendiri sebagai pelukis aliran surrealis. Itu juga sama musykilnya jika tanpa memiliki pengetahuan seni rupa dan kemampuan menganalisa, mendadak kau mau jadi kurator sebuah pameran lukisan.
Reputasi, kapasitas, kualitas, seperti halnya gagasanmu, semuanya ini dapat diuji dengan mudah menggunakan standar keilmuan.
***
KARENA itu, aku katakan kepada siapa saja yang tidak ingin nyasar di jalan, “Ya, uji saja!” Mau dari “karya” semata atau dalam diskusi-perdebatan di medsos maupun di forum nyata terbuka atau hanya melalui chat-telepon via WhatsApp, terserah. Reputasi, kapasitas, kualitas itu–sekali lagi–bisa diuji.
Sebab kau tidak mungkin percaya pada seseorang yang menawarkan dirinya sebagai pembimbing kelas menulis online apabila dalam tulisannya sendiri saja ia tidak paham menggunakan tanda baca, bukan?
Bagaimana pula kau bisa meyakini kualitas seseorang yang mengaku dirinya penulis brilian, aktivis yang memiliki pengalaman luas dalam mengorganisir massa, atau pemikir aliran tertentu, apabila tak satupun fakta perihal dirinya yang dapat temukan dalam kelayakan? Atau, jika dalam kehidupan kesehariannya di medsos ia hanya mampu membagikan postingan orang lain sembari sesekali menulis racauan satu-dua paragraf?
Mungkin saja ia bermulut manis, mungkin saja kau menilai kata-katanya arif-bijak nan menenangkan atau berkilau-kilau indah, mungkin saja kau menganggap sikapnya membuatmu nyaman atau nasehat-nasehat kecilnya seolah telah membangunkan dirimu dari pingsan. Tetapi, sesuatu yang cuma pseudo takkan sanggup melewati ujian.
Persoalan lainnya kemudian adalah seberapa jauh kau sendiri mampu menggunakan kapasitas nalarmu untuk menguji? Sementara ia senantiasa “lari-lari kambing” seperti Narudin Pituin tatkala berhadapan argumentasi dan penalaran logis, misalnya dalam sebuah perdebatan di Facebook.
***
____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.