SEPATU DI ATAS GUNUNG


Ilutrasi karya Endix
Taufiq Wr. Hidayat *

Sahdan pada suatu hari, seseorang berjalan-jalan. Di tengah perjalanan ia menemukan sebuah cincin yang indah sekali. Dipakailah cincin indah itu. Ia tak pernah punya cincin seperti itu, kalau pun ingin beli, tak mungkin ia sanggup. Namun malang, sebelum kebahagiaannya sampai pada puncak karena secara tak sengaja menemukan sebuah cincin indah tersebut, dalam perjalanan pulang cincin yang ditemukannya terjatuh, lalu hilang. Bagaimana menemukannya kembali? Itu bagaikan mencari seekor ayam berbulu putih untuk digunakan suatu kebutuhan tertentu sebagai sarat yang harus dan aneh. Sulit, dan bahkan muskil.

Kisah ini diceritakan dalam sebuah lagu berbahasa Madura, yang tak pernah terlacak siapa penciptanya. Bahkan lagunya dalam versi musik mirip keroncong, tapi terdapat suara kendang, itu jarang dimainkan, susah pula ditemukan di belantara mesin pencari internet.

Ke’ Rangke’

Ke’ rangke’ kakonengan
Nemmo sellok ma’ elang pole
Sareyagi ajem poteh

Ke’ rangke’ kakonengan
Nemmo sellok ma’ elang pole
Ayu sareyagi
Ayu sareyagi

Aduh ngenes abhek bule
Abheli tak katemmo
Abheli tak katemmo
Abheli tak katemmo

Lirik lagu ini menangisi dan meratapi penderitaan. Tapi ratapan dan tangisan itu terdengar seolah menertawakan diri sendiri. Orang biasa punya cara tersendiri yang unik untuk menangkis kesedihan dan kehilangan, agar hidup terus diolah dan dijalani dengan kerja dan harapan. Orang yang mengerti benar bahasa Madura akan tertawa mendengar lagu itu. Tapi begitu sampai pada reff lagu, ia dapat menangis sesenggukan.

Tatkala berjalan-jalan
Di tengah jalan menemukan sebuah cincin (bahagialah hatiku)
Tapi malang dalam pulang
Cincin itu terjatuh, kembali pada hilang
Carikanlah ayam berbulu putih
Betapa langka dan muskil
Ayo bantu carikanlah

Aduh! Alangkah nelangsa diriku
Tatkala aku cari cincin itu
Ia tak pernah lagi ketemu
Ia tak pernah lagi ketemu
Ia tak pernah lagi ketemu

Lagu ini menggambarkan orang “kecelek”. Mau bahagia, tapi tak jadi. Atau lantunan patah hati, seperti orang yang ditinggalkan sang kekasih, namun tak pernah bisa mendapatkan ganti. Atau orang yang dapat duit dadakan sebesar 200 ribu. Ia senang. Ini ketiban rejeki dari langit, pikirnya. Tapi begitu uang mau ia pakai beli rokok, mendadak ia didatangi seorang penagih hutang. Hutang yang harus dibayar adalah 200 ribu! 200 ribu hanya lewat atau singgah sejenak saja di tangannya. Bahagia nyatanya memang hanya hinggap sejenak saja, lalu menghilang segera. Dan begitulah hidup ini, kata seseorang yang bukan orang Madura. Ia kita tangisi. Tapi pada saat bersamaan, ia kita tertawakan, pungkasnya. Sempurna dan bahagia, bagi Al-Razi, sang pemikir Islam yang nyentrik itu, hanya mungkin diraih dengan keseimbangan antara gairah (al-nafs al-syahwiyah), amarah (al-nafs al-ghadlabiyah), dan rasionalitas (al-nafs al-nuthqiyah). Dalam buku kuno “al-Hilah Li Daf Al-Ahzan” (kepedihan dalam keindahan), al-Kindi meyakini, bahwa kepedihan yang telak ialah hilangnya yang disayangi dan dicintai. Kepedihan itu pun melompat dari suatu dambaan yang meleset, dambaan hati yang tak dapat atau mustahil dimiliki.

Seorang kawan, kakinya kena paku. Robek. Ia jahit. Kerja lagi. Tak lama, robek lagi. Ia jahit lagi. Alangkah absurd! Seperti kisah Abu Nawas yang tak pernah berhasil membuang sepatunya yang jelek dan bau. Sepatu kumuh itu ia lemparkan dari rumahnya. Jatuh di pekarangan tetangga. Si tetangga mengembalikan sepatu tersebut, mengira sepatu buruk itu terjatuh dari tempat jemuran. Si Abu keluar dari rumahnya, mencari tempat yang sepi. Ia lempar sepatu baunya sekuat tenaga. Begitu sepatu kumuh jatuh ke bawah karena gravitasi, bersamaan orang menjerit. Sepatu sial itu mengenai kepala seseorang. Seseorang yang kena sepatu brengsek itu marah, membawa sepatu yang mengenai kepalanya, kemudian mencari siapa yang telah sembrono melemparkannya. Abu Nawas kembali mendapatkan sepatu yang dibencinya dari orang yang kepalanya terkena sepatu tersebut. Ia mendapat marah. Sepatu bangsat tersebut tak kunjung berhasil ia enyahkan dari hidupnya.

Abu Nawas menuju hutan. Dibuangnya sepatu sial, bau, busuk, dan terkutuk di atas sebuah gunung. Ia pulang. Aman! Sepatu itu tidak akan kembali lagi untuk ketiga kalinya, pikir si Abu. Keesokan pagi, hujan turun deras. Banjir. Dan sepatu sial yang telah dibuang di atas gunung, terbawa banjir, mengetuk-ngetuk pintu rumah Abu Nawas. Si Abu membuka pintu rumahnya. Dan ia terbelalak mendapati sepatunya memasuki rumahnya bersama air banjir. Sepatu bedebah itu bagai telah ditakdirkan selama-lamanya melekat pada nasib Abu Nawas sebagai kutukan kelam dan menjengkelkan.

Kisah absurd dan menggelikan dalam khasanah kesusastraan Islam ini menarik. Ia bagai menyadarkan manusia, bahwa sesungguhnya ia selalu berada dalam pertentangan atau dua keadaan yang niscaya, yakni keagungan dan kegelian atau yang menggelikan sebagaimana pernah diutarakan Milan Kundera.

Bagi Milan Kundera, keserba-cepatan tak lain adalah pencapaian manusia. Tetapi keserba-cepatan tersebut berhubungan dengan kehendak melupakan dalam diri seseorang. Tatkala keserba-cepatan menjadi kontrol, maka keserba-cepatan tersebut berupaya menghalau penderitaan dengan menghilangkan atau berusaha untuk menghancurkan kenangan. Sedangkan kelambatan berhubungan dengan upaya kembali mengingat, ia mendirikan kembali masa lalu dalam dirinya. Ada suatu gairah pada kebahagiaan yang diciptakan dari kesedihan. Ia bahagia lantaran sanggup menjawab atau mengatasi penderitaannya. Sedangkan kelupaan (lupa) menjadi sarana penting dari pengingkaran pada realitas, yang membuat setiap polemik hidup dan kesedihan bisa dikelabuhi. Dan tatkala manusia berada dalam kelupaan, ia telah menyangkal eksistensi dirinya. Mengenang sungguh kesulitan yang amat. Lantaran manusia terus menerus dituntut untuk melupakan. Sebab segala yang baru berjejalan muncul ke hadapan. Karena setiap yang lama atau tak baru, selalu tak pernah sejalan dengan segala laju perubahan yang secepat kilat. Apakah itu peristiwa, benda-benda, produk, atau bahkan dalil-dalil agama. Tiba dan tampak, berebut tempat berjubalan. Lekas. Dan segera terlupakan.

Tetapi lagu orang Madura itu, menegaskan suatu pilihan, bahwa hidup tak perlu lekas-lekas. Tetapi ia pun yang tangkas. Dalam tiap eksistensi, orang boleh menentukan: ia akan melaju dengan secepat-cepatnya dengan mengendarai kelupaan demi kelupaan. Atau melamban untuk menghayati hidup dan memberinya sekadar pertanyaan: buat apa? Di tengah laju yang sangat cepat, lupa memenuhi ruang-ruang manusia. Orang tak sempat mengenang suatu perjumpaan. Dan lupa untuk menghikmatkan kerinduan pada yang telah tertinggal atau yang menghilang.

Tembokrejo, 2020
_________________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »