Taufiq Wr. Hidayat *
“Bekerja lebih giat. Sudah nyata dan tak diragukan lagi, bahasa tak mengenyangkan,” ujar istri Abu Nawas.
“Jangan sembarangan! Bahasa itu penting. Tak ada ilmu dapat dipahami tanpa bahasa. Hati-hati kalau bicara,” jawab Abu Nawas sambil mengotak-atik metafora puisinya.
“Sekarang kita perlu uang buat makan. Bukan bahasa puisimu yang rumit tak dimengerti itu.”
“Uang tak ada kaitannya dengan puisi. Ingat itu!”
“Tapi, kita butuh uang melanjutkan hidup.”
“Baik! Tunggu sebentar, aku akan minta uang kepada Allah. Berapa yang kamu butuhkan?”
“Minta uang kepada Allah? Sudah seberapa parahkah gangguan jiwamu? Tidak mungkin Allah bisa ngasih uang walaupun cuma satu juta saja.”
“Nah kamu telah menyebut angka uang yang kamu butuhkan, itu artinya kamu berharap dapat uang tunai dari Allah. Ingat! Jangan meremehkan Allah, Dia Mahakaya, cuma satu juta itu gampang bagi-Nya yang merawat alam semesta. Inilah iman.”
“Tidak usah berbelit-belit dengan imanmu. Dan tidak usah berlagak konyol!”
“Akan kubuktikan keimananku. Aku minta uang tunai kepada Allah.”
Abu Nawas menghamparkan sajadahnya. Ia melakukan sujud dua kali. Lalu kedua tangan Abu Nawas tengadah. Ia berdoa bersungguh-sungguh, sekhusyuk-khusyuknya.
“Ya Allah, wahai yang mahakaya, perawat alam semesta. Apalah artinya uang satu juta buat-Mu yang tak butuh apa-apa? Tapi istriku, ya Allah, dia tidak seperti-Mu, dia butuh uang satu juta hari ini. Ya Allah, jangan Engkau biarkan imanku luntur kepada-Mu gara-gara uang satu juta. Aku minta kepada-Mu uang tunai satu juta sekarang juga. Istriku tidak sesabar Engkau. Ya Allah, ayo buktikan kemahakayaan-Mu sekarang! Amin.”
Istri Abu Nawas mencibir doa Abu Nawas. Istrinya sudah paham pada tingkah suaminya yang selalu berlagak bodoh kalau dimintai uang. Abu Nawas tidak mau beranjak dari sajadahnya; “Ya Allah, aku akan tetap berdoa di sini sampai Engkau benar-benar memberiku uang tunai satu juta sekarang juga,” ujar Abu Nawas, kedua tangannya tetap tengadah. Saat Abu Nawas berdoa, seorang rentenir lewat dan mendengar doa Abu Nawas. Kesempatan meminjamkan uang, mumpung ada orang lagi butuh uang, pikir rentenir. Rentenir itu melemparkan uang satu juta lewat jendela, uang jatuh di atas kepala Abu Nawas: gedebuk!
“Allahu akbar! Aku benar-benar kekasih Allah. Lihat Allah benar-benar memberiku uang satu juta,” ujar Abu Nawas girang.
Istri Abu Nawas takjub dan heran.
“Apa aku bilang, jangan remehkan Allah, cuma satu juta gak ada apa-apanya bagi Allah,” kata Abu Nawas.
Tepat saat itu, si rentenir masuk rumah Abu Nawas.
“Itu bukan uang Allah, itu uang saya, Abu Nawas. Pinjamlah, bunganya dua kali lipat dalam empat bulan,” kata rentenir.
“Jangan sembarangan, Tuan Rentenir! Ini uang Allah, saya minta langsung kepada-Nya,” jawab Abu Nawas sengit.
“Hahaha.. Tidak usah berlagak bodoh, Tuan Nawas. Mana mungkin Allah ngasih uang sama kamu? Itu uangku! Uang itu berbunga dua kali lipat.”
“Tidak bisa!”
“Kita selesaikan di hadapan hakim.”
“Oke! Akan kupertahankan di hadapan hakim bahwa ini uang dari Allah, bukan uangmu. Tapi sebelum menghadap hakim, pinjamilah aku baju bagus dan seekor kuda untuk datang ke pengadilan.”
“Oke!”
***
Menghadaplah Abu Nawas dan Tuan Rentenir pada hakim agung. Tuan Rentenir menceritakan kronologi peristiwa.
“Ketika Tuan Abu Nawas berdoa kepada Allah minta uang satu juta, saya lemparkan uang saya satu juta agar Abu Nawas menggunakan uang tersebut lalu dikembalikan dua kali lipat dalam empat bulan. Mana mungkin Allah memberi uang tunai pada orang miskin seperti Abu Nawas ini, Pak Hakim? Mohon keadilan,” papar Tuan Rentenir.
“Jelas Anda yang bersalah, Tuan Nawas. Itu bukan uang Allah yang dijatuhkan dari langit buat Anda. Itu uang Tuan Rentenir yang dilemparkan lewat jendela,” kata Tuan Hakim.
“Ampun, Tuan Hakim yang mulia. Ini uang Allah buat saya yang diakui sebagai uang si Tuan Rentenir,” jawab Abu Nawas.
“Kok bisa? Apa bukti kalau Tuan Rentenir ini mengklaim uang itu miliknya?” tanya Tuan Hakim.
“Tuan Rentenir ini mungkin kena kelainan jiwa, Tuan Hakim. Jangankan uang Allah ini yang dia akui, bahkan baju dan kuda yang saya pakai ini pun diakui sebagai miliknya,” jawab Abu Nawas.
“Apa benar baju dan kuda Tuan Abu Nawas itu kamu akui sebagai milikmu?” tanya Tuan Hakim kepada Tuan Rentenir.
“Lho?! Baju dan kuda yang dipakai Abu Nawas memang milik saya yang saya pinjamkan kepada dia, Tuan Hakim,” jawab Tuan Rentenir.
“Bagaimana, Tuan Hakim? Sudah terbukti, Tuan Rentenir ini ada kelainan jiwa, semua barang milik saya diakui sebagai miliknya dengan alasan dipinjamkan agar dikembalikan dua kali lipat. Nanti jangan-jangan palu Tuan Hakim juga diakui sebagai miliknya yang dipinjamkan kepada Tuan Hakim, dan Tuan Hakim wajib mengembalikan palu tersebut kepadanya dua kali lipat,” ujar Abu Nawas tegas.
“Cukup! Uang satu juta, baju, dan kuda milik Abu. Sidang selesai! Pengadilan tidak melayani orang gila!”
***
Siapa yang gila, ketika suatu ketika orang bertanya: “milik siapakah negeri ini?”
Seorang pengamen menjawab dengan lagu: “tanah air beta, katanya hanya milik orang kaya”.
Saya segera memberinya uang receh, agar si pengamen jembel itu segera pergi.
Tembokrejo, 2020.
________________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.