Tanah Surga Merah-nya Arafat Nur


Fatah Anshori *

Menyimak Indonesia berarti menyimak seluruh ragam budaya yang kaya. Seperti budaya malas baca, budaya premanisme, birokrasi bobrok, masih adanya tempat-tempat asing dan tertinggal, mitologi-mitologi yang masih dipercaya. Kasus-kasus kriminal terselubung, toleransi beragama yang kerap memicu bencana, juga negara dengan banyak partai. Novel Tanah Surga Merah, yang mendapat penghargaan Pemenang Unggulan Sayembara Novel DKJ karangan Arafat Nur ini seperti ingin memperlihatkan semua itu meski dalam lingkup kecil sebuah kampung di Lamlhok, Aceh. Cerita bermula ketika seorang pemuda pulang ke kampung halaman setelah bertahun-tahun pergi untuk melenyapkan diri, dari kejaran kasus pembunuhan dan orang-orang Partai Merah. Ia adalah Murad tokoh utama sekaligus orang yang berpanjang lebar di novel ini. Di sini Arafat Nur seperti sedang menjadi Murad. Dari mulut Murad-lah semua cerita ini dipaparkan. Sebagai seorang narator Murad dengan jelas menggambarkan suatu keadaan kampung yang masih tegang dengan kepentingan-kepentingan partai. Yakni Partai Merah, sebuah partai yang mendominasi daerah dan juga telah memegangi tampuk kekuasaan. Namun diceritakan dalam novel ini orang-orang Partai Merah adalah orang-orang yang bodoh, tidak mau membaca buku, hanya mengejar kekuasaan dan wanita. Seperti itulah gambaran perilaku orang-orang dari Partai Merah. Mesk adapula Partai Jingga, namun di sini Arafat Nur tidak terlalu banyak membicarakan tentang Partai Jingga. Sepintas ini mengingatkan saya dengan kondisi politik Indonesia yang memboleh kelompok-kelompok tertentu mendirikan partai, yang nantinya barangkali akan digunakan sebagai alat untuk menyalurkan kepentingannya masing-masing. Dalam hal ini tentu saja kepentingan untuk merebut kursi-kursi kekuasaan. Barangkali seperti itulah kerja sebuah partai. Saya teringat pada suatu sore saya mengikuti rapat pertemuan sebuah partai di sebuah rumah kecil di desa. Saya hanya duduk di lantai, lesehan dan mendengarkan retorika dari seorang yang nantinya akan mencalonkan diri dengan menggunakan nama partainya. Orang tua itu pandai sekali beretorika, menyita perhatian sekumpulan orang di rumah itu, meski penampilannya memuakkan (menurutku), namun satu hal yang saya ingat dari kata-kata yang keluar dari mulutnya, “Di dalam partai tidak ada teman atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan.” Seperti itulah orang-orang partai. Begitu juga Partai Merah, di novel itu mereka adalah antagonis yang ingin melenyapkan Murad, karena keberadaan Murad merugikan partainya. Sehingga dalam novel ini ketika orang-orang Partai Merah mendengar desas-desus kepulangan Murad, mereka terus-menerus mencarinya. Mengacak-acak suatu tempat, bahkan tidak segan-segan melukai rakyat kecil yang mencoba mengusik kekuasaannya. Sehingga novel ini menurut saya adalah sebuah novel pengejaran, dan diakhir cerita diimbuhi sedikit kisah cinta antara Murad dan Jemala, yang barangkali hanya sebagai pemanis cerita, yang membuat saya sebagai pembaca penasaran dengan kisah cinta itu, hingga akhirnya saya merasakan sensasi mengakhiri cerita seperti yang terjadi di Tempat Paling Sunyi, cerita berakhir ketika semuanya tampak belum selesai. Barangkali seperti itulah cara Arafat Nur. Secara keseluruhan novel ini memiliki alur maju, meski dalam beberapa bagian ada flashback yang dipaparkan oleh sang narator. Sekedar memberi tahu saja, ini adalah novel kedua Arafat Nur yang saya baca setelah Tempat Paling Sunyi, meski pernah sekali waktu saya membaca Burung Terbang di Kelam Malam tapi tidak tuntas. Yang membuat saya selalu ingat dengan Arafat Nur adalah gaya berceritanya yang sederhana namun memikat, bahasa yang mudah di pahami, dan caranya menggambarkan kondisi geografis sebuah kampung yang jelas. Terakhir saya sengaja membuat tulisan ini tanpa paragraf karena satu, saya malas membuatnya, dua ingin mencari bentuk-bentuk baru, tiga sedikit ingin meniru Eka (meski saya sadar itu sebuah kemustahilan) Empat semoga kalian menikmati catatan ini.

____________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com

Leave a Reply

Bahasa »