Puisi mencatatnya semua, menyampaikannya kembali
dengan sentuhan yang indah dan penuh keterharuan
mengulangi ini lewat daurnya sendiri-sendiri
berabad lamanya beriringan
denyut zikir tiada putusnya tegak lurus ke arah
Asal
Ini
Semua
/1/
Bila harus dirumuskan dalam satu istilah, dapat dikatakan bahwa “induk yang paling induk” atau “muara yang paling muara” dari puisi-puisi Taufiq Ismail adalah teohumanitas atau humanitas teosentris, yaitu ketuhanan yang bersulur kemanusiaan atau kemanusiaan yang berakar ketuhanan. Teohumanitas selalu menjadi tempat pulang puisi-puisinya – apapun bentuk formal dan pengucapan tematis puisi-puisinya dalam Tirani dan Benteng dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Simaklah puisi Alma Mater, Aisyah Adinda Kita, Ada Sajadah Panjang, Sejarum Peniti, Sepunggung Gunung, dan Penerbangan Terakhir, misalnya, semuanya mengemban pesan teohumanitas yang pekat dan kental sekalipun disampaikan secara halus. Agaknya, teohumanitas memang “rumah sejati” puisi Taufiq Ismail. Dalam teohumanitas ini, tentu saja, dua hal menjadi sangat penting dalam puisi Taufiq, yaitu ketuhanan dan kemanusiaan.
Berbeda dengan pandangan lain-lainnya, dalam puisi-puisi Taufiq, ketuhanan dan kemanusiaan tidak (di/ter)pisah-pisahkan, tapi saling mengada (koeksistensial); layaknya dua sisi dari satu keping mata uang. Karena itu, puisi-puisi Taufiq senantiasa menegaskan bahwa ketuhanan senantiasa menjuntai pada kemanusiaan pada satu pihak dan pada pihak lain kemanusiaan senantiasa bersumbu pada ketuhanan. Rupanya, bagi Taufiq, dalam hidup manusia, tak mungkin ketuhanan tanpa kemanusiaan; dan tak mungkin pula ada kemanusiaan tanpa ketuhanan. Agaknya, dalam pandangan Taufiq, ketuhanan dulu atau kemanusiaan dulu hanyalah titik keberangkatan. Pada akhirnya, keduanya selalu bertemu, bahkan selalu berpadu. Kenapa demikian? Ini karena manusia merupakan wakil Tuhan di muka bumi; manusia khalifah Allah di bumi.
Dalam puisi-puisi Taufiq, agaknya, ketuhanan berjuntai kemanusiaan senantiasa memberikan seruan atau ajakan kepada [nilai] ketauhidan, keimanan, keislaman, keberserahdirian, keihsanan, ketakwaan, keikhlasan, ketawakalan, kesyukuran, kesabaran, dan sejenisnya. Sementara itu, kemanusiaan bersumbu ketuhanan senantiasa mengajak kepada [nilai] silaturahmi, rasa persaudaraan, persamaan, kebaiksangkaan, kerendahhatian, ketepatjanjian, kelapangdadaan, kedapatdipercayaan, keadilan, kedermawanan, dan sejenisnya. Menurut Taufiq, dalam puisinya Sejarum Peniti, Sepunggung Gunung, “puisi menepuk bahu dan mencoba mengingatkan” manusia akan itu semua.
Tugas utama puisi, dalam pandangan Taufiq, mengingatkan akan keagungan-kemuliaan Tuhan dan atau kemuliaan martabat manusia [sebagai wakil Tuhan di muka bumi], memberikan kesaksian atas kondisi-kondisi kemanusiaan atau martabat manusia yang mutatis mutandis juga kondisi-kondisi penyikapan dan perilaku manusia atas keagungan-kemuliaan Tuhan. Lebih jauh, juga memberikan perlawanan simbolis (dengan caranya sendiri) atas perendahan, pelecehan, dan penyepelean kemuliaan martabat manusia yang secara tak langsung juga perendahan-pelecehan kemuliaan Tuhan. Bahkan – bila (di)mungkin(kan) – memberikan pembelaan dan perlindungan bagi kemuliaan kemanusiaan atau martabat manusia demi keagungan-kemuliaan Tuhan.
Kata Taufiq, untuk mewujudkan itu semua “//Puisi punya kepentingan besar… Puisi mencatatnya semua, menyampaikannya kembali/dengan sentuhan yang indah dan penuh keterharuan/mengulangi ini lewat daurnya sendiri-sendiri/berabad lamanya beriringan/denyut zikir tiada putusnya tegak lurus ke arah/Asal/Ini/ Semua//”. Kiranya inilah tugas eksistensial puisi dalam pandangan Taufiq. Oleh karena itu, berpuisi senantiasa berarti berzikir, mengingat Allah Pencipta Alam Semesta. Tak berlebihanlah bila dikatakan bahwa seluruh puisi Taufiq merupakan bentangan zikir panjang Taufiq yang digelar di atas keluasan taman kehidupan manusia untuk mencapai ketinggian langit; dan panjang masa kepenyairan Taufiq merupakan keluasan bentangan zikir panjang Taufiq yang digelar di atas kehidupan guna menjaga dan melindungi kemuliaan martabat manusia dari berbagai tindakan yang merendahkan dan melecehkannya.
Itu semua menyiratkan bahwa puitika atau estetika [yang dianut] Taufiq dapat disebut sebagai puitika atau estetika zikir. Meminjam istilah al-Faruqi, dapat juga disebut puitika atau estetika tauhid, yaitu keindahan yang mampu membimbing manusia untuk meniti tangga keagungan Allah, bahkan bermandi cahaya keagungan Allah; keindahan yang senantiasa mencerahkan kemanusiaan; keindahan yang mampu membawa pulang kemanusiaan ke dalam pangkuan ketuhanan – yang dalam modernisme atau khususnya humanisme universal telah diceraikan. Memang, dalam estetika zikir atau estetika Tauhid, puncak keindahan puisi terletak pada persaksian atau perjumpaan dengan keagungan Allah; estetika zikir atau estetika tahuid menghendaki perpaduan keagungan dan keindahan yang sesempurna-sempurnanya atau menuntut tercapainya keadaan jalal, jamal, kamal, dan [berpuncak pada] kamil.
Itulah pelabuhan atau – bahasa menterengnnya – paradigma puitika atau estetika puisi-puisi Taufiq Ismail. Baginya, ini kaidah pokok, utama atau primer sekali bagi estetika zikir. Tak bisa ditawar-tawar lagi atau disimpangi. Tandasnya dalam sebuah wawancara: ”Bagi saya dan keseniaan saya – dalam hal ini tentunya kesusastraan – standar estetika terpokok ialah “mengingatkan orang kepada Pencipta Alam Semesta”. Karya itu hendaknya senantiasa membuat orang jadi ingat, tiada putus-putusnya, kepada Allah. Dia itu satu. Dia tidak berbilang. Dia esa sebenar-benar esa. Dia, yang ada sebelum kata “ada” itu tiada. Estetika yang mengingatkan orang kepada-Nya itulah yang terpokok bagi saya. Karya-karya yang membuat orang hanya ingat pada dunia, terlena, atau mabuk kepayang, tidaklah memenuhi persyaratan utama itu”.
Konsekuensi logisnya, bentuk formal atau formatif, wilayah pengucapan tematis puisi, penggunaan bahasa, dan piranti-piranti konvensional lain dari puisi hanya menempati nomor dua; harus diabdikan bagi terjaganya kesadaran akan keserbahadiran Tuhan, keagungan Tuhan, kemuliaan Tuhan, dan sejenisnya. Eksperimen-eksperimen teknis konvensional yang berhenti pada “akrobat-akrobat” atau permainan sarana-sarana literer semata, agaknya, tak berkenan di hati Taufiq karena itu semua hanya membuat orang mabuk kepayang dan terlena, bahkan mungkin dapat merendahkan dan melecehkan keagungan Tuhan. Jadi, estetika zikir atau estetika tauhid puisi-puisi Taufiq menegaskan satu dalil: keindahan sejati puisi terletak pada keterjagaan diri manusia akan keagungan, kemuliaan, dan keserbahadiran Allah. Puisi yang indah adalah puisi yang mengandung atau memeram muatan transenden. Keindahan yang paling indah-agung [kamil] dalam puisi Taufiq adalah keindahan yang mampu membawa orang [pembaca, pendengar] mengalami transendensi. Ini menunjukkan, kualitas puitis-estetis senantiasa berpuncak pada kualitas religius-spiritual-transenden.
Apakah hal tersebut tak memperalat puisi atau estetika demi dakwah agama – atau dalam konteks puisi Taufiq – memerdayakan puisi atau estetika demi dakwah agama Islam? Apakah hal tersebut tak membuat puisi atau estetika jatuh sekadar sebagai objek, bukan subjek? Apakah hal tersebut tidak merampas kebebasan puitika, licentia poetica, dalam berpuisi?. Itu mungkin saja terjadi bila penyair tak piawai, hanya berusaha menggunakan sarana-sarana literer dan bahasa literer yang ada, bukan menciptakan sarana dan bahasa literer. Tapi, di tangan Taufiq Ismail, tampak jelas bahwa hal tersebut tak terjadi. Taufiq bukan saja piawai mempermainkan sarana dan bahasa literer yang ada, tapi dia juga piawai menciptakan sarana dan bahasa literer.
Berkat kepiawaian dan kecerdikan Taufiq menciptakan sarana dan bahasa literer bagi puisi-puisinya, puisi-puisinya tak sampai memperalat dan memerdayakan puitika atau estetika demi dakwah agama Islam sekalipun puisinya menggarap tema-tema politis. Sebaliknya, puisi-puisinya malah tampak mengekspresikan bangunan estetika zikir atau tauhid yang dianutnya atau dicobanya. Berkat kepiawaian Taufiq mengungkai kata, merajut irama bahasa, menciptakan gaya bahasa, membangun imaji atau citraan serta sarana literer lain, terbukti puisi-puisi Taufiq dapat meloloskan diri dari kecenderungan memperalat dan memerdaya puisi sekadar sebagai kendaraan dakwah agama di samping mampu menghindarkan diri dari kecenderungan beraneh-aneh atau berakrobat dengan sarana dan bahasa literer. Simaklah puisi 12 Mei 1998, Kembalikan Indonesia Padaku, Beri Daku Sumba, Mencari Sebuah Masjid, Penerbangan Terakhir, Aku Rindu Zaman Yang Ikhlas dan Bersahaja, dan Sejarum Peniti, Sepunggung Gunung, misalnya, betapa memikat ungkaian kata-kata, rajutan irama bahasa, ciptaan gaya bahasa, dan bangunan imaji atau citraannya. Di sini puisi Taufiq juga tetap mampu mempertahankan kewajaran, kesahajaan, kecerahan, dan kesegaran pengucapan literer.
Perhatikan segar dan kuatnya pengucapan literer kuitpan berikut ini. //Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu/Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu.//Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalin tertinggi/di Trisakti bahkan seluruh negeri, karena kalian berani/mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan/darah arteri sendiri// [12 Mei, 19998];//Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang mengangga//Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt, sebagian berwarna putih/dan sebagian hitam, yang menyala bergantian// [Kembalikan Indonesia Padaku];//Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka/Di mana matahari membusur api di atas sana/Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka/Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga// [Rinduku pada Sumba];//Puisi punya kepentingan besar terhadap air yang tersedia/dalam berbagai ukuran bejana bumi/mengalir melalui bermacam format saluran tanah/dihuni oleh perenang-perenang sejati yang berukuran/ mulai dari/sejarum peniti sampai sepunggung gunung/dengan warna-warna panorama bawah laut/yang luar biasa menakjubkan/[Sejarum Peniti, Sepung-gung Gunung].
Kutipan-kutipan ini menunjukkan atau memperlihatkan betapa segar dan cerahnya ungkaian kata, rajutan irama, ciptaan gaya bahasa, dan bangunan imaji di samping betapa wajarnya muatan pesan-pesan spiritual-transedental. Agaknya, Taufiq memang piawai berpuisi dengan berzikir; atau berzikir dengan berpuisi guna membangun sekaligus mengejawantahkan sosok estetika tauhid yang diyakininya. Dia seorang penyair yang dai; seorang dai yang penyair. Keduanya melebur dalam diri Taufiq. Di sinilah puisi-puisinya beribu pada teohumanitas atau humanitas teosentris. Inilah kiranya doktrin pokok puisi dan kepenyairan Taufiq. Doktrin ini dikembangkan, diyakini, dan dianut Taufiq karena dia tampak sedang mencoba secara maksimal menjadi muslim yang kafah; manusia Islam secara total melalui jalur kesusastraan.
/2/
Doktrin teohumanitas yang menjadi ruh estetika zikir atau estetika tauhid tersebut dikontekstualisasikan ke dalam pelbagai lapangan kehidupan modern – yang dapat mengagungkan ketuhanan dan kemanusiaan pada satu sisi dan pada sisi lain malah dapat mengancam ketuhanan dan kemanusiaan. Dalam sepanjang sejarah kepenyairan Taufiq – yang terentang 50 tahun lebih – sudah sedemikian luas lapangan kehidupan yang dijangkaunya. Taufiq tiada lelah mengembarai, menjelajahi, atau mengarungi lapangan sejarah, politik, kekuasaan, hukum, etika, moralitas, sosial, pendidikan, olahraga, dan lain-lain. Lapangan-lapangan kehidupan yang jarang sekali, bahkan tak pernah dijelajahi oleh penyair atau sastrawan lain, dijelajahinya juga sekiranya di sana telah terjadi perendahan dan pelecehan kemuliaan martabat manusia pada satu sisi dan pada sisi lain di sana dimungkinkan kegiatan pengagungan Allah.
Alhasil wilayah tematis puisinya sangat luas – dan dia pun sedemikian fasih berbicara tentang wilayah tematis itu. Dengan lembut dia menghimbau manusia agar terus-menerus mengagungkan Allah sekaligus memuliakan martabat manusia pada satu sisi; dan pada sisi lain dengan lantang dia menyeru sekaligus mengingatkan kepada manusia bahwa pada zaman modern sekarang betapa luar biasa banyaknya kasus perendahan, pelecehan, dan penyepeleaan keagungan Allah dan kemuliaan martabat manusia. Simaklah puisi Doa, Sajadah Panjang, Aisyah Adinda Kita, misalnya, betapa lembut imbauan kepada kita untuk mengagungkan Allah. Namun, simaklah puisi-puisi dalam kumpulan atau bagian Tirani, Benteng, Kembalikan Indonesia Padaku, dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, misalnya, betapa lantang [yang disertai sikap geram] seruan kepada kita untuk melihat dan mengingat perendahan dan pelecehan martabat manusia yang mutatis mutandis berarti juga perendahan dan pelecehan keagungan Allah.
***
______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.