TERBACALAH HORISON


Bandung Mawardi

Dulu, ia berseragam abu-abu dan putih. Siang, pulang sekolah, ia kadang memilih bergerak ke Gladak, Solo. Naik bus kota, dari SMA Negeri 2 Sukoharjo. Duit di saku cuma untuk ongkos bus dan buku, terlarang jajan es teh. Perjalanan menghibur setelah dikutuk hari-hari belajar dengan buku-buku pelajaran. Di Gladak, ia membeli majalah-majalah, sebelum buku. Sekian pedagang sudah mengerti, bila aku rajin membeli Horison lawas. Ia kadang membeli Budaja Djaja dan Basis. Sekian majalah berhasil dibeli. Pulang. Naik bus dengan wajah semringah. Turun di kampus UMS (Pablean), berlanjut jalan kaki 30-an menit sampai ke rumah. Malam, ia menjadi pembaca majalah sambil mengandaikan menjadi pengarang.

Di majalah Horison edisi Desember 1975, pembaca melihat lelaki cakep di naungan raksasa. Orang ingat itu pastilah buatan Danarto. Gambar mula-mula untuk cerita berjudul “Godlob”. Beralih ke tulisan H.B. Jassin, lelaki bernafas panjang ngopeni sastra Indonesia. “Majalah Sastra dan Majalah Hiburan,” judul esai H.B. Jassin. Majalah-majalah merajalela di Indonesia masa 1970-an. Orang bisa pusing menentukan pilihan membeli atau membaca majalah. Puluhan majalah memiliki rubrik-rubrik cerita dan puisi. Pengamatan H.B. Jassin: “Belakangan ini ada semacam ‘pemberontakan’ pengarang terhadap otoritas majalah yang bersifat sastra. Mereka mengatakan ogah menulis di majalah sastra yang hanya dibaca golongan elite dan lebih suka menulis dalam majalah hiburan yang luas dibaca.”

Edisi itu memuat pengumuman kecil: “Segenap keluarga Horison ikut berbelasungkawa atas wafatnya Nur Sutan Iskandar, pada hari Jumat, 28 November 1975.” Para pembaca ingat novel-novel lama: Salah Pilih, Hulubalang Raja, Karena Mentua, Katak Hendak Jadi Lembu, Naraka Dunia. Di kesusastraan Indonesia dan pengajaran sastra di sekolah, Nur Sutan Iskandar selalu dicantumkan dalam sejarah, tapi kita sulit membuktikan ada penggemar atau novel-novel itu berpengaruh besar. Pada halaman berbeda, kita membaca puisi tak lagi memiliki pengingat di abad XXI. Hamid Jabbar memberi puisi berjudul “Seperti Kakekku Dulu”. Dua larik saja terkutip: “gunung yang didaki kakekku dulu/ kini kembali kudaki.” Pada masa 1970-an, puisi masih gunung. Begitu.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *