TRANSFORMASI RELIGIOSITAS ORANG KECIL


: Kado Ulang Tahun Kepada Ahmad Tohari
Djoko Saryono *

/1/
Bagi saya, Ahmad Tohari merupakan seorang pejuang literer-simbolis bagi kalangan masyarakat bawah yang konsisten, teguh, rendah hati, dan tak ingin menyakiti siapa pun. Dalam bahasa canggih, dia pejuang literer-simbolis yang penuh empati dan simpati kepada pihak yang dibela sekaligus pihak yang dilawan. Dengan fiksi – dalam hal ini cerpen dan novel – sebagai teks literer-simbolis dia melancarkan pemihakan dan pembelaan kepada orang-orang kecil (wong cilik) sekaligus melayangkan perjuangan dan perlawanan kepada “pihak yang menyerang orang-orang kecil”. Itu sebabnya, boleh dikatakan, sejak awal kemunculan sampai sekarang, kepengarangan sekaligus karya-karya Ahmad Tohari merupakan bentuk perjuangan dan perlawanan literer-simbolis untuk memihaki, mendampingi, bahkan membela orang-orang kecil (wong cilik) yang sedang diharu-biru oleh transformasi budaya yang tak selalu dapat mereka pahami dan kendalikan.

Salah satu pemihakan dan pembelaan Ahmad Tohari terfokus pada praksis keagamaan orang-orang kecil, yang berada di dalam kepungan budaya agraris (bukan budaya urban), yang sedang menghadapi gempuran transformasi budaya – yang datang dari luar. Sejak kemunculan novel Kubah dan Di Kaki Bukit Cibalak sampai dengan novel Orang-orang Proyek dan Lingkar Tanah Lingkar Air tak lelah dan terus istiqamah Ahmad Tohari melakukan pemihakan dan pembelaan kondisi dan praksis religiositas orang-orang kecil – dalam hal ini wong cilik Jawa di dunia agraris – yang sedang berubah penuh onak dan kendala. Seperti tecermin dalam karya-karyanya, dengan sabar, empati, dan simpati Ahmad Tohari mendampingi dan mengadvokasi proses transformasi religiositas orang-orang kecil sehingga tempo dan kisah dalam karya-karya terkesan lambat. Dengan ketelatenan seorang etnografer sekaligus ketajaman seorang wartawan, Ahmad Tohari mencatat, lalu melukiskan dan menuliskan transformasi religiositas tersebut ke dalam karya-karya fiksinya.

/2/
Di samping Kubah dan Di Kaki Bukit Cibalak, teks trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala (yang kemudian hari setelah masa Reformasi disatukan menjadi satu Ronggeng Dukuh Paruk) merupakan salah satu teks literer-simbolis yang secara utuh melukiskan transformasi religiositas orang-orang kecil. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk menggambarkan transformasi keagamaan orang-orang kampung/desa di wilayah budaya pinggir¬an, yaitu Banyumasan, yang jauh dari pusat pusaran budaya Jawa Mataram-Islam. Dalam ketiga teks tersebut, begitu cermat dan detil Ahmad Tohari menggambarkan proses perubah¬an dan perbenturan religiositas orang-orang kecil Dukuh Paruk.

Dalam teks Ronggeng Dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari, banyak digambar¬kan keterikatan orang-orang Dukuh Paruk – terutama Sakarya dan suami-istri Kartareja – kepada kekuatan-kekuatan gaib alam semesta, roh-roh halus, dan roh-roh leluhur yang mereka anggap kudus, suci, dan menentu¬kan dan menguasai hidup mereka, misalnya gumuk makam Ki Secameng¬gala – mantan bromoco¬rah yang diakui sebagai pendiri puah Dukuh Paruk. Hal itu menunjuk¬kan bahwa orang-orang kecil Dukuh Paruk hidup di bawah bayang-bayang kultus – terutama kultus sekitar Ki Seca-meng¬gala. Religiositas yang berakar pada agama purba (animisme dan dinamisme) ini dipandang oleh pengarang menjadi penyebab keterbela-kangan, keterasingan, keterpen¬cilan, kemela¬ratan, kejumud¬an, dan bahkan ‘keaiban’ warga Dukuh Paruk. Dapat dikatakan bahwa seluruh teks Ronggeng Dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari pada dasarnya merupakan parabel-parabel keterbela¬kang¬an, ketera¬singan, keterpen¬cilan, kemelarat¬an, kejumud¬an, dan keaiban dalam segala segi para penghuni Dukuh Paruk akibat religiositas yang animistis-dinamistis.

Hal tersebut perlu ditansfor¬masi¬kan. Dalam teks terlihat, Ahmad Tohari mencoba mentrans¬for¬masikan¬nya ke dalam religiosi¬tas yang monoteistis. Oleh sebab itu, dalam Jantera Bianglala, oleh pengarang banyak digambar-kan dan diperikan keterikat¬an orang Dukuh Paruk – terutama Rasus dan Sakarya — kepada Tuhan Yang Mahaesa. Keterikata¬n ini, misalnya, tampak pada perian tentang sangkan paraning dumadi yang teistik. Hal ini tampak jelas dalam kutipan panjang bagian awal Jantera Bianglala berikut ini.

“Mayat adalah visualisasi proses terlepasnya nama dari kedirian, bahkan proses runtuhnya sebentuk fungsi keberada¬an. Dan Sakarya hanya bisa menghayati kematian dalam sebuah kidung yang selalu ditembangkan bila ada warga Dukuh Paruk meninggal. Wenang sami ngawruhana pati. Wong ngagesang tan wurung palastra. Saengga manuk mabur, mesat saking kurunganeki. Ngendi parane benjing, aja nganti kliru. Upama wong aneng dunya, asesanjan mangsa wurunga yen mulih. Maring nagri kamulyan.

Rasus belum pernah memikirkan secara sungguh-sungguh ajaran yang terkandung dalam kidung itu. Namun, setidaknya Rasus bisa menangkap adanya wawasan yang masih sumir tentang hakikat kematian. Ada kalimat dalam kidung itu yang mengatakan, manusia hidup tak urung bakal tiada, dan bahwa akhir perjalanan setiap manusia adalah nagri kamulyan, rahmat ilahi. Entah sistem nilai mana yang dijadikan referensi oleh Sakarya buat menghayati kandungan kidungnya. Anehnya Rasus merasa sumber referensi yang digunakan oleh Sakarya sesungguhnya adalah sistem nilai yang kini benar-benar dianutnya. Sistem nilai itu punya diktum tentang kematian: sesungguhnya dari Tuhanlah asal segala sesuatu dan kepada Tuhan jua semuanya bakal kembali”.

Kutipan panjang di atas menyiratkan bahwa yang ditawarkan oleh pengara-ng di ¬dalam teks trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah bahwa titik-labuh-akhir keterikat¬an manusia Jawa (baca: Dukuh Paruk khususnya ¬Rasus dan Sakarya) kepada Tuhan Yang Mahaesa bersumber pada agama Islam; setidak-tidaknya religiositas islami. Dikatakan demikian karena setidak-tidaknya ada dua bukti yang menunjang. Bukti pertama adalah bahwa lafaz yang berbunyi sesungguh¬nya dari Tuhanlah asal segala sesuatu dan kepada Tuhan jua semuanya bakal kembali dalam kutipan di atas – sekurang-kurangnya – merupakan pengarti¬an atau kontekstualisasi lafaz Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un yang biasanya diucapkan oleh orang Islam jika menghada¬pi dan menjumpai kematian. Di samping itu, kutipan di atas selaras dengan al-Qur’an surat al-Qashash ayat 88 yang Indonesianya: “Jangan kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apa pun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” (AQ, 28:88).

Kemudian bukti kedua adalah perian penga¬rang sendiri dengan teknik akuan tentang Rasus yang berbunyi sebagai berikut: “Aku bersembahyang. Aku berdoa untuk Dukuh Paruk agar dia sadar dan bangkit dari kebodohan-nya. Dan dengan air mata berjatuhan aku memohon kepada Tuhan kiranya Srintil mendapat kesempatan kembali memanusia dan mampu memakhluk” (JB:223). Jadi, dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk digambarkan dan diperikan orang-orang kecil yang sedang bertransforma¬si dari sumber agama purba animistis-dinamistis yang lokal-komunal ke sumber agama Islam yang universal dan kosmopolitan. Oleh pengarang, meskipun bukan Islam abangan, Islam di sini digambarkan lebih menekankan segi ortopraksis daripada ortodoksi; segi-segi substantif, bukan formal; segi moral daripada ritual dan seremonial. Di sini wajah Islam yang mendasari orang-orang kecil Dukuh Paruk semacam Rasus tampak sangat kultural, bukan ortodoks atau puritan. Boleh disimpulkan, Ahmad Tohari menawarkan Islam kultural sebagai titik labuh atau arah transformasi religiositas orang-orang kecil Dukuh Paruk.

/3/
Uraian tersebut menunjukkan bahwa teks Ronggeng Dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari, kenya¬taan dan keadaan religiositas Jawa di kalangan orang kecil tertentu dicoba dikritik baik secara halus, tidak langsung maupun lugas, langsung, dan keras dengan disertai sikap dan tanggap¬an kritis-kreatif dari pengarang. Itu sebabnya, bisa dikatakan teks literer-simbolis ini mencoba melancarkan kritik terhadap kenyataan dan keadaan keagamaan orang kecil Jawa.

Lebih lanjut, dalam teks Jantera Bianglala, kenyata¬an dan keadaan keagamaan dinega¬si atau digugat secara kreatif dengan disertai alternatif sebagai wujud sikap dan tanggapan dari pengarang. Teks literer ini berarti menegasikan budaya Jawa di Dukuh Paruk dengan memberikan alternatif tertentu. Dalam Jantera Bianglala alternatif itu berupa nilai-nilai keislaman. Sebab itu, secara umum, boleh dibilang bahwa Ahmad Tohari menawarkan sebuah model transformasi religiositas orang kecil Jawa di kawasan agraris, yaitu dari agama purba ke Islam kultural.
***

______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *