Trilema Sains, Filsafat, Agama

Lukas Luwarso

Perdebatan “menghadap-hadapkan” agama, filsafat, dan sains sebagai semacam “perselisihan paradigma” berisiko menghadapi problem trilema (dilema namun menyangkut tiga aspek). Tiga aspek ini cukup sulit dipersatukan untuk menjadi kesatuan paradigma yang koheren, substantif, non-superficial. Kita bisa mengombinasikan dua paradigma, namun agak mustahil menyatukan ketiganya. Mampu menjadi orang yang taat beragama, mendalami filsafat, sekaligus antusias pro-sains.

Trilemmanya begini: (1) Jika anda taat beragama dan mendalami filsafat, pasti tidak pro-sains; (2) Jika anda pro-sains dan beragama, pasti kurang mendalami filsafat; (3) Jika anda berfilsafat dan pro-sains, pasti tidak taat beragama.

Saya mengategorikan F. Budi Hardiman (FBH) pada trilemma pertama: beragama dan berfilsafat, namun tidak pro-sains. Ia menulis “Saintisme dan Momok-momok Lain” ikut meramaikan debat menyoal sains dan korelasinya dengan filsafat dan agama. Tulisannya, di beberapa paragraf awal, bernada patronizing dalam mendakwa sains. Ia sengaja memilih judul dengan diksi yang detraktif (“saintisme”; “momok”). Berkotbah: “kepongahan kemajuan sains bisa menjadi dogmatisme baru.”

FBH juga mengajak untuk membuat distingsi antara “sains dengan saintisme,” sebagaimana memilah “agama dengan fideisme,” dan membedakan “filsafat dengan ideologi.” Menurutnya, yang pertama adalah upaya mencari jawaban, yang kedua merasa telah menemukan jawaban. Perdebatan yang berlangsung, katanya, lebih pada saintisme, fideisme, dan ideologi; ketimbang soal sain, agama, atau filsafat.

FBH fokus memilih menyerang sains dengan mengupas “saintisme”, namun enggan menyentuh fideisme (agama) dan ideologisasi (filsafat). Menunjukkan bias-berpikirnya yang terjebak pada trilemma kategori pertama. Tak soal tentu, bias berpikir adalah manusiawi. Bagaimanapun, saya tertarik menanggapi ajakannya untuk membuat debat “masuk lebih dalam”. Ia mengajukan tiga premis dan pertanyaan:

Pertama, menghadap-hadapkan agama dan sains tidak realistis; karena sains secara historis tidak dapat lepas sepenuhnya dari agama.

Kedua, New Sciences (seperti teori chaos, geometri faktal, mekanika kuantum) telah berpisah dari Newtonian mechanical worldview; ketidakpastian dan kontingensi makin mendapat tempat dalam sains.

Ketiga, hubungan antara sains dan dunia makna; realitas terdiri atas benda dan makna. Sains berhasil mengetahui benda, tetapi bisakah makna didekati oleh sains? Bagaimana menjelaskan dari benda muncul kehidupan, dan dari kehidupan muncul kesadaran?

Tulisan ini mencoba mengupas tiga premis persoalan yang diajukan FBH.

Menghadapkan Agama dan Sains:

“Menghadap-hadapkan agama dan sains tidak realistis; karena secara historis sains tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari agama.” Secara prinsip premis ini valid, dalam hal “tidak bisa dilepaskan secara historis”. Cukup banyak temuan sains yang dihasilkan oleh sejumlah saintis bukan saja terinspirasi ajaran agama, namun awal niatannya adalah untuk—secara harfiah—pengabdian pada agama.

Isaac Newton adalah quintessential saintis yang mendedikasikan hidup dan ilmunya untuk agama. Ia menulis sejumlah “karya ilmiah” yang dapat dikategorikan occult studies (studi hal-hal ghaib), seperti astrologi, alchemy, keajaiban alam, dan interpretasi Kitab Injil, antara lain tentang nubuat second coming Yesus dan hari kiamat. Ia berupaya menggali ulang wisdom teks kitab suci dan memaknai secara harfiah—bukan sebagai metafora atau kiasan.

Newton lahir dari keluarga gereja Anglikan, dan percaya sepenuhnya Tuhan monotheis adalah Sang Pencipta yang keberadaannya tak terbantahkan. Saat itu, abad 17, belum ada pemilahan antara sains, pseudo-sains, dan takhyul. Paradigma intelektual (Eropa) umumnya terpaku pada agama. Newton percaya logam tumbuh di tanah seperti pohon, dunia materi itu hidup, dan gaya gravitasi disebabkan oleh emisi kimiawi garam.

Newton meyakini, Tuhan secara khusus mengutusnya untuk menyampaikan kebenaran teks kitab suci. Ia percaya kedatangan kembali (second coming) Yesus. Dalam kalkulasinya Yesus akan datang kembali ke dunia pada tahun 2060, diikuti dengan berdirinya Kerajaan Allah di bumi yang akan bertahan hingga akhir jaman.

Newton menulis Rules for interpreting the words & language in Scripture, sebagai panduan interpretasi Kitab Injil yang benar. Ia serius mengabdikan diri mengungkap “Bible Code”, pesan-pesan tersembunyi Alkitab. Tujuannya untuk meluruskan hal-hal yang tidak dipahami dengan baik oleh umat. Pendekatan Newton dalam mengungkap makna teks Alkitab (Book of Revelation), saat itu, jelas tidak bisa disebut saintifik. Namun ia yakin temuan-temuannya adalah hasil riset berbasis evidence.

Terlepas pada awalnya gandrung mendalami occultism, sesuatu yang lazim pada era saat itu, Newton menghasilkan karya seminal saintifik: Mathematical Principles of Natural Philosophy (1687). Karya ini menjadi salah satu tonggak penting sejarah sains. Memaparkan tiga hukum fisika yang menjadi basis bagi Teori Gravitasi dan pengukuran pergerakan planet-planet. Newton membawa paradigma baru: dunia yang mekanistis dan bisa diukur dengan memakai hukum fisika dan matematika (calculus). Perhitungan dan pengukuran secara matematis menggantikan dugaan, spekulasi, dan hipotesis.

Ungkapan Newton yang terkenal Hypotheses non fingo (“saya tidak terpaku pada hipotesis”) adalah kredo saintifiknya. Hipotesa apapun tentang dunia fisika, metafisika, occultis atau mekanis, harus dibuktikan melalui eksperimentasi. Newton melanjutkan era revolusi saintifik, yang dimulai para saintis pendahulunya, seperti Galileo, Nicolaus Copernicus, Johannes Kepler.

Selain Newton, saintis yang dikenal religius adalah Gregor Mendel. Seorang biarawan Khatolik, Ordo Agustinian, yang mengisi waktu luangnya untuk bereksperimen dengan tanaman dan serangga—selain berdoa. Karyanya “Experiments on Plant Hybrids” adalah salah satu tonggak penting genetika modern, dan menempatkan dia sebagai Bapak ilmu genetika.

Mendel bukan cuma mengamati atau bereksperimen, namun juga secara kreatif merancang skema perkawinan silang (hibridisasi) pada 28.000 tanaman kacang. Semula ia bereksperimen dengan kucing, namun gereja melarang, dan menggantinya dengan tanaman dan lebah. Ketika itu, tahun 1860-an, ia mengidentifikasi adanya “faktor tak terlihat” (kemudian dinamai “gen”) yang bertanggung jawab mewariskan ciri-ciri spesifik ke keturunan. Ia sendirian menemukan hukum yang mengatur genetik yang diwariskan (Hukum Mendel), yang berlaku untuk semua mahluk hidup. Temuannya kemudian memperkuat Teori Evolusi Darwin dan sains genetika molekuler.

Charles Darwin dikenal sebagai saintis yang mengundang konotasi “penghujat agama” karena Teori Evolusi-nya. Namun Ia sebenarnya penganut agama Protestan non-conformist, dan pernah bercita-cita menjadi pendeta. Ia sangat berminat mempelajari asal muasal alam, dan mendalami theologi alam (natural theology). Ia berprinsip keberadaan dan tindakan Tuhan dapat dilihat dalam fenomena alam dan dinalar melalui hukum alam. Saat berusia 22 Ia ikut ekspedisi kapal Beagle, dengan harapan bisa melihat kawasan kepulauan tropis, keindahan alam ciptaan Tuhan, sebelum menjadi pendeta.

Saat berangkat untuk berlayar Darwin masih seorang religius ortodoks yang berhasrat melihat “kerja keillahian menciptakan alam”. Namun menjelang berakhirnya ekspedisi pelayaran ia mulai meragukan kisah penciptaan sebagaimana tertulis di Alkitab. Ia melihat beragam spesies hewan yang secara fisiologis berubah. Ia mulai berhipotesis adanya transmutasi hewan melalui proses seleksi alam. Setelah tersedia cukup bukti ia menguraikan teorinya dalam buku “On The Origin of Spescies” (1859). Sebuah paparan temuan saintifik yang menjadi fondasi ilmu biologi evolusioner, dikenal sebagai Teori Evolusi Darwin.

Paparan sekilas pencapaian tiga saintis, Newton, Mendel, dan Darwin, di atas sekedar sebagai ilustrasi untuk menunjukkan validitas premis “sains tak bisa sepenuhnya dilepaskan dari agama—secara historis.” Namun kaitan sejarah itu bersifat serendipities, alih-alih metodologis. Newton dengan keyakinan agamanya tertarik dengan occultisme, namun saat menulis Teori Gravitasi ia tidak menggunakan metode agama, namun memakai matematika—yang sama sekali tidak dikenal dalam Alkitab.

Mendel juga demikian, Hukum Genetika lahir bukan karena ia adalah seorang rahib Khatolik, yang mendapat “inspirasi keillahian”, melainkan karena studi sains yang ia tekuni sebelumnya di universitas dan sikap rasa ingin tahu yang besar pada kehidupan. Sama halnya dengan Darwin, paradigmanya berubah setelah mengobservasi bagaimana cara kerja alam. Ia mengurungkan niatnya menjadi pendeta setelah menyaksikan keragaman kehidupan yang dinamis, tidak statis sebagaimana tertulis di Alkitab.

Memang benar, sains tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari agama. Namun, agama jelas bukan penyebab atau faktor pendorong penemuan sains. Juga bukan raison d’être atau conditio sine qua non bagi munculnya teori sains. Dalam beberapa kasus Agama justru menghambat sains, khususnya temuan sains yang merongrong atau bertentangan dengan teks Alkitab. Agama dapat dianalogikan seperti kondisi cuaca untuk riset sains. Saintis akan tetap bekerja mengobservasi, meneliti dan bereksperimen untuk mendapatkan penjelasan soal dunia. Tidak soal kondisi cuaca saat itu: hujan, mendung, berawan, atau cerah.

New Sciences dan Ketidakpastian

“New sciences, seperti teori chaos, geometri fraktal, mekanika kuantum, telah berpisah dari Newtonian mechanical worldview; ketidakpastian dan kontingensi makin mendapat tempat dalam sains.” Premis ini juga cukup valid. Temuan-temuan sains terbaru telah mampu menjawab sejumlah pertanyaan, namun sekaligus memunculkan berbagai pertanyaan baru. Saya sudah menyentuh sekilas dalam tulisan saya sebelumnya “Kepastian Sains dan Pencarian Kebenaran.”

Saya ingin merespon dengan memberi ilustrasi soal hipotesis aether (ether). Sampai awal abad ke-20, di kalangan fisikawan terdapat “postulat” adanya medium universal yang memerantarai berbagai interaksi fenomena alam, seperti gelombang cahaya dan gaya gravitasi. Sebagaimana air yang memiliki substansi (medium) penyebab permukaan air bergelombang, maka suara, cahaya, dan gravitasi diduga juga memiliki medium.

Bagaimana suara terdengar, cahaya menyinari, dan gravitasi menarik segala sesuatu tetap menempel di bumi? Fisikawan berpostulat medium itu adalah ether, secara semantik artinya “esensi materi yang memenuhi semua wilayah di alam semesta dan di bumi.” Ether sebagai istilah sudah lazim digunakan dalam kisah-kisah mitologi Yunani kuno sebagai esensi atau “hembusan nafas Tuhan yang memenuhi ruang kehidupan”.

Teori-teori fisika hingga akhir abad ke-19 menggunakan konsep ether sebagai hipotesis untuk menjelaskan berbagai fenomena alam. Dalam “Einstein: His Life and Universe”, Walter Isaacson mengulas bagaimana Albert Einstein turut bergulat memecahkan “misteri” ether, medium pembawa cahaya ini. Einstein juga mengamini postulat lintasan cahaya bergerak di ruang vakum karena adanya ether.

Selain Einstein, banyak fisikawan saat itu yang merancang berbagai eksperimen untuk mendeteksi ether, dan selalu gagal membuktikan keberadaannya. Sampai akhirnya, eksperimen yang dilakukan Michelson-Marley menyudahi spekulasi. Ether terbukti tidak ada. Penyelidikan Einstein, yang kemudian menghasilkan Teori Relativitas Khusus (1905) juga membenarkan tidak adanya ether.

Kisah pencarian ether di dunia fisika adalah simbolik kemenangan pembuktian kebenaran melalui eksperimen melawan hipotesis, postulat, asumsi atau intuisi. Konsep ether yang “bernuansa mistis”, dan bertahan selama ribuan tahun—sejak era mitologi hingga menjadi asumsi sains—akhirnya dihapus. Misteri “dunia ghaib”, yang kerap diyakini ada, satu per satu bisa diungkap, diukur, dan dijelaskan mekanismenya. Sebagian ketidakpastian bisa dipastikan melalui sains. Dunia ghaib satu per satu menyerah pada interogasi sains.

Ether telah tumbang, namun masih ada ketidakpastian atau misteri dunia yang belum terjawab. Fisika pasca-modern, atau “New Sciences”, juga memiliki sejumlah misteri baru, misalnya konsep “dark matter” atau “dark energy”. Termasuk dunia super-kecil, partikel sub-atomik, yang misterius. Sebuah “dunia ghaib lain” yang selama ribuan tahun peradaban manusia menjadi misteri yang memesona agama atau penganut mistik. Keghaiban itu bisa dideteksi dan dijelaskan melalui sains mekanika quantum (Quantum mechanics),

Fisika klasik adalah sains yang menjelaskan materi dan energi pada skala yang dapat dilihat atau dirasakan indera manusia, seperti berbagai benda yang terlihat mata hingga peredaran planet. Teori mekanika quantum (MQ) menjelaskan interaksi materi dan energi pada dunia sub-atomik yang ukurannya sepermilyar milimeter.

Sebagai sains MQ lahir pada 1924, melalui proses panjang yang dibidani oleh penemuan banyak fisikawan. Dari hipotesis awal Thomas Young (1801) tentang cahaya sebagai gelombang hingga penemuan efek foto-elektrik Einstein (1905), yang membuktikan cahaya tersusun dari partikel quantum photons. Teori Relativitas Einstein dan Teori MQ menjungkirbalikkan paradigma lama dunia mekanis-deterministik Newtonian dan membuka pemahaman baru tentang realitas yang “tidak pasti”, dan munculnya berbagai sains baru. Antara lain Teori Chaos dan fraktal geometri, yang menggunakan komputer (sebagai teknologi baru) untuk membuat simulasi fenomena alam secara matematis.

Teori Chaos adalah sains yang menjelaskan perilaku alam yang bersifat kontingen, tidak pasti, sulit diprediksi karena sangat dinamis. Misalnya gerakan awan di langit, ombak di lautan, aliran sungai, perubahan cuaca, kebakaran hutan, dan semacamnya. Edward Lorenz mengumumkan Teori Chaos, pada 1961, setelah berhasil membuat simulasi pola cuaca—berbasis 12 variabel, dari temperatur hingga kecepatan angin—menggunakan komputer sederhana.

Lorenz berteori: dibalik keacakan sistem dan fenomena gerak alam yang kompleks terdapat pola, fraktal, keteraturan yang berulang dan ada pengorganisasian-diri. Keacakan (randomness) dan terbentuknya pola tertentu bergantung pada kondisi awal. Teori Chaos populer dengan analogi “The butterfly effect”, perubahan kecil (sistem atau kondisi) bisa berakibat perbedaan besar. “Kepakan kupu-kupu di China bisa menyebabkan badai di Amerika.”

Pandemi Covid-19 adalah contoh situasi yang bisa dijelaskan dengan Teori Chaos. Virus yang menginfeksi beberapa orang di Wuhan bisa mengguncang dunia, dan berdampak luar biasa di Amerika. Dunia virus berpola deterministik, namun ketika terjadi perubahan situasi (pindah menginfeksi manusia) pengaruhnya tidak lagi mudah diprediksi. Virus memicu kekacauan (chaos) namun tetap bisa dideteksi polanya.

Edward Lorenz mengintroduksi “determinist chaos:” apa yang terjadi saat ini menentukan masa depan, namun tidak pasti (bersifat kontingen). Seperti wabah Covid-19, bagaima akan berakhir dan apa dampaknya bagi kultur manusia? Tergantung banyak faktor. Teori Chaos dapat memprediksi suatu kondisi dengan tiga syarat: seberapa besar ketidakpastian bisa ditolerir, seberapa akurat kondisi bisa diukur, dan skala waktu dinamika situasi.

Teori Chaos telah mengubah paradigma melihat dunia, bagaimana menjelaskan “kekacauan” alam dan cara mengelolanya. Teori ini semakin membuka pemahaman tentang dinamika alam, ketika ilmu geometri fraktal diperkenalkan. Fraktal adalah pola keteraturan geometris yang berulang, mekanisme alam mereplikasi-diri, dan sistem peniruan-diri sehingga alam berwujud seperti yang terlihat saat ini.

Fraktal adalah “sidik jari’ alam, bagaimana alam mengukir atau memoles diri menjadi berbagai bentuk struktur yang rumit namun indah. Seni fraktal alam bisa dilihat dari pola dekoratif bunga matahari, kristal salju, kelokan sungai, gelombang laut, sisik ikan, strip zebra, alur padang pasir, hingga spiral galaksi.

Benoit Mandelbrot adalah ilmuwan pertama yang mensimulasikan faktral melalui program komputer pada 1975. Baginya fraktal adalah seni kekesatan (roughness) fenomena, elemen, dan wujud alam yang kompleks. Hal-hal yang dianggap “taken for granted” dari alam—“memang begitulah alam”—mulai bisa dijelaskan dan disimulasikan prosesnya melalui ilmu geometri fraktal.

Fisikawan Stephen Wolfram melanjutkan kerja-kerja Mandelbrot untuk memecahkan misteri bagaimana proses alam semesta dan seisinya terbentuk. Dalam “A New Kind of. Science” (2002) ia memaparkan dan mensimulasikan prosesnya melalui program komputer. Ia menyimpulkan, alam semesta adalah keragaman yang berkembang dari program sederhana yang berbasis pada hukum fundamental fisika, kimia, biologi dan sains lainnya.

Wolfram kini sedang menyusun “Theory of Everything” yang pernah dirintis—dan kemudian ditinggalkan—Stephen Hawking. Wolfram berhipotesis, cara kerja alam semesta mirip jalinan kode program komputer. “Diawali dengan proses (program) sederhana, berkembang menjadi struktur yang kompleks,.” Ia menyusun kode komputer, menggunakan aspek-aspek persamaan matematis Teori Relativitas Einstein dan mekanika quantum, dua pilar sains fisika moderen, untuk mensimulasi proses lahirnya alam semesta.

Wolfram menulis risalah ilmiah populer, “Finally We May Have a Path to the Fundamental Theory of Physics… and It’s Beautiful” (14 April 2020). Penuh dengan ilustrasi simulasi grafis, memaparkan bagaimana kira-kira proses alam semesta mewujud. Namun,sebagaimana bukunya “A New Kind of Science”, risalah hipotesa terbaru Wolfram ini mendapat kritikan “sengit” dari sejumlah fisikawan. Dalam dunia sains, “kritikan sengit” adalah mekanisme dan metode yang lazim untuk menguji validitas hipotesis atau teori.

Kritik “built-in” dalam ekosistem dunia sains dan metodenya, justru untuk memastikan validitasnya. Agar teori sains bukan cuma dogma yang tidak berdasar. “Dogmatisme sains” adalah misnomer, frasa yang konvolutif. Dogma adalah diksi yang lazim dalam ekosistem agama atau filsafat, namun tidak logis untuk sains. Termasuk istilah “saintisme” yang secara esensial cuma mitos, mirip hantu, sekedar “momok” menakutkan—bagi yang percaya takhyul.

Carl Sagan menyatakan, “the reason science works so well is partly that built-in error-correcting machinery. There are no forbidden questions in science, no matters too sensitive or delicate to be probed, no sacred truths. That openness to new ideas, combined with the most rigorous, skeptical scrutiny of all ideas, sifts the wheat from the chaff.”

Sains dan Dunia Makna:

“Hubungan antara sains dan dunia makna; realitas terdiri atas benda dan makna. Sains berhasil mengetahui benda, tetapi bisakah makna didekati oleh sains? Bagaimana menjelaskan dari benda muncul kehidupan, dan dari kehidupan muncul kesadaran?“

Ada dua isu dalam premis yang dinarasikan FBH ini. Pertama, bagaimana sains membantu manusia memaknai dunia. Kedua, bagaimana proses kehidupan dan kesadaran muncul. Isu pertama, sains beririsan dengan filsafat. Isu kedua, sains beririsan dengan spiritualisme agama, atau keyakinan.

Dalam artikel “Kepastian Sains dan Pencairan Kebenaran”, saya menulis: Pencarian makna lazimnya adalah wilayah agama, spiritualitas, atau filsafat. Sains tidak menyentuh pemaknaan, karena abstrak. Pertanyaan saintifik yang valid bukanlah “apa makna kehidupan”, melainkan “bagaimana membuat hidup lebih bermakna”.

Fisikawan teoritis Sean Caroll dalam “The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself,” menguraikan, tugas sains adalah mendeskripsikan dunia. Hukum-hukum fisika tidak berurusan dengan wilayah perasaan, seperti soal salah-benar, baik-buruk, bermakna-tak bermakna, tujuan hidup, atau adakah kehidupan setelah kematian.

Pencarian makna, secara serius, tidak cukup hanya mengandalkan perasaan, imtuisi, atau asumsi. Memahami estetika, etika, moralitas, atau pencarian makna hidup akan semakin bermakna jika itu sejalan dengan temuan sains yang valid. Menemukan makna hidup adalah proses kreatif. Manusia lah yang menghadirkan makna dan tujuan pada dunia. Makna bukan sesuatu yang sudah ada di suatu tempat untuk ditemukan.

Upaya “mencari makna” adalah domain agama atau filsafat, bersifat arbriter dan spekulatif. Beda agama atau beda filsafat akan memberikan makna yang berbeda.
Lain halnya dengan upaya mencari penjelasan tentang asal-usul kehidupan dan bagaimana proses kehidupan itu kemudian memunculkan kesadaran. Asal-asal kehidupan dan munculnya kesadaran adalah dua pertanyaan paling sulit untuk dijelaskan dan dibuktikan oleh sains. Namun upaya menjawabnya sudah dimulai, yang pertama melalui Abiogenesis, yang kedua melalui Neurosains.

Abiogenesis, sebagai studi tentang bagaimana kehidupan muncul, sejauh ini memberikan hipotesis awal kehidupan berproses dari DNA dan RNA. Rangkaian molekul sederhana, yang berinteraksi dengan asam nukleid untuk menyusun protein. Protein adalah unsur dasar terbentuknya sel sebagai materi (“benda”) yang menjadi hidup. Bagaimana penjelasan “dari benda menjadi kehidupan?” Selain penjelasan menggunakan teori Abiogenesis (yang memadukan pendekatan fisika, kimia, dan biologi), asal kehidupan bisa dijelaskan dengan menggunakan Teori Informasi.

Dalam “Introduction to Artificial Life” saintis polymath Christoph Adami menginvestigasi asal kehidupan dengan mengkonsepsikan kehidupan sebagai jalinan informasi yang terus menerus mengabadikan-diri (self-perpetuating information strings). Menurutnya, hidup bukan hanya peristiwa kimiawi, melainkan juga proses informasi. Genome manusia, dan mahluk hidup lainnya, adalah gudang informasi tentang dunia yang terakumulasi sedikit demi sedikit dalam proses evolusi yang panjang. Informasi sari soal bagaimana mengubah gula menjadi energi, bagaimana sel mereplikasi diri, sampai bagaimana menjaga diri agar selamat dari bahaya.

Informasi adalah “mata uang kehidupan”, kemampuan memprediksi dan memilih yang lebih baik dari peluang yang ada. DNA manusia adalah ensiklopedia tentang dunia dan bagaimana bertahan hidup. Evolusi adalah proses mengalirnya informasi dari lingkungan ke genome secara timbal balik. Genome menyerap informasi dari lingkungan, dan dengan informasi itu, genome membuat prediksi tentang situasi lingkungan.

Ray Kurzwell menyatakan, evolusi adalah proses informasi mencari medium yang lebih kompleks. Saat ini medium penyimpan dan pengolah informasi adalah otak manusia, dan sedang berproses untuk hijrah ke server internet (cyber space). Dalam “The Singularity Is Near” Kurzwell membagi evolusi dalam enam era informasi: (1) Era fisika dan kimia: informasi tersimpan dalam partikel subatomik. (2) Era biologi, informasi tersimpan dalam DNA organisme seluler sederhana. (3) Era otak manusia, informasi memunculkan kesadaran. (4) Era teknologi: transformasi informasi ke digital dan munculnya artificial Intelligence (saat ini kita berada di penghujung era ini). (5) Era Singularitas: manusia dan teknologi cerdas menyatu, munculnya mahluk super cerdas-transhuman. (6) Era semesta tersadar: transhuman berekspansi ke seluruh alam semesta. (Hipotesis Kurzwell berbasis fakta kemajuan eksponensial sains dan teknologi, namun untuk sementara anggap saja sebagai science-fiction. Semua teknologi yang kita nikmati saat ini, 100 tahun lalu adalah science-fiction).

Menyangkut kesadaran, seperti yang diuraikan Kurzwell, baru muncul pada era ketiga evolusi informasi (era otak manusia). Otak manusia yang kompleks mampu mengolah informasi, sedemikian rupa, sehingga memunculkan kesadaran. Studi Neuroscience menunjukkan, kesadaran adalah fenomena “emergence” (muncul), bukan “given” (anugerah supranatural). Sebagaimana kehidupan muncul dari benda fisik dan proses kimiawi, dari atom, menjadi molekul, menyusun sel, menjadi organisme, spesies, manusia dan seterusnya. Munculnya kesadaran juga melalui proses evolusi ribuan tahun perkembangan kognisi manusia.

Boleh saja agama mengklaim atau memaknai: “kesadaran adalah anugerah Tuhan untuk manusia, sebagai mahluk ciptaan-Nya yang paling mulia.” Namun klaim seperti ini tidak memadai sebagai penjelasan untuk orang yang bernalar. Sains tidak pernah mengklaim bisa mengetahui atau mampu menjelaskan semua hal. Namun setidaknya, sains bisa menunjukkan bukti atas klaim teorinya yang sudah terbukti benar. Soal asal-usul kehidupan dan kesadaran (dua pertanyaan paling sulit), hipotesis sains masih bersifat tentatif, masih dicari bukti-bukti otentik untuk memvalidasi atau memfalsifikasinya.

Dunia makna adalah wilayah perasaan, yang bersifat personal. Setiap orang bisa dan boleh memaknai hidupnya sesuai subyektifitas pemahaman atau paradigmanya. Hidup bisa memunculkan beragam makna: sebagai pewahyuan, kehendak, cerita, permainan, tragedi, komedi, petualangan, pelajaran, dan sebagainya. Upaya memaknai hidup ini telah menginspirasi lahirnya berbagai karya seni kreatif yang inspiratif.

Bagi yang berparadigma agama atau filsafat, misalnya, bisa memaknai hidup sebagai “sebuah misi atau panggilan hidup.” Misi untuk mengabdi pada Illahi atau cita-cita luhur, mengajak pada kebaikan. Goethe menyebut misi hidupnya adalah menulis untuk memberikan pencerahan. Hegel memiliki misi memakai filsafat idealisme untuk menjelaskan makna hidup (merespon kepedihan tragedi Revolusi Perancis). Para politikus sering merasa membawa misi ingin mengubah situasi, memperjuangkan kebebasan dan keadilan. Misi orang biasa umumnya adalah bagaimana menjalani hidup dengan tenang, memiliki nafkah yang cukup dan merawat keluarga. Jeremy Bentham, dengan filsafat utilitarian, mempromosikan misi moral “kebahagiaan sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya manusia.”

Kita bisa memaknai dunia secara idealis dan sangat optimis, sebagai tempat yang penuh keindahan, kebaikan, kedamaian dan harmoni. Atau memaknai secara realistis (dan agak pesimis). Misalnya, prinsip utama ajaran Budhisme, the first nobel truth: “Hidup adalah penderitaan”, Sang Budha mengajarkan bagaimana terbebas dari penderitaan. Atau seperti mitos Sisypus, hidup adalah ritus mendorong batu ke puncak bukit hanya untuk menggelinding lagi ke bawah—terus berulang. Bagi yang berprinsip fatalistis, hidup adalah absurditas tak bertujuan, bunuh diri adalah pilihan. Arthur Schopenhauer, filsuf yang dikenal sebagai “sang pesimis agung” menyebut hidup sebagai rasa frustrasi, hasrat hidup adalah irasionalitas yang tak jelas juntrungnya.

Sejumlah pemikiran filsafat kuno telah menawarkan tips atau solusi praktis untuk memaknai dunia, misalnya Epicureanism memaparkan bagaimana menikmati hidup dengan mengurangi penderitaan (minimalizing pain). Atau Stoicism, mengajak hidup harmonis dengan lingkungan alam dengan menggunakan nalar, melatih disiplin mengendalikan hasrat, tindakan, dan perasaan. Hidup yang baik, bagi penganut Stoicism, adalah bagaimana menggunakan nalar untuk meningkatkan harkat masyarakat.

Menyangkut keberagaman makna, baik juga dikutip ungkapan Phytagoras, 2600 tahun lalu: “Hidup mirip acara Olimpiade; beberapa orang berlatih keras untuk menjadi juara, ada yang jualan suvenir untuk cari untung; banyak yang datang sekadar menonton.” (Life is like the Olympic games; a few strain their muscles to carry off a prize, others sell trinkets to the crowd for a profit; some just come to look and see how everything is done).

Sintesa Trilema Sains, Filsafat, Agama:

Menelaah relasi “trilematis” agama, filsafat, dan sains—sebagai tiga cara menafsirkan dunia—dapat melalui pendekatan perselisihan: membenturkan paradigma, karakteristik konseptual, dan klaim masing-masing. Atau pendekatan dialektis: menguraikannya sebagai rangkaian proses dialogis triadic (tesis-antitesis-sintesis).

Trilema sains, filsafat dan agama juga bisa diharmonisasi menggunakan metode Stephen Jay Gould “Non-Overlapping Magisteria”. Konsep yang ditawarkan oleh Gould untuk “mendamaikan” perselisihan sains dan agama. Dua paradigma yang merepresentasikah cara tafsir yang berbeda—antara fakta dengan makna. Masing-masing memiliki wilayah legitimasi dan otoritas (magisteria) sendiri, dan sebaiknya tidak ditumpang-tindihkan (overlap).

Dunia agama penuh dengan kisah menarik dan ajaib tentang masa lalu, yang bisa menjadi pelajaran. Dunia filsafat penuh dengan gagasan spektakular-spekulatif, yang bisa memancing pemikiran. Dunia sains penuh dengan temuan fakta dan perspektif baru, yang bisa memupuk pengetahuan dan imajinasi. Banyak hal sudah bisa dijelaskan dan dideskripsikan oleh sains dengan baik, namun masih banyak “terra incognita” yang masih menjadi misteri. Sains bisa mencari inspirasi dari kisah-kisah agama atau pertanyaan filsafat.

Trilema tidak perlu ada jika kita mampu memilah paradigma tafsir sesuai proporsi otoritasnya. Gunakan agama untuk meyakini (devotion), filsafat untuk memikirkan (wisdom), dan sains untuk menjelaskan (the nature of devotion and wisdom). Merenungkan makna dan berserah pada keagungan semesta (Tuhan), gunakan agama. Memikirkan hakekat makna secara spekulatif (exercise thinking), pakai filsafat. Mendapatkan penjelasan yang valid dan akurat tentang realitas dunia (evidence-based), pilih sains.

Kemampuan memilah paradigma agama, filsafat, dan sains, secara tidak overlap, dan tanpa sinisme, adalah kunci. Kapan kita paham menggunakan agama, memakai filsafat, atau memilih sains, bukan sebagai perselisihan. Termasuk paham memilah sains sebagai fakta dengan “saintisme” sebagai hantu yang menjadi momok.

Pada akhirnya, ketika perenungan dan pemikiran mandeg, kita harus memilih untuk menggali fakta mendapatkan bukti, melalui sains. Untuk terus maju.

*****
https://www.facebook.com/lukas.luwarso/posts/10157445970145794

One Reply to “Trilema Sains, Filsafat, Agama”

Leave a Reply

Bahasa »