“Di luar banyak dan padat godaan, beda sama kehidupan di pulau.” demikian pernyataan Aji Santa dalam serial “Legenda Angling Dharma”.
“Benar dan salah sulit dibedakan. Membela kebanaran memang gampang. Iya, tapi kadang nafsu membelokkan kebenaran dengan iming-iming (godaan itu tadi),” Lanjut Aji Santa sambil menyiapkan pelayaran dengan perahu kayu.
Pernyataan Aji Santa soal realitas itu, menarik jika dipadukan dengan realitas dalam pandangan Kiai Sutara.
“Hampir semua manusia menanggap yang dilakukan benar, hingga benar dan salah kadang kacau. Sebab Kebenaran terlalu banyak pemiliknya. Sementara kebenaran yang hakiki adalah milik-Nya dan setiap yang murni berasal dari nuranimu, bukan?”
Mungkin begitu yang dapat sedikit saya simpulkan dari substansi beberapa teks-teks dalam “Serat Kiai Sutara” (2018) dan “Dalil Kiai Sutara” (2020).
Setahu saya, Kiai Sutara ialah kiai nyentrik 87 tahunan yang masih teguh, kokoh, dan rutin dengan ciri khas perokok berat dengan kopi pahit kesenangannya. Tanpa keduanya, seolah otak kiai Sutara tak encer, membeku. Dengan bekal kitab-kitab klasik yang langka dan jarang di keramaian, Kiai Sutara mampu menjelmakan kemampuannya menyulap realitas dengan kedalaman pengetahuan yang substansial. Menariknya, di tengah perkembangan yang serba cepat ini, tak ada satu pun yang tak bisa ditashih oleh kiai Sutara.
“Agama bukan yang di tivi, bukan yang di masjid-masjid, bukan yang dibuku-buku hasil cetakan itu. Pun bukan yang keluar dari mulut-mulut para da’i, ustadz dan iklan-iklan. Agama itu di hati dan perbuatan yang luhur, meringankan sesama, dan melunasi nilai-nilai kemanusiaan.” Demikian tutur kiai Sutara.
Beragama tak mesti memberhalakan al-Qur’an, Hadist, dan kutipan-kutipan yang diindah-indahkan dari tulisan-tulisan arab itu. Agama itu perilaku, berbuat, menangkap realitas sekitar dengan sigap tanpa tirai-tirai pencitraan. Beragama perlu keimanan. Iman harus dibuktikan, bukan dijadikan barang bukti. Ia sejatinya perilaku, bukan pengakuan. Hidup menjadi ngawur jika hanya diuntai dengan khotbah-khotbah dan pidato-pidato gombal.
“Sudahlah! Cukup lagu-lagu itu saja yang gombal,” kata kawan saya.
Berlakulah hidup yang wajar dan tak timpang. Sebab ketimpangan melahirkan ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan mengacaukan bahkan menghancurkan. Kesadaran yang tertutup dan tak seimbang akan selalu merendahkan yang lain. Olehnya rakyat dikhotbahi, cabuli kedaulatannya, ditepuknya dada naasnya, dan mereka membaiat dirinya sebagai pahlawan kesejahteraan, pahlawan kepedulian, bahkan pahlawan keprihatinan. Mengaku sebagai pemilik kebenaran dan harus selalu dibenarkan. Setiap sekitar didefinisikan sebagai yang salah, yang sesat, yang lemah, dan tak bisa apa-apa. Akalnya dikuasai perilaku kebinatangan. Nafsunya buas, angkuh, dan menjijikkan. Agama dijadikan bahan menyatakan diri sebagai yang paling sempurna. Agamanya sendiri dianggapnya satu-satunya yang selamat dan penyelamat. Tak ada yang mampu menyelamatkan selain agamanya. Padahal agama belaka “wasilah” (perantara) untuk sampai kepada-Nya.
Agama hadir sebagai alat berkasih, bersantun, dan berarif. Menjadi tak benar jika agama selalu dijadikan bahan membenarkan diri dan menyalah-nyalahkan, pun tak menjadi benar dengan mempersalahkan yang berbeda.
“Innaddina ‘indallahil islam”. Agama adalah memberikan keselamatan, kata Gus Dur. Kata “al-islam” pada ayat tersebut, tak bermakna “agama Islam”, melainkan “keselamatan”.
Konyol dan biadab jika agama tak menyelamatkan dan tak melahirkan kenyamanan. Agama sejatinya hadir tak untuk membandingkan diri dengan yang lain, bukan berlomba saling menilai mana yang terbaik. Hakikat agama berbuat baik tanpa harus dinilai baik, memberikan ketenangan tanpa harus dianggap penenang, mendamaikan tanpa label pejuang damai, membijakkan tanpa predikat, menyamanankan tanpa peringkat. Sebab beragama bukan berkalkulasi dan berhitung dalam angka-angka. Ia menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Sehingga bagi saya, spirit penularan nilai kemanusiaan yang selalu terlontar dari sosok Kiai Sutara, membuatnya tak hanya dimiliki oleh orang Islam saja. Orang dengan agama lain pun merasa tenang dan banyak belajar pada tarian serat-seratnya dan keluwesan dalil-dalilnya. Bagi saya, ma’rifat Kiai Sutara membawa permenungan permenungan-permenungan sangat mendalam. Baginya tak ada realitas yang perlu dipersoalkan. Semua hanya berjalan dan seyogianya men-salehkan diri dan terus menebar kesalehan tanpa mengutuk dan mengkafir-kafirkan yang lain.
Sudut pandang luas dengan sajian bentakan-bentakan tegas spontan selalu kaya makna, menghidupkan setiap yang mati, meng-universalkan cara berpikir dan melebar-luaskan setiap yang sempit. Siapa pun yang bertatap langsung dengan Kiai Sutara, pasti didapatinya nilai dan tak merasakan ringan tanpa beban.
“Tertawa dan menertawakan diri adalah kunci menjelajah hidup,” tutur kiai yang gemar rokok kretek ini.
Oleh Kiai Sutara, dibuka seluruh satir yang condong memenjarakan akal dalam berpersepsi dan mendefinisikan realitas hidup. “Apalah arti hidup, jika tak menghidupkan dan menghidupi? Tak guna kuat, tapi tak menguatkan yang lemah, tak manfaat jika besar hanya membesar-besarkan diri tanpa menoleh dan terus menginjak-injak yang kecil dan lemah.” Begitu seruan-seruan kiai yang kerap mengkhotbahi realitas dengan uswah-uswah (teladan) kesehariannya.
Barangkali hidup memang perlu permenungan mendalam yang terus-menerus. Namun hidup tak akan hidup jika hanya terus-terusan capek menyembah Allah tanpa meneladani sifat dan nama-nama-Nya. Dia maha pengasih, pun penyayang. Maka kasihi dan sayangi setiap yang di sekitar. Hidup beragama memang harus didasari keimanan yang diamini. Tapi apalah arti beriman yang diamini, jika tak melahirkan keamanan, kenyamanan, dan ketenangan.
Pada akhirnya kita tahu, bahwa iman dan agama integral dalam perilaku manusia, yang selalu menyemai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bukan?
***
*) Afif Muhammad, santri Kiai Sutara, pengelola Padepokan Nyai Surti dan Pegiat Jaringan Gusdurian Bondowoso. Bukunya yang telah terbit “Mantra dari Langit”.