Khatijah *
“Apai Tuai mati, Apai Tuai mati, Apai Tuai mati” teriak Supri. Kabar kematian Apai Tuai mengegerkan sekecamatan Jawai Selatan. Tetua yang dianggap oleh orang tidak akan mati. Dipercaya oleh warga kampung malaikat pencabut nyawa selalu berkelahi dengan makhluk halus peliharaan yang diturunkan oleh kakek buyutnya ketika datang berkunjung ke tetua itu. Semenjak menjelang usia 109 tahun, masalahnya ialah kesulitan mendapat cucu laki-laki, ke 7 anak perempuannya menghasilkan anak perempuan. Kesal ia, berbagai cara, bermacam sesajen yang diberikan kepada leluhurnya untuk mendapatkan cucu laki-laki, tetap saja ketika anaknya berojol yang keluar betina.
Bahkan pernah sekali, harapan yang terakhir setelah anak sulung, kakak kedua, dan bungsu yang dituntut untuk menjadi keturunan berbakat selanjutnya tidak melahirkan anak laki-laki, anaknya yang no 6 akan melahirkan. Ia potong ayam hitam kampung 3 ekor lalu di asapkan dengan kemenyan dan ritual lain yang di percayainya cucu kali ini ialah laki-laki. Ayam-ayam tersebut dihanyutkannya ke pantai putri serayi 1 ekor, Gunung Ramayadi 1 ekor, dan tempat yang dipercayai penunggunya kuat yaitu di Batu Lapak diletakkannya di bebatuan itu 1 ekor. Cukup 3 ekor. Setelah itu ia tidak tidur menunggu anaknya untuk melahirkan, mulutnya komat-kamit tak henti membaca mantra agar penantiannya tidak sia-sia.
Biasanya, orang kampung maupun di luar kampung yang ingin keturunan diberikannya mantra tersebut, diperintahkannya melakukan ritual yang dilakukannya, tak lama ia mendapat kabar bahwa pasiennya telah mendapatkan keturunan laki-laki. Heran juga ia kenapa mantra dan rirual itu tak berpengaruhpada dirinya sendiri.
Hingga waktu cucunya akan keluar, tak sabar ia mendengar tangisan, dan melihat kelamin cucu yang ditunggunya. Tepat jumat malam, ia yakin sekali jika cucu kali ini laki-laki akan menjadi lebih tangguh dari dirinya, menjadi yang terbaik dari keturunan sebelum-sebelumnya, tenang juga ia melepaskan peliharaannya.
Pukul 00:03 wib, suara tangis bayi membuat merinding satu kampung. Orang-orang tahu bahwa dini hari akan lahir cucu yang akan menggantikan Apai Tuai mereka. Apai Tuai yang sejauh ini sangat baik hati membantu semua kebutuhan warga kampung, tetua yang dipercaya menjaga keamanan kampung dari segala perihal yang membuat kekacauan baik dari makhluk yang kasat mata,hingga makhluk yang tidak di mengerti keberadaannya.
Apai Tuai kembali kecewa, setelah dukun beranak di kampung membiarkan kepala, tangan, hingga seluruh tubuh cucunya keluar dieran oleh anaknya, melihat kelamin cucunya ternyata perempuan lagi.
“Akai, perempuan lagi” ujarnya menepuk kening. Keluar ia dari kamar tempat anaknya melahirkan cucu perempuan yang kelima belas.
Takut orang-orang kampung mendengar cucu terakhir Apai Tuai mereka perempuan lagi, tak ada generasi Apai Tuai. Tidak ada orang kampung yang mau berguru, takut tidak mati, takut tidak diterima bumi, takut dengan nyai pantai putri serayi.
***
Penuh rumah Apai Tuai oleh warga, makanan di masak sebanyak-banyaknya untuk orang-orang yang hadir, tak bisa dibedakan mana yang hadir karena berbelasungkawa dan mana yang penasaran bagaimana Apai Tuai yang di label tak bisa mati akhirnya mati. Tak peduli pukul berapa mereka memasak sayur, daging, dll berkawah-kawah. Karena malam itu orang yang hadir memang sangat banyak.
Penjagaan berlangsung dengan damai. Anak kecil yang brsama ibunya duduk didekat jasad Apai Tuai terkejut, melihat tangan Apai Tuai bergerak. Tak yakin ia dengan penglihatannya, diperhatikannya lagi dengan saksama tangan Apai Tuai, cukup yang ketiga kalinya. Ia melaporkan pada ibunya apa yang dilihatnya langsung dengan mata kepalanya.
“Mak, kalau kucing melangkah Apai Tuai. Bergerak lagi dak tangannya?”
“Ssst” respon ibunya, meletakkan telunjuknya di bibir mendesis.
“Mak, jari Apai Tuai bergerak”. Ibu anak tersebut hanya memandang anaknya, memberi kode agar anaknya tidak berisik. Tak lama keadaan yang riuh menjadi tenang, tiba-tiba sunyi. Orang yang berjaga, main catur, main kartu, bercerita, semuanya tertidur termasuk ibu dari anak tersebut.
Melihat suasana itu, anak tersebut pura-pura tertidur, dipeluk ibunya erat-erat. Ia melihat Apai Tuai bangun, menuju ke dapur. Penasaran ia, lalu di ikutnya Apai Tuai. Apai Tuai tak tersenyum, melihat dengan tatapan lurus, memeriksa dapur yang penuh dengan makanan, di kawah ada nasi, sayuran, daging, serta masakan yang lain. Dicicip oleh Apai Tuai.
Anak itu masih melihat Apai Tuai, tak sama sekali ia ketakutan karena tidak ada yang aneh dari wajah Apai Tuai. Setelah dicicipnya satu per satu makanan yang disiapkan oleh tamu-tamu yang datang kerumahnya, ia kembali ke tempat berbaring semula. Anak itu juga kembali ke pelukan ibunya. Dicobanya membangunkan ibu, bukan ibunya yang terbangun melainkan dia yang di goncang-goncang ibunya. Anak itu bermimpi.
“Mak, Apai Tuai tadi bangun. Dia makan” ujar anak kecil itu. Ibunya tidak merespon. Tak mengerti ia apa yang dikatakan anaknya, karena yang ada dipikirannya bukankah anak kecil tak pernah berbohong, lagipula jika memang tidak benar yang dikatakan anaknya kenapa ia bisa berbicara seperti itu.
Di dapur, teras, dan seluruh sudut rumah Apai Tuai terdapat lendir yang orang-orang tidak mengerti lendir apa. Yang pasti semua makanan yang telah disiapkan tadi malam semuanya basi, nasi yang baru di tanak juga berlendir, tak bisa di makan. Melihat situasi yang ribut, ibu dari anak laki-laki tadi semakin merinding, sebab ia mengetahui apa yang membuat makanan tersebut basi, dan lendir apa yang mengotori rumah Apai Tuai. Di benarkannya kata anaknya, bahwa tadi malam ketika semua orang tak sadar Apai Tuai bangun dan mencicipi semua masakan maka dari itu pagi ini semua makanan itu basi.
Setelah kasak-kusuk yang semakin mengegerkan kampung, ada yang bilang kalau Apai Tuai tidak diterima bumi, ada yang bilang semua itu ulah peliharaan Apai Tuai yang tidak terima ditinggal pergi, ada yang bilang ini azab seperti di televisi-televisi, dan banyak lagi. Mereka terdiam, membereskan semua kekacauan, mengemaskan mayat sebagaimana semestinya.
Semuanya berjalan lancar, hanya saja anak kecil yang melihat Apai Tuai bangun tadi malam masih bersikeras mengatakan kepada ibunya kalau Apai Tuai tidak boleh dikubur, sebab ia masih hidup. Ia mendekati mayat Apai Tuai, melihat lagi dengan saksama, bahwa apa yang dilihat dan dikatakannya itu benar, ia tidak berbohong.
Didekatinya mayat yang pucat itu, dilihatnya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki Apai Tuai, tak ada tanda-tanda kehidupan di jasad itu. Didekatkannya telinga ke dada Apai Tuai semakin dekat semakin dalam, semakin ia tak menemukan apa yang dicarinya. Slep tangan Apai Tuai memeluk anak laki-laki itu. Semua orang panik, ia menangis memanggil nama ibunya, ketakutan, nafasnya semakin sesak dipeluk tanpa ada kelonggaran, erat, tak bisa ia bernafas. Orang-orang menyaksikannya dengan ngeri, ibunya menangis memohon bersujud di samping mayat Apai Tuai yang memeluk anaknya, meminta untuk melepaskannya. Sudah ditarik sekuat tenaga tangan Apai Tuai oleh warga tetap tidak bisa. Hingga anak laki-laki tersebut tidak menangis lagi, tak bernafas lagi, hilang nyawanya.
Sungaijawi, 9 Oktober 2019
*) Khatijah, mahasiswa IAIN Pontianak, asal Jawai Selatan, Kabupaten Sambas. Ia anggota Club Menulis yang sudah menerbitkan 11 Buku, antara lain: Misteri Jawai Selatan, Masyarakat Muara Kubu Kal-Bar, Jingga Senja pantai Jawai, Wanita Sastraku, Damai di Jantung Borneo, Bukan Pria Sastra, Cerite Biak Sambas, Napak Tilas Hutan Kalimantan, Kisah Perjalanan Ke Perbatasan (Indonesia-Malaysia), dan Pelet Borneo. Ia juga mempunyai chanel youtube yang berkonten mereview buku-buku yang sudah dibacanya. Menerima kritik dan saran atas karangan via instagram (ktijh_) dan facebook (khatijah).