Jordaidan Rizsyah *
Sejak ditinggalkan kekasihnya buaya itu jadi begitu murung. Hari-harinya dihabiskan dengan malas di dasar danau Ceureptiksup yang terkenal bening nan dangkal. Orang-orang sering datang ke danau itu untuk merendamkan kaki. Konon, air danau itu obat penyakit kudis dan bisul.
Kalau kamu mampir ke ujung danau, tepat di bawah pohon jambu monyet, kamu bisa melihat bayang-bayang di dasar sana hampir menyerupai batu. Itulah si buaya. Si buas penghuni danau sejak zaman nenek moyang. Dari air dangkal nan bening itu dia bisa melihat kamu, artian lain, kalian bisa saling pandang. Hebatnya, sekarang si buaya telah kehilangan selera memangsa manusia, atau kambing, atau apa pun itu. Dia enggan mengeluarkan banyak tenaga untuk hal yang–menurut dia tidak idealis. Ia hanya akan mengeluarkan tenaga untuk mengenang kekasihnya yang sudah mati ditembak Kanpitei, begitulah pikirnya, dia ingin mengeluarkan semua tenaganya hanya untuk mengenang. Baginya sikap demikian tanda buaya sejati, buaya yang takkan berkhianat terhadap cinta, buaya yang punya tekad lebih baik mati daripada kawin lagi.
Buaya itu ingin meratapi kepergian kekasihnya sampai mati di sana, di danau Ceureptiksup.
Ada beberapa hal mengharuskannya bergerak, maka dia pun bergerak dengan begitu malas. Merangkak pelan ke depan seperti cacing, lalu mengibaskan ekornya dengan gaya smolotion.
Bajingan. Buaya macam apa sebeneranya kau ini?
“Aku buaya dengan kulit selunak perut kambing”
“Gigiku tumpul dan mulai keropos. Aku berpikir, aku sudah terlalu tua baiknya mati saja.”
“Aku sudah tak bertenaga, semoga Kanpitei cepat datang menembakku. Sekarang aku begitu rindu senapannya. Dan lagi, aku rindu dagingku dihidangkan berdampingan dengan daging babi dan anjing.”
***
Si buaya keluar dari tempatnya. Dia berjalan ke daratan. Orang-orang bukannya takut malah mendekatinya. Lalu, seseorang berdiri gagah di dekatnya sambil teriak, “inilah buaya putih dari zaman Far’aan yang berusia tujuh ratus tahun. Ini buaya satu-satunya di dunia, dan tidak bisa berkembang biak.”
Orang-orang kagum mendengar info itu.
“Paman, bolehkah aku memberi dia makan?” Seorang anak kecil sangat antusias.
“Tidak, Nak. Dia buaya rajin puasa.”
“Yah, Mah, ayo kita liat binatang lain aja.” Katanya kecewa sambil menarik tangan ibunya.
Bogor, 02 Juli 2020
*) Jordaidan Rizsyah, lelaki kelahiran Marisi, Angkola Timur, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara 17 September 1994. Awal menyukai dunia tulis, sejak secara tak sengaja menemukan selembar sajak di gudang kios bibinya, dan beberapa waktu kemudian diketahui kalau penulis sajak yang disukainya tersebut adalah karya guru bahasa di sekolahnya. Rizsyah kini bermukim di Bogor.