Catatan-catatan Ibnu Wahyudi mengenang Sapardi Djoko Damono

GAYA MENGAJAR PAK SAPARDI

Gaya mengajar setiap dosen tentu tidak seragam. Seragam dalam berpakaian juga tidak ada; berbeda dengan guru pada umumnya. Para dosen cenderung bebas dalam berpenampilan.

Dalam laku keseharian, ada dosen yang datang ke ruang kuliah dengan kerepotan bawaannya. Bahkan ada pula yang perlu membawa alat pendukung seperti tape recorder dan sebagainya karena satu kebutuhan. Ada pula yang tanpa membawa apa-apa. Pak Sapardi termasuk yang terakhir ini.

Penampilannya sederhana meski busana yang dipakai sesungguhnya tidak dapat dikatakan murah apalagi murahan. Biasanya lengan baju digulung sampai di atas siku. Pada dekade 1980 dan 1990-an Pak Sapardi jarang memakai jaket sewaktu mengajar, berbeda pada tahun 2000-an. Sepatu sandal dulu sering dikenakannya.

Yang hampir selalu serupa untuk jangka empat dekade adalah kebiasaannya untuk tidak membawa apa-apa ke dalam ruang kuliah. Sebagai asistennya sejak tahun 1985 untuk beberapa mata kuliah, aku yang harus siap dengan materi berupa buku atau bahan lain.

Sangat biasa ketika tengah menjelaskan, Pak Sapardi mengharap konfirmasi atau penjelasan tambahan dariku. Kalau aku tidak tahu atau lupa, malu juga. Termasuk kalau tidak membawa buku yang disebut, bisa-bisa aku merasa kecut.

Suatu ketika, persisnya entah kapan, Pak Sapardi menjelaskan suatu konsep hubungan antara pengarang, karya sastra, dan pembaca. Karena buku susunannya yang berjudul Sosiologi Sastra diperlukan untuk menunjukkan halaman yang harus dibaca para mahasiswa, maka Pak Sapardi meminjam buku dariku. Untungnya aku membawa buku itu.

Selesai memberi tugas, bel berbunyi. (Di kampus FSUI Depok, setiap pergantian waktu kuliah ada bunyi bel yang lumayan nyaring). Begitu bel berhenti, Pak Sapardi bergegas keluar ruang kuliah. Dan bukuku, hadiah darinya itu, dibawa.

Tadi malam, dalam acara jaringminar atau webinar bertajuk “Sapardi dan Literasi Kita” Kang Maman Suherman mengungkap kisah tentang pernahnya ikut kuliah Pak Sapardi. Sebagai mahasiswa beda fakultas karena Kang Maman kuliah di Kriminologi FISIP UI, kehadirannya termasuk aneh pada akhir tahun 1980-an itu. Mungkin karena itu, istilah “sontoloyo” disematkan kepadanya.

Tapi yang mengejutkanku adalah ketika Kang Maman meminta bahan kuliah dan oleh Pak Sapardi ia dipinjami buku Sosiologi Sastra itu yang semalam ditunjukkan di layar tayangan. Tanpa kuduga, pada sampul buku itu tertera kalimat bahwa buku itu “untuk Ibnu Wahyudi” yang juga mengherankan Kang Maman. Hehehe….***


(Foto dikirim oleh Maman Suherman berdasar tangkapan layar dari instagram)

25 Juli 2020

SAPARDI DAN LUKISAN

Selain menjadi dosen hingga dikukuhkan sebagai guru besar tahun 1994 dan sastrawan ternama, Sapardi Djoko Damono sesekali juga melukis. Lukisan yang dibuat cenderung abstrak dan yang disukai pun adalah lukisan-lukisan deformatif. Maka tidak mengherankan, dalam instagram almarhum, pernah ditampilkan lukisan karya seorang India yang menampilkan gambar gajah terbalik. Lukisan itu tanda mata yang diterimanya ketika almarhum ke India.

Ihwal coretan yang deformatif ini tersua juga ketika menginisiasi Jurnal Puisi. Bentuk aksara untuk “puisi” bukan diambil dari huruf Rugos yang masih populer pada 1990-an tetapi dipilih dari coretan Jeihan Sukmantoro, sahabatnya yang pelukis tersohor itu. (Dalam perjalanan, khususnya sejak terbitan tahun 2000-an, bentuk huruf untuk nama “puisi” berganti sejalan dengan kerja sama Yayasan Puisi dengan IndonesiaTera dan Bentang Budaya). Sebelumnya, ketika pemuisi kerempeng ini menugasi saya untuk membuat logo dan tulisan HISKI pada tahun 1987, beliau mewanti-wanti supaya tulisan HISKI cukup coretan dengan tangan

Dimensi deformatif ini, menurut saya, pun mengalir dalam apresiasinya terhadap musik. Menjelang akhir dekade 1980-an, beliau dan saya suka menikmati musik jazz malam-malam di rumahnya di Depok Utara. Komposisi dari The Modern Jazz Quartet, Bob James, Earl Klugh, GRP, Lee Ritenour, sampai Sadao Watanabe, sering kami apresiasi bersama dalam hening. Musik jazz beliau dan saya sukai, sebab kami menyadari akan selalu adanya improvisasi atau kejutan dalam keseharian. Suasana seperti itu kami nikmati. Ekspresi kurang nyaman sering almarhum tunjukkan ketika di jalan, misalnya, mendengar komposisi yang “menyakitkan”, entah dari pelantang suara atau dari suara pengamen. Namun, paling jauh “umpatan” yang terucap hanya “sontoloyo”. Itu pun diucapkan sambil tersenyum.
***

24 Juli 2020

DUA SASTRAWAN BEDA GENERASI

Keduanya sudah mendahului kita. Ags. Arya Dipayana (kelahiran 29 April 1961), biasa dipanggil Aji, meninggal di tengah suatu diskusi pada 1 Maret 2011 sedangkan Sapardi Djoko Damono (kelahiran 20 Maret 1940) meninggal di sebuah rumah sakit pada 19 Juli 2020. Semoga Allah SWT memberi tempat terindah kepada keduanya. Al-Fatihah.


***

______________________
Ibnu Wahyudi, sastrawan kelahiran Ampel, Boyolali, Jawa Tengah 24 Juni 1958. Mengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (d/h Fakultas Sastra) Universitas Indonesia (UI), selain itu menjadi pengajar-tamu di Jakarta International Korean School (sejak 2001), di Prasetiya Mulya Business School (sejak 2005), di Universitas Multimedia Nusantara (sejak 2009), dan di SIM University Singapura. Pendidikan S1 di bidang Sastra Indonesia Modern diselesaikan di Fakultas Sastra UI (1984). Tahun 1991-1993, mengikuti kuliah di Center for Comparative Literature and Cultural Studies, Monash University, Melbourne, Australia dan peroleh gelar MA, serta menempuh pendidikan doktor (Ilmu Susastra) di Program Pascasarjana UI. Tahun 1997-2000, menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *