Sunu Wasono *
BETIS (1)
Awak lagi malas bikin status. Tapi awak juga tak mau di lapak awak ini tak ada status. Daripada suwung, awak isi lapak ini dengan status awak dua tahun lalu yang bicara/bercerita tentang betis. Ada sedikit perbaikan. Isi sama sekali tak berubah.
***
Sering awak dengar ungkapan “Itu mah sabar tingkat dewa” untuk menunjukkan tingginya kadar kesabaran seseorang. Ada juga ungkapan “Oh, politik tingkat dewa itu” untuk menggambarkan betapa canggihnya permainan politik yang dilakukan seseorang untuk meraih kekuasaan. Dewa menjadi acuan dan metafora ketika orang ingin menggambarkan sesuatu yang luar biasa. Sesuatu itu bisa sikap, pikiran, atau tindakan. Namun, harap diketahui bahwa dalam jagat perwayangan, apa yang dilakukan dewa tidak selalu sesuai dengan atau jauh dari apa yang dibayangkan manusia.
Ternyata di dalam kehidupan para dewa, ada juga perilaku dewa yang tidak pantas untuk diteladani manusia. Misal bercinta di tempat terbuka, sudah punya istri masih punya cemceman, atau sudah disediakan bidadari cantik-cantik di kahyangan, masih cluthak: gemar ndhemeni dan doyan cewek cantik di jagat manusia. Satu contoh menarik bisa diambil dari salah satu adegan dalam kisah “Dewa Ruci”. Ketika Bima mencari tirta perwita mahening suci di gunung (sebagai syarat untuk mendengarkan kuliah Durna tentang ilmu kesempurnaan hidup), ia bertemu dua raksasa yang kelaparan. Semua binatang yang hidup di hutan, mulai dari kadal, biawak, munyuk, sampai macan, sudah habis dimangsa dua raksasa itu.
Ketika Bima datang, mereka langsung menyerangnya. Tapi Bima yang punya kuku pancanaka itu terlalu kuat bagi dua raksasa tersebut. Singkat cerita, dua raksasa dapat dibunuh Bima. Ternyata bersamaan dengan tewasnya dua raksasa itu muncullah Dewa Indra dan Dewa Bayu. Bima pun mempertanyakan keberadaan mereka di gunung. Di antaranya Bima bertanya apakah mereka kurang pekerjaan dan sudah bosan menjadi dewa sehingga keluyuran ke hutan dan gunung.
Mendapat pertanyaan yang setengah mengejek itu Indra pun menjelaskan duduk permasalahannya. Mereka menjelma raksasa dan keluyuran di hutan bukan atas kemauannya sendiri. Mereka terkena kutukan Batara Guru. Kenapa mereka dikutuk?
Panjang ceritanya. Jika awak ceritakan sekarang, bakalan tak selesai acara bersih-bersih puing hari ini. Maka awak tandai saja dulu dengan kata-kata ini: “Ana candhake” alias bersambung atawa sila baca “Betis (2)”.
BETIS (2)
Pernah mendengar dongeng tentang Ken Arok yang tersihir oleh betis Ken Dedes? Awak kira hampir semua yang mengalami masa kanak-kanak pasti mendengar dongeng itu. Lebih-lebih untuk mereka yang masa kanaknya akrab dengan ketoprak. Gara-gara kain yang menutup betis Ken Dedes tersingkap sehingga betisnya terlihat Ken Arok, anak angkat Bango Samparan itu seperti mendapat isyarat dan wisik, semacam dorongan/hasrat yang kuat, untuk merebut kursi akuwu Tumapel yang diduduki Tunggul Ametung. Di dalam hati Arok muncul keinginan untuk bersanding dengan Dedes yang konon dari betisnya memancar cahaya. Sihir betis itu akhirnya mengantarkan Arok ke kursi kekuasaan. Dengan akal liciknya Arok berhasil membunuh Ametung dengan menjadikan Kebo Ijo seolah-olah bajingan tengiknya. Begitulah, Arok mencapai apa yang diinginkan dengan mengambinghitamkan Kebo Ijo. Dedes yang dalam keadaan hamil pun jadi permaisurinya. Kelak benih Ametung di rahim Dedes itulah yang mengirim nyawa Arok ke alam lain.
Apa hubungan cerita tentang betis Dedes ini dengan kisah dua dewa (Batara Indra dan Batara Bayu) yang terkena kutukan Batara Guru sepeti yang diceritakan di bagian sebelumnya? (baca “Betis 1”).
Tentu saja tidak ada. Kenapa disampaikan? Ya suka-suka yang punya cerita. He he he. Awak teruskan saja ceritanya agar yang tak ada hubungannya itu seolah-olah ada sehingga seolah-olah memang berhubungan. Begini dulur-dulur, dua dewa yang diraksasakan (dikutuk jadi raksasa) dan dimutasikan dari kahyangan Jonggring Saloka ke hutan belantara itu tak lain karena sihir betis. Tentu saja bukan karena sihir betis Dedes, tapi sihir betis Dewi Wilutomo. Begini ceritanya.
Seperti biasa, kahyangan tiap tahun mengadakan acara peringatan berdirinya kahyangan. Hanya di malam itu peringatannya tergolong istimewa. Dibilang begitu karena peringatan itu adalah peringatan seribu tahun keberadaan kahyangan suralaya. Pestanya tentu saja besar dan dihadiri para pembesar kahyangan. Dalam peringatan itu diadakanlah pagelaran tari lenggot bowo. Para niyaga dan penarinya tentu saja para batara batari. Pengendangnya Batara Indra, penabuh gong Batara Bayu, sedangkan pemain rebabnya Dewi Saraswati dan penggerongnya (pesindennya) Dewi Wilutomo.
Tak diceritakan siapa yang memegang bonang, saron, slenthem, peking, kethuk-kenong, dan alat-alat lainnya. Hanya yang perlu ditekankan adalah bahwa Dewi Wilutomo memakai kain sutera tipis dan transparan sehingga lekuk-liku tubuhnya terlihat. Tak usah diceritakan betapa seksinya dewi itu. Sedulur tahulah metafor-metafor yang dipakai untuk menggambarkan kecantikan dan keelokan tubuh perempuan yang buah dadanya padat dan nyengkir gading itu. Kalau awak tulis juga, awak khawatir efeknya buat sampeyan, khususnya untuk sampeyan yang laki-laki. Nanti malah susah tidur dan membayangkan yang bukan-bukan. Intinya, Dewi Wilutomo menjadi magnit para undangan yang hadir, khususnya bagi grup pengrawit yang duduk berdekatan dengan Wilutomo.
Rupanya penampilan Dewi Wilutomo yang aduhai itu membuat Batara Indra dan Bayu tersihir. Saking tersihirnya, hilanglah konsentrasi Batara Indra. Kendangannya pun jadi ngawur sehingga nada gending Ketawang Anglir Mendhung tidak karuan. Tak ada lagi irama yang teratur dan serasi. Mereka kehilangan orientasi kegendingan. Jelas yang mesti dimainkan gending ketawang, tapi di benaknya malah srepeg, bahkan sampak. Celakanya suara penggerongnya juga ikut-ikutan blero. Keadaan itu makin parah ketika Batara Bayu (dewa angin) yang juga tersihir kesemlohean Dewi Wilutomo itu tak sanggup mengontrol angin yang ada pada tubuhnya. Maka bertiuplah angin kencang dari tubuhnya. Sekonyong-konyong tersingkaplah kain sutra yang melilit tubuh Dewi Wilutomo. Bersamaan dengan itu betis Wilutomo yang super indah bak batang padi yang sedang hamil itu terlihat semua yang hadir yang sejak awal sudah curi-curi pandang, termasuk Batara Guru. Spontan keluarlah serempak desah dan lenguh para undangan yang terkesan rada ngeres: ohhhh….
Bisa dibayangkan betapa kacaunya karawitan yg dipimpin Batara Indra itu. Para niyaga jadi asal pukul. Pokoknya kacau sekali, lebih kacau dari penampilan grup karawitan ibu-ibu PKK tingkat kecamatan yang baru sekali pegang gamelan dan baru diajari lancaran kebogiro dan gangsaran tapi mesti membawakan Ketawang Subakastawa atau Pangkur Jenggleng ketika menyambut kedatangan bupati. Karuan saja Batara Guru murka semurka-murkanya (wah, diksinya sepertu diksi orang-orang Pujangga Baru di masa lalu nih, yakin seyakin-yakinnya, kacau sekacau-kacaunya, klise seklise-klisenya dsb dsb). Dipanggillah Batara Indra dan Bayu yang terciduk itu. Mereka dimaki habis. (Ingat, makian tingkat dewa beda dengan makian level manusia. Sama sekali tak disebut isi bonbin. Makiannya puitis, stilistis, dan semiotis. Makanya jangan dibandingkan makian Batara Guru dengan makian pendukung capres tertentu pada capres yang dibencinya ya. Kalau tidak sanggup membayangkan tdk usah membayangkan. Nanti malah kumat migrennya. Ini cerita wayang, tidak ada sangkut-pautnya dengan Pilpres 2019 lho. Ingat tuh. Yang lagi bikin gerakan ini itu dan nyek-nyekan tentang apa saja, termasuk tentang tol, tolong dicamkan ya!).
“Kalian tahu siapa Dewi Wilutomo itu, kan?” kata Batara Guru.
Tentu saja Batara Indra dan Batara Bayu tahu bahwa Dewi Wilutomo adalah cemceman Batara Guru. Karena itu, mereka hanya mengangguk.
“Hei Bayu, kenapa kau singkap kain Wilutomo dengan anginmu? Mestinya kalian paham bahwa hanya aku yang boleh melihat betis Wilutomo. Kalian tak berhak. Juga mereka yang matanya tak pernah disekolahkan.”
Mati kutu. Nyali Indra dan Bayu mati, semati tugu, seperti bunyi salah satu sajak Chairil Anwar.
Sekadar tambahan info, Wilutomo itu putrinya Batara Narada. Ia secara resmi adalah istri Batara Brahma, tapi hampir seisi kahyangan tahu bahwa ia juga cemceman Batara Guru.
Meskipun keduanya sudah minta ampun, tak urung Batara Guru menjatuhkan sangsi. Kalau sangsinya cuma disuruh membersihkan saluran air atau menyapu sampah di pasar, tentu enteng. Mereka dikutuk jadi raksasa dan dimutasikan ke hutan belantara di sebuah gunung. Mereka menjadi raksasa selama 50 tahun dan baru terbebas ketika bertemu dengan Bima yang mencari tirta perwita mahening suci.
Gara-gara betis Wilutomo, Batara Indra dan Batara Bayu terpidana.
Pengalaman dua dewa ini membuat dalang ini (juga Bima yang lagi serius mencari air perwita mahening suci sebagai syarat untuk mengikuti kuliah yang diampu Begawan Durna) geleng-geleng kepala. Baru lihat betis orang–belum bagian atasnya yang rimbun itu dan atasnya lagi yang …. Ah, sudahlah. Kagak elok disebut-sebut–sudah dipidana. Sungguh nasib Batara Indra dan Batara Bayu berbeda dengan Ken Arok yang gara-gara melihat betis Ken Dedes malah menetas mimpinya untuk merebut takhta Ametung. Dan “sialnya” mimpi itu menjadi kenyataan meski ditebus dengan pertumpahan darah. Ternyata jadi dewa itu tak seenak yang dibayangkan. Enakan jadi manusia. Sama-sama tersihir betis efeknya berbeda. “Makanya gak usah jadi dewa. Enakan jadi manusia saja,” begitu celoteh Lek Mukidi kepada dalang. Gila Lek Mukidi, dalang pun diwulang/diwejang.
Demikianlah sekelumit kisah tentang betis yang diceritakan ulang (dengan tambahan sedikit bumbu rempah-rempah supaya tambah renyah) dari lakon “Dewa Ruci” yang dibawakan Ki Narto Sabdo. Kenapa cuplikan cerita “Dewa Ruci” setelah didongengkan kembali jadinya seperti ini awak juga kagak tahu. Jangan salahkan dalangnya. Kalau ternyata dianggap salah juga, ini awak ajukan parikan sebagai senjata pamungkas.
Santen duduhe klapa
Iwak sepat mlumpat nyang gapura
Cekap semanten atur kawula
Menawi lepat nyuwun ngapura.
***
_______________
*) Sunu Wasono lahir di Wonogiri 11 Juli 1958. Taman SMAN Wonogiri tahun 1976, S1 di Jurusan Sastra Indonesia Fak. Sastra Universitas Indonesia (UI) tahun 1985, S2 di Program Pascasarjana UI (1999), dan S3 di Program Studi Ilmu Susastra FIBUI (2015). Sejak April 1987, staf pengajar di Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI, mengampu mata kuliah Sosiologi Sastra, Pengkajian Puisi, dan Penulisan Populer. Tahun 1992 (6 bulan) menjadi dosen tamu di La Trobe University, Melbourne, Australia. Mulai Oktober 2016, menjadi Ketua Program Studi Sastra Indonesia, Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Sejak mahasiswa menulis artikel di koran. Beberapa puisinya dalam antologi Sajak-sajak 103 (1986), Kampus Hijau 2 (STAIN Press, IAIN Purwokerto), dan buletin Jejak. Buku puisinya “Jagat Lelembut,” diberi catatan Prof. Dr. Suminto Sayuti, penerbit Teras Budaya. Tulisannya berupa resensi, kritik, esai, dipublikasikan di jurnal ilmiah (Wacana, Susastra, Jurnal Kritik), dan di berbagai media massa: Suara Karya, Kompas, Pelita, Republika, Jawa Pos, Horison, Bende, Syir’ah. Bukunya yang lain Sastra Propaganda (2007). Sejumlah hasil penelitian yang dikerjakan bersama Sapardi Djoko Damono, Melani Budianta, Saini K.M., Jakob Sumardjo, dan Bakdi Sumanto, dibukukan dalam Membaca Romantisisme Indonesia (Pusat Bahasa, 2005), Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia (Pusat Bahasa, 2006), dan Absursisme dalam Sastra Indonesia (Pusat Bahasa, 2007). Karya kritiknya dimuat di buku Konstelasi Sastra (HISKI, 1990), Sastra untuk Negeriku (Museum Sumpah Pemuda, 2004), Dari Kampus ke Kamus (Prodi Indonesia FIBUI, 2005), Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern (YOI, 2003), H.B. Jassin Harga Diri Sastra Indonesia (Indonesiatera, Lingkar Mitra dan Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, 2001), Membaca Sapardi Djoko Damono (YOI, 2011), dan Mahaguru yang Bersahaja (Prodi Indonesia, 2016).
One Reply to “Cerita “Betis 1” dan “Betis 2””