CERITA TENTANG SEBUAH BUKU ANTOLOGI PUISI


Sunu Wasono *

Pada 22 Februari 1962, Pak Sapardi Djoko Damono (SDD) menulis sajak “Dalam Gerimis”. Begini bunyi sajak itu.

DALAM GERIMIS

hujan gerimis seorang diri
siapakah gerangan namanya adikku ini
berjalan tunduk ketika kota sudah mulai sepi
nampak penat sekali

siapakah gerangan namanya adikku ini
pergi sendiri waktu senja hari
menempuh gerimis dingin sekali
tanpa jas hujan apalagi topi

tentulah kupersilakan kau berteduh kemari
andaikata aku berumah di sini
tapi aduhai sayang sekali
aku pun pengembara yang hanya menepi

siapakah gerangan namanya adikku ini
tanpa jas hujan apalagi topi
hujan gerimis seorang diri
setengah sadar setengah mimpi

Sajak tersebut bersama 117 sajak lainnya dimuat di buku “Sajak-sajak Satu Nol Tiga” yang diterbitkan oleh SATU NOL TIGA pada tahun 1987. Penulis sajak sebanyak itu adalah Pak SDD (dua sajak) dan 41 penulis lainnya yang umumnya adalah mahasiswa UI. Satu Nol Tiga tidak lain adalah sebuah kamar (Kamar 103) di Asrama Daksinapati, tempat saya dan kawan-kawan bermukim.

Entah siapa yang mulai melontarkan ide menerbitkan buku puisi pada waktu itu. Yang jelas, meskipun buku itu terbit pada 1987, dua tahun sebelumnya saya dan kawan-kawan sudah mulai “berburu” naskah. Caranya, pada saat mengobrol di kantin atau di taman kami mengarahkan obrolan ke puisi. Kalau yang diajak ngobrol tertarik, kami menawari dia bergabung dalam penerbitan buku puisi. Akhirnya terkumpullah kurang lebih seratus puisi.

Sejak awal kami sudah sepakat untuk berpatungan guna membiayai penggandaannya. Dalam satu obrolan di warteg yang terletak di seberang IKIP Jakarta (sekarang UNJ) mengemukalah gagasan untuk minta pengantar kepada Pak SDD. Saya yang kebetulan adalah anak bimbing Pak SDD diserahi tanggung jawab untuk mengatur pertemuan dengan beliau.

Pada hari yang telah ditentukan kami berangkat menuju Depok untuk menemui Pak SDD. Naskah kami perlihatkan kepada Pak SDD. Saya dan kawan-kawan–tentu saja sambil guyon–menjelaskan panjang lebar rencana ke depan. Kami berjanji akan menerbitkan setiap tiga bulan sekali. Rupanya Pak SDD tertarik dengan ide dan semangat kami. Singkat kata, Pak SDD bersedia membuat Pengantar. Tak hanya itu, beliau berjanji untuk mengikutkan dua puisinya pada buku antologi yang akan terbit itu. Bukan main girangnya kami. Bayangkan, penyair besar mau memasukkan puisinya ke antologi yang penulisnya sebagian belum paham apa itu majas. “Nanti saya pilihkan puisi yang sesuai dengan puisi kalian,” katanya.

Dua minggu kemudian Pak SDD menyerahkan naskah Pengantar dan dua buah puisi. “Dalam Gerimis” itulah salah satunya. Sajak itu ditulis ketika Pak SDD masih berusia 22 tahun. Bukan main. Sajak satunya lagi, “Sonet: Tinggal Suara Jam.” Sesuai dengan namanya, sajak tersebut berbentuk soneta (14 baris) dan ditulis pada 18 Juni 1967. Ada baiknya sajak tersebut saya kutip di sini agar tidak ada yang penasaran.

SONET: TINGGAL SUARA JAM

tinggal suara jam
tak tidur jauh malam
jari-jarinya hitam menunjuk padamu:
sudah waktu

tinggal suara jam
tak tidur jauh malam
jarimu yang putih menunjuk jam itu:
jangan dulu

tinggal suara jam
dan jarinya yang hitam
merebutmu

tinggal suara jam
dan jarimu pualam
sudah kaku

Bagaimana dengan sajak-sajak kami? Bentuk dan isinya beragam. Ada sajak yang hanya sebaris. Ada juga yang panjang dan bernomor pula serta banyak tanda titik titik. Ada sajak yang terkesan eksperimental lewat tipografi. Ada puisi yang judulnya diletakkan di bawah. Jangan tanya bagaimana dengan sajak yang saya tulis. Malu rasanya saya mengatakan karena sajak saya boleh dibilang “amat sangat bagus”. Pak SDD mesem (tersenyum) saat membaca sajak-sajak kami. Entahlah apa makna senyum itu.

Kiranya perlu juga disampaikan bahwa dalam pengantarnya antara lain Pak SDD menyebut dirinya “kami”. Dia tidak menempatkan diri sebagai orang luar yang berjarak dengan para penulis puisi yang diantarkannya. Dengan menyebut “kami” Pak SDD telah menjadikan dirinya bagian dari kami: saya dan teman-teman. Dia jujur dalam menjelaskan para penulis yang mengisi buku ini. Faktanya memang di antara penulis buku ini ada yang baru menulis sekali, itu pun karena diminta editor buku ini. Pengantar Pak SDD sungguh menghibur dan memberi dorongan agar kami terus berkarya.

Setelah tiga puluh tahun lebih berlalu, saya suka tertawa sendiri kalau membaca buku ini. Terbayang bagaimana bersemangatnya pada waktu itu. Semua dikerjakan secara gotong royong. Saya membuat pengantar, Eddie Prabu membuat cover (memberi ilustrasi, menyeting, dll), yang lain mengetik, yang lainnya lagi menggoresi punggung naskah dan mengelemnya. Tak ada ISBN. Ada Daftar Isi, tapi tak ada penunjuk halaman, tak ada biodata penulis. Itu semua tak terpikir, yang terpikir cuma satu: jadi buku. Meskipun hasilnya “hanya” segini, saya menganggap tak ada yang sia-sia.

Sejak awal, kami menulis tidak terbebani oleh keinginan atau keharusan untuk menjadi penyair. Oleh karena itu, dari sekian banyak yang menulis itu, mungkin hanya Pak SDD dan beberapa orang saja yang benar-benar total di jalur penulisan puisi. Yang lain, misalnya Yanusa Nugroho malah menjadi cerpenis, M. Yusuf menjadi dosen dan sutradara, Sukardi Rinakit menjadi penasihat presiden, dan Mas Kasijanto menjadi dosen serta sejarawan. Ada juga yang jadi jurnalis, PNS, dsb.

Buku itu diterbitkan pada tahun 1987. Sebagian penulisnya: Pak SDD, Ags Aryadipayana, Gatot Wibowo, Ib, Bimo Bekti, Erwin, Wasito Aji (Jack), dan Yudi Kasturi telah menghadap Allah SWT. Kami mendoakan semoga Pak SDD dan teman-teman yang telah kami sebutkan mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT. Amin.

_______________
*) Sunu Wasono lahir di Wonogiri 11 Juli 1958. Taman SMAN Wonogiri tahun 1976, S1 di Jurusan Sastra Indonesia Fak. Sastra Universitas Indonesia (UI) tahun 1985, S2 di Program Pascasarjana UI (1999), dan S3 di Program Studi Ilmu Susastra FIBUI (2015). Sejak April 1987, staf pengajar di Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI, mengampu mata kuliah Sosiologi Sastra, Pengkajian Puisi, dan Penulisan Populer. Tahun 1992 (6 bulan) menjadi dosen tamu di La Trobe University, Melbourne, Australia. Mulai Oktober 2016, menjadi Ketua Program Studi Sastra Indonesia, Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *