Di Sebuah Lift dengan Dua Orang yang Saling Diam

Fatah Anshori *

Beberapa hari itu aku memang kerap bermimpi aneh. Aku tidak bisa menggambarkan dengan jelas. Hanya saja, kadang aku percaya mimpi datang dari apa-apa yang kerap kita pikirkan pada hari-hari tersebut. Awal April itu memang aku sedang dalam kondisi berantakan. Kepalaku seperti dibelah menjadi beberapa bagian.

Bagian pertama dari salah satu yang paling besar, adalah reputasiku di sebuah penerbit lokal sebagai tukang segalanya. Kadang-kadang penata letak, pendesain cover, dan jarang sekali sebagai editor—padahal awal mendaftar melamar ialah sebagai editor, meski juga boleh dikatakan bekalku dalam bidang itu hanya sebatas pengalaman membaca buku, naif sekali bukan. Awal bulan itu aku mungkin telah membohongi beberapa pihak termasuk diriku sendiri.

Sementara bagian kedua, adalah terkait surat kontrak sebagai karyawan sementara di sebuah rumah sakit swasta di Lamongan, yang boleh dikatakan menjadi salah satu dari dua rumah sakit terbesar di kota itu. Mereka menginginkanku bekerja di sana. Dan mau tak mau aku harus memilih salah satu dengan arif, meski kadang pilihanku juga tidak terlalu arif. Tapi pilihan adalah pilihan, aku harus memilih.

Bagian ketiga adalah bagian remeh menurut orang-orang di sekitarku yang tak tahu apa-apa tentangnya. Ia serupa api kecil dalam hidupku nyalanya selalu kupertahankan dengan gigih, sebesar apapun angin meniupnya aku akan melindunginya dengan apapun yang aku bisa saat itu. Api itu adalah kecintaanku terhadap sastra. Dalam kondisi apapun tidak ada alasan untukku untuk tidak membaca dan menulis.

Di awal April itu tiga bagian tersebut seperti sedang diaduk sehingga batas-batasnya sudah tak tampak lagi. Ketika itu tepatnya aku sedang memikirkan bagaimana cara membuat puisi dari benda-benda yang berada di sekitarku, yakni benda-benda di rumah sakit. Sementara Awal April 2020 adalah kondisi yang mencekam di rumah sakit, itu barangkali lebih menakutkan dari pada tidur di kuburan saat malam hari.

Berita-berita di media sosial—saat itu aku hanya sedang mengamati instagram. dr. Tirta berkali-kali menyuarakan pentingnya mencuci tangan dengan retorikanya yang sarkas. Dinkes Lamongan mengabarkan zona merah setiap kecamatan yang terdampak beserta jumlah penderitanya. Intinya aku berasumsi media-media itu sedang berlomba-lomba mengabarkan Pandemi Covid-19 beserta cara pencegahan, manifestasi klinis penderita, dan kematian-kematian yang mengenaskan.

Kurang lebih semua itulah yang aku yakini telah memproyeksikan mimpi-mimpi burukku di awal April, aku berada di sebuah lift dengan dua orang yang saling diam. Kepala mereka entah kenapa semakin membesar dan semakin membesar. Setiap pintu lift terbuka ada dua orang berada di depan pintu tapi membelakangi kami, kepala mereka juga sama. Mereka hanya berdiri, saat pintu terbuka mereka tidak masuk kedalam. Aku menjadi seorang yang berpikir keras saat itu, entahlah apa yang sebenarnya akan terjadi.

Setiap pagi kondisi tubuhku semakin runyam. Ingus yang serupa air mengalir, setiap beberapa detik. Kepalaku nyut-nyutan. Punggung seperti sedang diduduki dua ekor anak kambing. Dan kepalaku mengalir kemana-mana. Memikirkan ibu yang bekerja di kota sebelah yang sudah terdampak, adik perempuanku juga. Dan cepat atau lambat aku harus memilih, bekerja di penerbit lokal sebagai editor yang merangkap segalanya atau menjadi perawat sesuai studi akademik yang kujalani secara asal-asalan selama lima tahun. Meski setiap pilihan kadang tidak terlalu arif, dan aku hanya harus menjalani apa yang telah aku pilih, itu saja.
***

____________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *