DIA PERGI LEBIH CEPAT KETIMBANG SAYA

YANG SAYA SIMPAN SEBUAH CATATAN DARI TAHUN 1968:


Goenawan Mohamad

Sapardi Djoko Damono tidak menampakkan suatu ikatan kuat dengan tradisi keagamaan apapun. Demikianlah puisinya: merupakan ibadat yang personal, suatu perhubungan dengan Tuhan yang kadang-kadang tampil secara tak terduga. Jika puisi ini adalah do’a… maka do’a itu adalah semacam “Do’a” Chairil Anwar. Tuhan bukanlah masalah yang sudah selesai bagi Sapardi.

Bukan sesuatu yang mengherankan jika justru karena itu ia lebih otentik daripada penyair-penyair keagamaan dalam berbicara tentang kerinduan, dan lebih mampu untuk menghadirkan teka-teki hidup dan teka-teki kematian kepada kita. Puisinya lahir dari teka-teki tersebut, dan bukan pengabar Kitab apapun. Karena itulah ia terasa lebih gelisah dan lebih terdorong untuk berani bertanya tak putus-putusnya.

Bagian sajak-sajak Sapardi yang paling intens adalah dalam kalimat-kalimat tanyanya yang tak selesai, seperti dalam “Sonnet X”:

siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lain
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
siapa tjerna di warna ungu
siapa bernafas di detak waktu
siapa berkelebat setiap kubuka pintu
siapa mentjair di bawah pandangku
siapa terucap di tjelah kata-kataku
siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
siapa tiba mendjemput berburu siapa tiba-tiba menyibak tjadarku siapa meledak dalam diriku.
siapa Aku
— (1968)

Sajak ini adalah salah satu dari sajak yang paling orisinal dari Sapardi Djoko Damono. Kendati pertanyaan besar “siapa Aku” sering kita jumpai, dengan segala pretensi kefilsafatan ataupun ketasawufan, semacam yang banyak terkandung dalam pelbagai karya mistik Jawa, dalam sajak tersebut pertanyaan itu lebih merupakan ungkapan puncak kegelisahan di tengah misteri.

Tak ada tanda tanya sebuah pun di sana, tetapi ia tetap sesuatu yang kejang meraih-raih jawaban: baris demi baris itu tidak sekadar disusun untuk mencapai efek puitis dengan pengulangan, melainkan langkah-langkah resah yang menuju ke arah klimaks. Setiap kali langkah itu adalah pertanyaan, setiap kali langkah itu terasa kaget dan termangu: kita dengar suara keras konsonan-konsonan yang kemudian tiba-tiba tersentak, disusul oleh vokal “u” pada setiap ujung dan pertanyaan itu belum juga terjawab, hanya berakhir pada. kekosongan yang sama. Dan tanda-tanya pun akan terasa sebagai sesuatu yang berlebih. Adakah kita. sia-sia?

Barangkali.

Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono bukanlah jawaban, yang dikatakan secara verbal, jelas dan dengan perasaan yakin akan kepastian-kepastiannya sendiri. Puisi ini sebagian besarnya termangu, lahir dalam rasa terpencil, sadar bahwa segalanya toh akan “susut dari Suasana” (“Kepada lstriku”, 1967), dan peka sekali akan pergantian-pergantian yang terjadi dalam proses waktu.
***

Tulisan ini saya buat di tahun 1968, ketika kami berdua berumur 20-an. Dimuat di Horison 1968. Di bawah ini potret kami bersama Penyair Subagio Sastrowardojo. Dijumput dari fb https://www.facebook.com/goenawan.mohamad.3

One Reply to “DIA PERGI LEBIH CEPAT KETIMBANG SAYA”

Leave a Reply

Bahasa »