ISLAM ISI YANG SEHARI-HARI


Akhmad Faozi Sundoyo

“Apakah pakai busana yang bersimbolkan agama itu tidak baik, Kiai? Ampun, Kiai.”

“Jelas gak baik alias brengsek kalau kamu tidak sanggup membawa perilaku yang luhur dan mendamaikan. Karena simbol-simbol itu hanyalah berhala yang seharusnya kamu kapak sebagaimana yang dilakukan Kanjeng Ibrahim”

Demikian kutipan dari salah satu penggalan percakapan antara Kiai Sutara dengan santrinya. Siapakah Kiai Sutara ini? Kenapa kata-katanya terlihat begitu “keras”, tegas, penuh keyakinan?

Ada alasan yang sangat mendasar untuk selalu mengelak menjelaskan “siapakah Kiai Sutara”. Dasar pertama, karena saya bukanlah orang yang dekat dan mengenalnya secara detail. Semisal kedekatan saya pada bapak atau ibu, atau teman-teman ngopi yang biasa ngobrol dan berdebat sampai pagi.

Dasar kedua, karena Kiai Sutara sendiri adalah sosok yang selalu mengelak untuk menjelaskan dirinya sendiri. Lalu siapa lagi yang punya otoritas membiografikan dirinya, kalau orangnya sendiri tak bicara?

Tentang kiai yang satu ini, pembacaan atasnya hanya bisa dilakukan satu-satu, lembar perlembar. Tidak mungkin menghatamkan satu buku full tentangnya. Lalu meresume dan mereview sekenanya. Walaupun seilmiah apa pun itu. Jika harus merujuk, mungkin Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) yang sesama kiai dapat sedikit membantu. Dalam “Pesan Islam Sehari-hari” (A. Mustofa Bisri, 1999: 93), menjelaskan bahwa seorang kiai adalah simbol “warisan nabi” yang hidup di tengah masyarakat. Ada ayat-ayat Qur’ani dan nilai-nilai kesunnahan dalam setiap gerak mereka. Dari nafas, senyum, diam dan keputusan hidupnya adalah perlambang al-Qur’an dan Hadist.

Sampai di sini, saya sangat klik dengan Gus Mus. Kiai adalah warisan nabi yang hidup. Ini adalah terma yang sepaket. Menyebut sepenggalan tanpa bagian lainnya, jauh dari cukup. Kiai adalah variabel komplit dari ilmu kenabian dan laku keseharian. Ilmu kenabian saja—hafal al-Qur’an tuntas sampai lekuk coretan perlembarnya dan hafal ribuan/jutaan matan hadist—tidak cukup. Butuh ekstraksi sedemikian rupa, sehingga dalil ilmu itu merupa “laku”. Seperti saat ‘Aisyah, istri Rasul yang paling cerdas, ditanya siapa Nabi, dia jawab: Nabi adalah “al-Qur’an berjalan”.

Jadi, kiai sangat jauh kesannya dari semisal ustadz panggung atau ustadz sosial media. Hafalan dalil al-Qur’an dan Hadist, sekaligus serangkaian deretan dalil “qouli” para ulama yang nampak ndakik dan cerdas luar biasa, belum cukup membawa seseorang di-kiai-kan. Seorang motivator kadang-seringnya memang sangat meyakinkan: gestur katanya tegas, indah, rasional, dan meneduhkan. Tetapi modal itu saja, tak cukup untuk membawanya disebagaikan seorang kiai.

Kembali pada Kiai Sutara. Walaupun tidak bisa dikatakan sebagai antitesis kecenderungan budaya kulit dalam beragama. Tapi bisa dikatakan bahwa Kiai Sutara—yang dalam satu ujarnya, “popularitas itu najis bagi saya”—ini adalah kebeningan kritik terhadap fenomena kekulitan dalam beragama. Mengapa agama harus seperti buah? Ada kulit ada isi. Bagaimana bila dikatakan saja raga dan ruh, misalnya? Atau bahasa-bahasa lain yang lebih “anyles-medhuk” semisal proyeksi-esensi, idea-materia atau sein-seinde? Terserah saja. Kiai Sutara adalah kesemua itu.

Kiai Sutara adalah luapan energi yang terukur. Bukan jenis manusia lemah syahwat yang kutuk serapah lebih nyaring daripada kiprah. Tidak pula terlalu menggebu, sehingga meledak menjadi dentuman. Dalam tiap tutur katanya, Kiai Sutara mencari bungkus bahasa yang paling sesuai. Terkadang dia berdalil, lengkap dengan rujukan detil kitab dan pengarangnya. Terkadang dia hanya mengambil kiasan-kiasan perasan dari lagunya Ummi Kultsum, partitur Mozart, Bach, Bethoven, Elvi Sukaesih, keroncong, gendhing, ketoprak, wayang, lagu anak-anak, jazz, blues, apa saja. Selama kata dan makna dapat tersampaikan, baginya tak jadi soal.

Kiai Sutara jelas bukan sosok wingit yang gemar ber-kembang dan ber-dupa. Berbicara atas nama wangsit dan bisikan-bisikan serupa itu. Tetapi ketika menjelaskan tentang tradisi dan kegaiban, dia tampak sangat mengenal sampai seluk-seluk belukarnya. Tak jarang kiai ini mengutip Immanuel Kant, Descartes, Spinoza, Nietzsche, Heideggger, dan yang serupa mereka itu. Jika menurutnya penting. Aneh, pecah, waras, wajar dan penuh petuah. Sosok yang menyatu dalam diri satu orang.

Kiai Sutara tidak pernah cadel bicara topik apa pun. Intonasi dan pilihan diksinya sebegitu unik. Namun selalu dapat menautkan semua itu dengan sentrum esensi kenabian, esensi ketauhidan, esensi keislaman. Misalnya saat Kiai Sutara menjelaskan tentang hubungan politik dan agama. Mungkin hanya melalui tesis Habermas tentang Post-Sekularisme yang sedikit-sedikit dapat menafsirkan maksudnya. Agama bukan sebatas pergumulan privat non politis. Sedemikian dengan politik, ialah bukan semata keduniaan tanpa isi. Agama di masa-masa ini butuh untuk dapat mewajahkan nilai-nilai inherennya ke dalam “bahasa umum” yang bisa diterima, dikaji, diuji oleh publik mana pun. Sekalipun oleh para penganut atheisme (Budi Hardiman, 2018: 211).

Santri-santri Kiai Sutara tidak pernah tahu dari mana dia belajar politik, atau tentang para filsuf peletak dan penjaga peradaban Barat. Jelas kiai ini tidak pernah kuliah. Tapi beberapa tamunya (santri) adalah mahasiswa dan para dosen. Semuanya tidak dalam rangka sharing dan diskusi, tetapi lebih pada ndeprok meminta arahan dan nasehat kepada kiai ini. Ada lagi yang menarik. Kiai Sutara adalah seseorang yang fasih bicara “goblok”, “udhelmu”, “ndasmu”, “otak dengkul”, “jancuk”, dan sebangsa itu semua. Nafasnya teratur, halus. Padahal perokok berat. Usianya tua, namun tak rabun dan giginya masih utuh. Diksi tuturnya jelas, wajah pandangnya meneduhkan. Bahkan saat sedang berakting marah.

Terakhir. Kiai Sutara adalah tokoh utama dalam buku “Dalil Kiai Sutara”. Buku ini bukan kumpulan renungan magis. Bukan pula makalah ilmiah. Hanya kumpulan cerita-cerita tentang kisah santri gelisah yang sowan minta arahan-pencerahan pada seseorang, yang baginya adalah kiai. Fiksi atau bukan, saya kira, saya tak perlu menjawabnya.
***

Judul Buku: DALIL KIAI SUTARA
Penulis: Taufiq Wr. Hidayat
Penerbit: Pusat Studi Budaya Banyuwangi
Cetakan pertama: Juli 2020
Tebal: V+319 Hal, 14 x 20 cm
ISBN: 9-786025-352133
Harga buku: Rp. 70.000,-
(sudah termasuk ongkos kirim ke wilayah Jawa/luar Jawa menyesuaikan)
Pemesanan buku dapat menghubungi akun Facebook Idrus Efendi dan Yanuar Widodo

Link-link tulisan yang membahas Dalil Kiai Sutara:
https://sastra-indonesia.com/2020/07/kiai-sutara-saja/
https://sastra-indonesia.com/2020/07/kiai-zaman-now/
https://sastra-indonesia.com/2020/07/aku-dan-kiai-sutara/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *