Aprinus Salam *
Hidup manusia, masyarakat, bangsa, negara, dan dunia tersituasikan oleh suatu hal yang disebut sebagai tatanan simbolik. Terdapat tatanan simbolik yang secara umum berperan sebagai kesepakatan bersama. Kesepakatan tersebut bisa mengikat secara hukum, bisa tidak. Pemberlakuan kesepakatan tersebut juga berbeda-beda ruang lingkupnya, mulai dari kesepatan lebih dari dua orang hingga kesepatan antarmanusia sedunia.
Permainan jari, bunyian-bunyian tertentu, frasa verbal yang tidak lazim, bisa jadi merupakan “permainan” yang mengarah pada simbol-simbol yang hanya disepakati sejumlah orang atau hanya kolektif tertentu. Akan tetapi, bisa jadi hal itu mengikat kesepakatan yang lebih luas, misalnya mengacungkan jempol. Terdapat beberapa simbol yang mengikat antarnegara. Bendera sebuah negara akan mengikat secara moral dan hukum untuk dihormati tiap negara. Kita suci, bukan sekadar isinya, tetapi secara fisik pun kitab suci menjadi sesuatu yang simbolik sehingga harus dihormati pemeluk dan bukan pemeluk kitab suci bersangkutan.
Ada juga kesepakatan yang bersifat historis, politis, dan sosial, atau gabungan dari sifat-sifat tersebut. Kesepakatan simbolik terhadap gelar, apakah gelar bangsawan atau pendidikan, dapat dibedakan apakah itu termasuk kesepakatan historis dan politis, atau kesepakatan sosial. Berbagai kesepakatan tersebut bertebaran di lingkungan hidup kita. Tebaran itu menjadikannya semacam pasar simbolik.
Artinya, bukan sekadar ruang lingkup kesepakatan, tetapi simbol-simbol pun ada yang berperan sebagai kode-kode tertentu yang disepakati kelompok-kelompok kecil, sebagai sesuatu yang bisa bersifat hukum, bersifat ekonomis, hingga sebagai sesuatu yang bersifat sakral/suci. Pelanggaran terhadap kesepakatan simbolik mengikat dalam batasan-batasan ruang lingkup, terutama subjek-subjek yang terlibat dalam kesepatan simbolik tersebut. Di samping itu, simbol-simbol mengikat secara subjektif terkait dengan derajat profan atau sakralnya.
Penghargaan kemanusiaan terhadap subjek tertentu bergantung bagaimana subjek mendapatkan dan mengelola simbol-simbol. Ada simbol yang diturunkan sebagai warisan, seperti gelar kebangsawaan. Bisa juga karena berstatus sebagai pewaris seseorang yang memiliki kekayaan simbolik tertentu. Namun, kenyataannya, banyak simbol warisan yang semakin turun harganya karena terjadinya pergeseran tata simbolik itu sendiri. Dulu seorang bangsawan dihargai karena ia memiliki modal ekonomi yang besar. Sekarang, gelar bangsawan jika tidak didukung modal ekonomi akan kurang berharga. Modernisme dan kapiltalisme menggiring nilai ekonomi menentukan banyak hal.
Mendapatkan atau bahkan membeli gelar-gelar kesarjanaan, atau berbagai gelar lainnya, termasuk usaha untuk mendapatkan modal simbolik. Banyak orang, dalam berbagai cara, berusaha mendapatkan modal simbolik tersebut, baik dengan bekerja/belajar keras hingga dengan prosedur-prosedur di luar aturan . Perlu digarisbawahi bahwa aktivitas manusia sebenarnya dimaksudkan untuk mengakumulasi simbol-simbol tersebut agar terus membesar dan dapat dijadikan modal hidup.
Dalam perjalanannya, modal simbolik itu mungkin didapatkan secara warisan, membeli, atau karena kerja keras, sehingga sedikit banyak terakumulasi. Namun, modal simbolik itu kelak juga dimanfaatkan untuk dijual lagi, dalam transaksi yang berbeda. Ada transaksi yang bersifat ekonomi, tetapi tidak tertutup kemungkinan transaksi bersifat politik, atau transaksi bersifat simbolik itu sendiri.
Harga modal simbolik akan berbeda dalam ruang yang berbeda. Seorang doktor ekonomi akan tidak terlalu berharga di sebuah komunitas religius seperti pesantren atau di komunitas masyarakat miskin. Di pesantren, yang berharga adalah gelar Kiai Haji. Sebaliknya, di kampus, gelar Kiai Haji tidak akan cukup berharga. Di komunitas masyarakat miskin yang berharga bukan doktor ekonomi, tetapi orang kaya yang suka membagi-bagikan rezeki kepada masyarakat miskin tersebut. Pernyataan-pernyataan tersebut tentu saja tidak cukup membuat nyaman.
Memang, gelar akademik dan gelar kiai itu berbeda proses mendapatkannya. Yang pertama lebih dalam jalur formal (biasanya ada sertifikat sebagai bukti), dan yang kedua adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat atas nama pengabdian yang telah diberikan orang tersebut untuk menjadi seorang kiai. Tentu, proses untuk mendapatkan gelar kiai jauh lebih berat daripada sekadar sarjana. Di beberapa tempat, saya melihat bahwa cukup banyak orang memaksa untuk segera mendapatkan gelar haji. Setelah pulang dari Mekah, maka simbol kehajian dijadikan komoditas untuk mendapatkan imbalan dalam bentuk apapun.
Seperti layaknya sebuah pasar, begitu banyak simbol-simbol yang berdimensi “kelas” dan “status”. Walaupun sejarah penggunaan kata “kelas” dan “status” itu berbeda, tetapi dalam konteks simbolik bisa bekerja sama menentukan harga. Di sinilah permainan kuasa terjadi. Kuasa dominan, baik bersifat ekonomi maupun ideologis akan menentukan mana yang berharga dan mana yang tidak, terkait mana yang menguntungkan pemilik kekuasaan. Hal itu justru sangat dirasakan di negara bekas jajahan Barat, seperti Indonesia.
Dalam praktik kelas ataupun status, kemudian diyakini ada barang yang secara simbolik mahal/berharga dan ada yang tidak berjalan beriringan dengan harga kuantitatif barang/bendanya. Itulah sebabnya, jika sebagian di antara masyarakat membeli sesuatu bukan karena fungsinya, tetapi lebih karena aspek simboliknya. Apakah kita tidak tahu bahwa barang/benda yang kita beli itu mahal, dan kita tertipu. Tidak, kita tahu kita tertipu simbolik, dan kita terus membelinya. Ini semacam kenikmatan yang ironik.
Di antara sebagian masyarakat melakukan itu demi peningkatan modal simbolik yang perlu dimiliki. Jika tidak mampu, sebagian membeli benda palsu (istilah populer KW1, KW2, dst.), untuk memberi citra simbolik diri berkelas atau berstatus. Itulah yang terjadi, banyak di antara kita lebih menjadi diri seperti yang diharapkan orang lain, daripada yang kita harapkan pada diri kita sendiri. Perlu ada proses penyadaran-penyadaran yang lebih progresif.
***
__________________
*) Aprinus Salam, mengajar di Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM. Waktu kuliah mengambil skripsi (tahun 1992), dan tesis (tahun 2002), tentang puisi. Sedang disertasi dokternya (tahun 2010) tentang novel. Tahun 2012-2016 menjadi anggota Senat Akademik UGM. Menjadi kepala pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013. Kumpulan puisinya yang pertama Mantra Bumi, disusul Suluk Bagimu Negeri (tahun 2017). Kumpulan esainya Biarkan Dia Mati (2003) dan, Politik dan Budaya Kejahatan (2015).