Denting piano mengalun pelan. Dengan terbungkuk-bungkuk aku memasuki ruang kerjanya yang sejuk bermesin pendingin. Di dalam ruang kerjanya, di sebuah Kampus Beken itu, sebuah lukisan besar seorang filsuf menggantung gagah, sebuah nampan berisi macam-macam botol minuman anggur dan minuman ringan. Tentu saja buku-buku tua dan mengkilap berbaris rapi seperti serdadu di rak yang mengkilat.
“Mau whiskey-cola?” pak Dosen Beken itu menawari, “tapi tunggu sebentar ya, saya sedang menyelesaikan lagu ini dulu…”
Dan pak Dosen Beken itu kembali melanjutkan memainkan jari-jarinya di atas tuts-tuts keyboard, yang dilihat dari bentuknya sepertinya harganya mahal. Matanya merem melek menghayati alunan soneta entah Chopin, entah Chaikovsky, entah Beethoven yang dimainkannya itu. Entahlah.
Sementara aku diam termangu. Serba salah. Hanya mataku saja yang terus berkedip-kedip. Sesekali memelorotkan pantat di kursi membetulkan posisi duduk, khawatir aku salah duduk atau mengotori kursi yang empuk itu.
Aduh, di hadapan Dosen Beken itu aku benar-benar merasa menjadi manusia paling bodoh sedunia. Menjadi siput paling kerdil di hadapan seonggok manusia yang dikelilingi kemewahan begini rupa. Tidak nyaman sekali berlama-lama dengan kemewahan-kemewahan macam ini.
Itu dulu, tahun 2005 ketika aku meminta Dosen Beken itu menulis kata pengantar untuk sebuah buku terjemahan yang siap diterbitkan, dan sampai hari ini buku itu tidak pernah diterbitkan.
Dosen asyik dan sederhana
Di rumahnya yang sederhana tapi apik, tidak terlalu jauh dari terminal Ledeng yang bising itu, juga hanya sepelemparan batu jaraknya dari gerai JNE yang terus sibuk mengurusi buntelan-buntelan milik kaum pebisnis daring, doktor Hawe Setiawan itu tinggal.
Baru saja motor matic hitamku memasuki halaman rumahnya, Kang Hawe (begitu biasa aku menyapanya dengan panggilan ‘Akang’) menyembulkan wajahnya dari balik tirai jendela dan langsung keluar menyambutku dengan sumringah.
Seraya menyodorkan tangannya sambil mangacungkan jempolnya, Kang Hawe melengking nyaring: “Weisss, mantap mang! Hébat!” (Doktor Hawe biasa menyapa saya dengan panggilan ‘Mang’). Kami berdua lalu tertawa girang.
Aku pun dipersilahkannya masuk ke sebuah paviliun. Ruangan itu meski tidak terlampau luas tapi istimewa. Rak-rak buku menyundul langit-langit, buku-buku bertubuh lusuh dan beberapa yang masih tersegel sampul plastik menumpuk di sudut seperti berteriak minta jatah tempat di atas rak yang memang sudah sesak itu.
Demi melihat rak buku Kang Hawe, aku jadi teringat filsuf muslim, Ziauddin Sardar, yang mewasiatkan tentang bagaimana menyusun buku di rak. Rak paling atas itu harus diisi Alquran, rak berikutnya diisi kitab-kitab hadist dan tafsir, rak berikutnya kitab-kitab yang ditulis para ulama, dan seterusnya, dan seterusnya. Dan di rak buku Kang Hawe aku melihat Alquran, buku-buku hadist dan tafsir ada di rak paling atas, sementara di rak lain rupa-rupa buku berdesakan tumplek plek tidak tersusun secara kategori. Ah, sepertinya Kang Hawe ini pengikut mazhab Sardarian juga, batinku.
Aku duduk selonjoran di atas karpet sesuka-sukaku, kadang duduk bersila. Sementara mataku nyalang melihat-lihat buku. Asyik sekali. Aku lalu disuguhi sesisir pisang yang matang dan tampak menggiurkan karena siang itu aku sedang lapar. Kang Hawe juga yang membuatkan kopi tubruk, menggiling sendiri biji-biji kopi dengan mesin penggiling.
“Sok mang, bisi rék ngabako…” sekotak tembakau dan asbak disodorkannya padaku. Disulutnya sebatang udud kretek. Ah, nikmat betul.
Aih, sungguh rock ‘n roll juga pak dosen Seni Rupa dan Sastra Unpas ini. Sejatinya suasana sederhana inilah yang membebaskanku dari jerat dikotomis ‘atas – bawah’ yang membekap. Tak perlu sungkan karena sejatinya Kang Hawe adalah sosok sederhana dan rendah hati. Santai.
Dan kami pun ngalor-ngidul soal buku Roesdi Jeung Misnem. Tak terkira gembiranya Kang Hawe, sebab buku Roesdi Jeung Misnem yang terbit seabad lampau itulah, yang membuat tesis Hawe Setiawan tentang ilustrasi Roesdi Jeung Misnem diloloskan pada sidang Magister ITB.
Diselingi Kang Hawe yang sedang berdiskusi zoom webinar, ku golek-golek di karpet. Sambil mengunyah pisang, sambil baca buku, juga sambil kelepus-kelepus udud tentunya. Obrolan tentang ide-ide dan rencana menyusun sebuah buku mesti dihentikan karena gerimis mulai turun, dan aku mesti pamit pulang…
***