KEARIFAN

Taufiq Wr. Hidayat *

Dan malam itu, saya sowan ke ndalem beliau yang selalu sepi. Tak ada tivi. Tak ada radio. Beliau cukup mendengarkan radio lewat Hp jadulnya. Meski punya android, tapi android Kiai Sutara jarang aktif. Manusia ini selalu dikelilingi buku-buku dan kitab-kitab kuno.

Malam itu. Begitu tiba di rumah Kiai Sutara, gerimis turun. Lampu remang di ruang tamu. Segelas kopi kental yang pahit. Ruangan penuh asap rokok. Kiai Sutara tampak sedang memasang telinganya mendengar berita dari radio. Sepertinya berita perihal politik. Wajahnya yang keriput, songkoknya yang lapuk, tatapan matanya tajam dengan usia hampir seabad, dan sunyi. Dahinya lapang. Dan agung. Beliau tak pernah merasa repot. Jiwanya tenang. Menghafal Qur’an dan kisah-kisah ganjil Jorge Luis Borges.

“Assalamu’alaikum, Kiai,” ujar saya mengetuk pintu rumahnya yang tak tertutup. Kesendiriannya pun pecah. Daun pintu itu tak dicat. Plafon ruang tamunya jebol, genting tampak dari bawah.

“Santri goblok! Masuk!” jawab Kiai Sutara tegas. Seumur hidup, sebagai santrinya, seingat saya, beliau tidak pernah menjawab uluk salam dari saya.

“Duduk! Mau apa kamu? Lama tidak datang ke sini, apa kecantol perempuan dengkulmu, santri cengeng?”

“Ampun, Kiai. Tidak, Kiai.”

Saya menyalami beliau. Mencium tangannya yang kasar. Saya duduk. Dan tidak hendak banyak bertanya, kuatir disuruh makan asbak, atau dilempar sendal.

“Mau kopi, bikin sendiri, blok. Goblok!”

“Sendiko, Kiai.”

Kiai Sutara memutar musik Sidney Bechet dari Mp3-nya. Dinyalakan kembali rokok Dji Sam Soe-nya. Dihisap dalam-dalam dan mantap. Kiai ini tidak pernah menyimpan keraguan dalam hidupnya.

“Dengar baik-baik, santri gendheng! Barangsiapa yang mengatakan agama terkait dengan politik, itu orang goblok,” ujar Kiai Sutara. Kedua matanya menatap genting lewat plafon di ruang tamunya yang jebol itu.

“Berarti agama tidak terkait dengan politik, Kiai?” kata saya menanggapi dawuh beliau.

“Dan orang yang mengira agama tidak terkait dengan politik, seperti kamu ini. Sama gobloknya!”

“Ampun, Kiai. Mbok dijelaskan, Kiai.”

“Berapa ribu kali saya harus menjelaskan pengertian-pengertian pada santri semprul kayak kamu? Seribu kali saya menjelaskan, seribu kali itu pula kau tambah tidak mengerti. Apa namanya kalau bukan jancuk?!”

“Tapi seringkali penjelasan Kiai memang bikin saya bingung lho, Kiai.”

“Woooh… Santri kurang ajar! Sekali lagi kamu membantah tanpa argumentasi, ‘tak wuantem asbak endasmu’. Saya tidak menerima bantahan, jika bantahan itu ngawur gak pakai ilmu! Bisamu cuma beretorika. Retorika gombal! Kerjaan orang gak jelas!”

Saya diam. Sebagai santri tidak boleh bersikap tidak sopan sama kiai. Apalagi dulu orangtua saya sudah berpesan kepada Kiai Sutara, supaya saya diapakan saja tidak masalah. Ini sikap santri. Dan sikap ini adalah sikap dalam. Yang tidak santri, tentu tidak perlu begitu.

“Agama yang formal itu tidak ada sangkut pautnya dengan politik praktis. Tetapi nilai-nilai keagamaan selalu terkait dengan apa pun, termasuk politik yang praktis. Ialah kejujuran, keadilan, kepatuhan pada hukum, dan ‘sak piturutane’. Qur’an itu “hudal lin naas”, petunjuk bagi manusia. Dan manusia itu kulitnya macam-macam. Budaya, tradisi, dan agamanya macam-macam. Kamu harus dapat membuktikan klaim Qur’an itu. Kalau “sikap Qur’ani” yang kau lakukan itu tidak cocok bagi manusia, maka yang harus diperiksa adalah otakmu dalam memahami dan melaksanakan “akhlaq Qur’ani” sebagaimana diteladankan Kanjeng Rosul. Sama kucingmu saja kamu gak cocok, apalagi sama tetanggamu. Ke mana-mana kamu mengaku ahli agama, pakai busana bersimbol agama, kayak bakul! Tapi menebar kebencian, fitnah, kecurigaan. Manusia cap apa kamu?!”

“Apakah pakai busana yang bersimbolkan agama itu tidak baik, Kiai? Ampun, Kiai.”

“Jelas gak baik alias brengsek kalau kamu tidak sanggup membawa perilaku yang luhur dan mendamaikan. Karena simbol-sombol itu hanyalah berhala yang seharusnya kamu kapak sebagaimana yang dilakukan Kanjeng Ibrahim.”

“Kamu lihat itu orang-orang melakukan ibadah formal, tapi dia gagal mengenali dirinya, gagal mengenali sekitarnya. Ibadah formal itu penting, tapi jangan kau abaikan akhlaq kemanusiaan yang lebih penting sebagai cermin kemuliaan dari nilai-nilai ibadah-ibadah formalmu itu. Buat apa kamu jauh-jauh, jika kamu masih melihat orang-orang menderita di sekitarmu? Tuhan tidak akan mengenali manusia yang tak berhikmat pada penderitaan sesamanya. Padang Arafah itu adalah “padang pengenalan”, Tuhan akan mengenali hamba-Nya, yang meski sebelum secara formal berada di padang itu namun telah berhikmat pada penderitaan sesamanya, setidaknya tetangga atau orang yang “qurub” (dekat) dengannya. Siapa yang mengenali kemanusiaan, dialah yang tiba pada kearifan. Itu kiranya yang melandasi al-Jabiri menyusun kritiknya terhadap nalar Bahasa Arab. “Khatibin-nasa ‘ala qadri uqulihim,” ujar Rosul, struktur dan kehidupan tiap-tiap orang yang beranekaragam. “Arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifatan”. Agama itu menegur ke dalam. Kalau tidak, buat apa kamu beragama jika agamamu hanyalah mengutuk-ngutuk, dimanfaatkan kepentingan politik praktis, cuma simbol dan rekreasi-rekreasi, tanpa pengenalan, pengertian dan kejujuran, tanpa sikap luhur kemanusiaan yang saling menyelamatkan dan mengentaskan?”

“Ampun, Kiai. Apakah ini penting, Kiai?”

“Bukan lagi penting. Tapi inti. Utama. Ingat, santri dengkul! Kalau masih kau anggap penting segala yang tampak oleh matamu, berarti hatimu mati. Apa yang tampak hanyalah sebentuk jalan untuk mengenali, bukan jalan untuk menguasai. Tauhid itu mengutuhkan. Bukan menceraikan antara luar dan dalam. Ia di luar. Tetapi ia juga di dalam. Bukan memisahkan. Tetapi membedakan. Mana roti, mana tai. Tahu diri. Kalau tidak mengerti, jangan sok ngerti. Tahu diri. Memahami fungsi kemanusiaannya.”

“Sendiko, Kiai.”

“Kepatuhan kepadaku sebagai kiaimu itu tidak penting. Yang terpenting kamu memahami ilmu yang kau dapatkan, memakainya dalam kehidupanmu sehari-hari. Tidak perlu ngaku-ngaku beragama, tapi dusta. Tidak perlu menyuruh orang shalat!”

“Lho apa tidak boleh menyuruh orang shalat, Kiai?”

“Tidak boleh! Orang shalat, kamu suruh beli rokok ke warung. Itu salah! Tunggu sampai shalatnya selesai, baru kau suruh dia jalan ke warung! Hahaha… Santri edian!”

Kiai sutara tertawa kepingkel-pingkel. Sementara musik “Si Tu Vois Ma Mère”nya Sidney Bechet mengalun sahdu dari pemutar Mp3-nya. Gerimis perlahan pun menepi.
***

Dalam almari ingatan Kiai Sutara tersimpan ribuan teks Arab dan Jawa. Teks-teks kuno. Dalil-dalil filsafat. Aneka film. Sastra. Juga tubuh-tubuh yang tiba dengan segala kepolosannya.

Pikiran dan jiwa yang ditempa waktu. Kedalaman tak terjelaskan. Akan Tetapi memandang dunia, kaidah, peristiwa dengan sederhana. Ia mendidik santrinya dengan ungkapan-ungkapan makian khas Jawatimuran. Namun bertutur halus pada orang lain. Pendapatnya ia pertanggungjawabkan dengan kaidah-kaidah ilmu agama yang luas dan kaya. Kiai Sutara akan meladeni dialektika keilmuan walau ke lubang semut sekalipun.

“Agama itu perbuatan. Ritual-ritual agama bukan agama itu sendiri. Apa kamu pikir masjid itu agama? Apa kamu kira kegiatan keagamaan macam dakwah itu agama? Bukan! Itu hanyalah bentuk dan identitas agama. Bukan agama itu sendiri!”

“Agama adalah orang yang bersujud di masjid, tapi membawa perilaku mulia bagaikan sujud dalam kehidupannya sehari-hari. Perilakunya yang sembahyang, bukan belaka gerak tubuhnya. Tidak seperti kamu! Sembahyang di masjid, sajadah dan sorban kamu bawa pulang. Tapi sembahyangnya kamu tinggalkan di masjid. Sehingga begitu tiba di rumah, tiba di tengah kehidupan, kamu menipu, membenci tetanggamu, mencaci agama orang lain, mengutuk atau mengkafirkan saudaramu. Perilakumu tidak sembahyang!”

“Padahal jelas sembahyang menjauhkan dari kekejian. Tapi kenapa kamu keji meski rajin sembahyang? Itu karena yang sembahyang hanyalah gerak tubuhmu. Tapi gerak atau perilaku hidupmu, otak dan hatimu, tradisi dan sikap hidupmu tidak sembahyang.”

“Agama adalah perilaku mulia seseorang, bukan nama orang. Nama boleh bagus, tapi perbuatan bejat. Apa gunanya sebuah nama? Apa gunanya punya agama jika kamu gemar membenci, menghujat, bahkan menghakimi orang lain yang berbeda dengan kamu?”

“Ampun, Kiai,” ujar saya takzim. Sebagai santri, saya wajib mendengar dengan patuh.

“Kalau agama kamu jadikan alasan merusak nilai-nilai kebersamaan, bukan agamamu yang harus diperiksa. Tapi otakmu yang perlu diperiksa! Jangan-jangan otakmu otak jahiliyah.”

“Ampun, Kiai.”

“Memang kamu santriku yang goblok! Yang bisa kamu ucapkan hanya “ampun, kiai-ampun, kiai”. Sontoloyo! Ayo bilang ampun lagi, saya suruh makan rumput!”

“Sendiko, Kiai.” Saya menunduk semakin dalam.

Apa yang dapat saya lakukan tak lain takzim di hadapan kiai saya. Itu perilaku santri. Sebagai santri, “su’ul adab” (berdosa dan berperilaku tanpa adab ilmu) jika berlaku tak sopan di hadapan kiai. Apalagi kiai yang memiliki kekokohan hidup dengan nilai-nilai ilmu, mengayomi siapa pun. Dan menolak untuk dikenal atau memperkenalkan diri. “Popularitas itu najis bagi saya,” ujar Kiai Sutara pada suatu ketika.

“Kamu lihat itu orang-orang yang menjadikan agama sebagai alat politik, bisnis, dan kebencian. Jangan kamu periksa agamanya. Tapi periksa otaknya! Orang yang otaknya jahiliyah, apa pun agamanya ya perilakunya kayak Abu Jahal alias buapaknya kejahilan. Hidupnya hanya berpikir menjahili dan memusuhi orang lain. Kamu contohnya!” ujar Kiai Sutara.

“Duh ampun, Kiai.”

“Guoblok!”

Saya menundukkan kepala dalam-dalam. Kiai Sutara menyalakan kretek. Asap tebal memenuhi ruangan. Diteguknya kopi pahit.

“Kalau perilakumu cuma urusan perut, simbol-simbol agama, atau kebencian dan pertengkaran, itu jahiliyah namanya! Belum manusia. Tidak ada ketololan beragama, karena agama bermakna ketundukan dengan kesadaran dan ilmu. Budaya dan peradabanmu tunduk, angkara dan keakuanmu tunduk, jiwa dan ragamu tunduk. Tunduk pada nilai-nilai kehidupan, kasih-sayang, dan penjagaan. Bukan menyerah pada keadaan yang mengingkari kehidupan bersama atau kalah di kaki nasib yang merusak nilai-nilai kasih-sayang. Jadi kalau ada yang ngaku beragama, walaupun pakai sorban atau pakai topi, tapi merusak nilai-nilai kasih-sayang dan penjagaan terhadap kemanusiaan, maka agamanya adalah bohong! Kejahilan itu susah menerima, bahkan menolak kebenaran. Kenapa? Ya karena belum jadi manusia! Punya kuping, tapi budeg dari jeritan penderitaan. Punya mata, tapi tak dapat melihat kebenaran, tak dapat memandang segala perbedaan dengan cinta dan kasih-sayang. Picek! Yang belum jadi manusia itu kalau masih saja mengganggu ketenteraman, tegakkan aturan tegas padanya atau dilempar saja pakai asbak! Hahaha…” Kiai Sutara tertawa lepas, badannya terguncang-guncang.
***

“Tuhan sakit, kenapa tidak kalian jenguk? Tuhan menderita, kenapa tak kalian entaskan? Itu pertanyaan dalam sebuah hadist qudsi,” kata Kiai Sutara.

“Ampun, Kiai. Bukankah Tuhan mahakuasa, kenapa Dia mengalami sakit dan menderita?” tanya saya.

“Guoblok! Itu akibat belajar agama setengah-setengah sudah merasa jago mengkafirkan keimanan atau membid’ahkan perilaku orang lain. Kalau Tuhan tak mungkin sakit atau menderita, apakah manusia tak mungkin sakit dan menderita?”

“Ampun. Pastilah manusia mengalami sakit dan penderitaan, Kiai.”

“Maka jenguk dan entaskan rasa sakit dan penderitaan manusia itu. Karena sesungguhnya yang sakit dan menderita adalah Tuhan juga. Kenapa? Karena kalau kamu bikin rumah, kamu membutuhkan bahan-bahan untuk membangun rumah dari orang lain atau makhluk lain. Nah kalau Tuhan bikin manusia, apakah Dia harus pesan tulang ratusan ton sebagai bahan bagi-Nya untuk menciptakan manusia?”

“Jelas tidak, Kiai.”

“Lalu dari mana bahan yang Tuhan dapat?”

“Dari diri-Nya sendiri, Kiai.”

“Nah kalau makhluk sakit dan menderita, “bahan” dan milik siapa yang sakit dan menderita itu?”

“Tuhan sendiri, Kiai.”

“Sekarang encer kepalamu sebelum kulempar sandal! Bagus! Itulah pengertian paling mudah dari apa yang disebut al-Ghazali sebagai “takhallaqu bi akhlaqillahi ‘ala taqatil basyariyah”, yaitu berperilaku sebagaimana perilaku Tuhan dengan memupuk cinta atau kemanusiaan (basyariyah) yang merupakan bukti nyata bahwa kamu adalah makhluk, seorang hamba. Hamba-Nya yang menghamba pada-Nya ialah yang berkhidmat pada penderitaan sesamamu; mengentaskan derita atau meredakan rasa sakit. Bukan berbangga lantaran sudah nyaman, tapi munafik. Memusuhi saudaramu sendiri yang kritis dan mengingatkan. Padahal Kanjeng Nabi mengajarkan mencintai meski itu adalah musuh. Kamu khotbahkan kesederhanaan, tapi pamer kekayaan, pamer istri empat kayak germo! Ayo mau bilang apa kamu? Antem asbak bocor kepalamu!”

“Ampun, Kiai.”

Tembokrejo, 2018-2020

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »