Keteguhan ateistik dalam pemikiran Nietzsche menjadi sejenis “agama” tersendiri, seperti iman kepada tak adanya Tuhan. Demikian yang saya pahami ketika awal kali mengenal pemikiran Nietzsche pada 1996 — dua puluh empat tahun silam.
Pada masa hidup Nietzsche, abad XIX, ateisme sudah tak baru dan bukan tabu. Isu ateisme Nietzsche bukan hal terpenting dan utama, apalagi satu-satunya, dalam pemikirannya. Sungguh pun demikian yang dituduhkan kepadanya, Nietzsche menghembuskan ateisme yang kompleks, suatu ateisme yang kreatif. Dan bahasa tulis Nietzsche penuh ledakan sastrawi di sana-sini dan ini memberi pukauan yang tak terduga. Sesekali saya mencoba membacanya dalam bahasa Jerman, bahasa-ibu Nietzsche, lewat bantuan kamus dan kursus bahasa yang pernah singkat saya jalani.
Nietzsche bukan hanya tak percaya kepada adanya Tuhan. Dia lahir dari keluarga santri Lutheran. Ayah dan kakeknya adalah ulama gereja. Namun baginya di kemudian hari, orang Kristen hanya satu dan sudah mati di tiang salib. Tentu ini sebuah kritik yang serius mengenai Yesus historis dan iman Kristen.
Kenapa manusia butuh percaya ini atau itu? Manusia adalah kepingan-kepingan yang terserak, dan ini menggelisahkan, dan yang bisa merekatkan kepingan-kepingan itu sehingga membuatnya tenang adalah kepercayaan. Juga kepercayaan kepada adanya Tuhan.
Ada pijakan atau tendensi psikologis dalam pemikiran Nietzsche. Ia mencurigai faktor psikis yang mendorong atau mengarahkan tindakan dan pemikiran seseorang. Juga faktor fisiologis. Ia membahas Sokrates yang buruk rupa. Monstrum in fronte, monstrum in anima, katanya. Tampangmu buruk begitu juga jiwamu — demikian kira-kira terjemahan bebasnya.
Ada semangat pemberontakan yang rasional dan instingtif dalam pemikiran Nietzsche. Bukan hanya perkara Tuhan dan Kristen. Sokrates dan musik hadir dalam perenungannya yang tajam, sinis dan brutal. Ia seakan membawakan suara ketidakmungkinan seperti ketika kita tak punya tangga maka kita mesti memanjat kepala kita sendiri.
Bagi Nietzsche, manusia harus dilampaui. Kenapa dan bagaimana? Ini tentu serupa utopia. Manusia terletak di antara binatang dan adi-manusia (ubermensch) merupakan perumusan yang semena-mena meski menarik tampaknya. Namun demikian Nietzsche terus-terang mengaku anti-Darwinian.
Pemikiran Nietzsche akan membawa dan mempertemukan kita dengan filsafat para filosof sebelumnya dan membuat kita bisa merasakan getaran bahwa filsafat sesudahnya terilhami oleh pemikirannya.
Moralitas adalah pergulatan yang keras dalam perenungan Nietzsche. Ia berbicara bukan tentang yang tak bermoral. Nietzsche bukan tak bermoral. Ia ingin melampaui morak “baik-buruk” dan hendak mencari pedoman moral yang lain.
Saya sering merinding membaca tulisan Nietzsche. Banyak sekali sejenis pamflet filosofisnya yang agresif terhadap moral “baik-buruk”. Hentakan-hentakan pemikiran dan bahasanya sekeras gedoran di pintu yang tertutup.
Saya bukan filosof. Pengalaman pembacaan dari tahun ke tahun di hadapan teks Nietzsche membuat saya memiliki kenangan atas itu semua. Puisi adalah medium saya yang paling dekat merekam semua itu.
Dan buku ini adalah sebagian jejaknya.
***
*) Penyair, tinggal di Pesantren Darul Ulum, Jombang Jawa Timur.