Banyak guru menulis kitab, dan mewariskannya kepada para murid; dan jika beruntung, kitab itu dicetak dan khalayak luas dapat ikut menikmatinya. Ustaz Umbu (sebutan Cak Nun)– di luar puisi, tentu (itu pun tak diterbitkan)– tidak menulis kitab meski banyak orang menganggapnya guru.
Tapi sebenarnya ada yang menarik dari sisi ini. Harfiah, ia memang tak menulis kitab, tapi secara simbolik ia merancang kitab, menukil tarikh, membubuhi tajuk. Setidaknya itu yang saya maknai secara pribadi, dan belakangan makin coba saya hayati.
Saat membongkar berkas-berkas, saya temukan “kitab-kitab” rancangan Umbu dimaksud. Ada tiga manuskrip yang saya temukan, dari lebih lima atau enam yang pernah saya terima. Sejatinya itu manuskrip kosong, berupa sisa-sisa potongan kertas bookpaper cetakan Bali Post yang ia kumpulkan, ia sampul dan jilid. Nah, disampul inilah ia membubuhkan tarikh, tajuk, istilah/kata khas dia, nama dan tanggal lahir seseorang, target, dan mungkin juga konsep-konsep.
Umbu akan memberikannya kepada seseorang yang ia tentukan sendiri, baik sebagai kado ulang tahun, hadiah untuk momen tertentu maupun sebagai tantangan. Tugas si penerimalah yang mengisi kertas kosong itu!
Saya bersyukur menerima manuskrip kitab kosong dari beliau, dan alhamdulillah saya isi penuh coretan. Meski isi yang saya torehkan tetap tak layak dianggap kitab-yang-tak lagi kosong, namun saya merasa beruntung bisa menulis di balik cover yang penuh coretan konsep Ustaz Umbu.
Banyak puisi saya, juga cerpen dan artikel, yang dipublikasikan media atau diterbitkan jadi buku berasal dari sini. Tapi lebih banyak lagi yang tidak terpublikasi, baik karena terbengkalai, atau belum dipilih. Beberapa saya comot kembali, seperti yang dimuat Kedaulatan Rakyat hari ini, dan beberapa coba saya garap ulang.
Melengkapi rindu saya pada Bung Umbu, saya sertakan dua puisi dari manuskrip itu, saya salin mendekati aslinya; juga karena saya merindukan dua sahabat seperguruan itu.
NASIB
– riki
Tiap sebentar aku terbangun
Dilecut angin kecut
Hilanglah mimpi
Terbanglah pipit rumpun padi
menjenguk nasib yang terbanting
tidur tak pejam semalam-malam
tangis itu juga
yang diangan
di mana engkau, aku merindu
rupa dihisap awan bunting
datanglah guntur dari langit
melerai pelukan pahit
engkau dan aku
sepantun kabut
menyeret nasib
ke jurang-jurang
musim cerai. Di simpang jalan
engkau kukenang
sepasang lengan biru
memeluk lagi malam-malamku.
SAKENAN
– jengki
Tidak, wayan, aku tidak pernah melupakanmu
Dan kau tak akan pernah melupakanku.
Aku sering klangenan
Pada manis jalan kita
Sepanjang by pass yang membelah
Paru bakau, gubuk ladang garam
Dan rawa payau.
Sementara motor tuamu meronta
Seperti tereompah bututku
Membawa kita laju sebisanya
Angin mengibaskan aroma suka cita sepasang penyair
Dari jaket kumalmu dan baju cukaku
Juga rambut dan saku kita yang berpasir.
Kita berjanji untuk tak saling melepaskan
Di jalanan langsir
Kaum gelandangan.
Ke sakenan, wayan, ke sakenan. Jukung pun
laju di hijau bakau
seperti kulit labu terapung menyeberangi pulau
Sesekali bijian bakau jatuh
gemertak bijinya nyemplung ke air
Sebiji lagi puisi tumbuh
Di air payau.
Rinduku mengental seperti gelas kopi
Yang kuteguk di serambi Bantul.
Wayan, adakah yang paham
apa yang kita rasakan?
Lebih dari umbul-umbul
Cemasku dan cemasmu memintal ujung awan.
***
03 Juli 2020 Yogyakarta.
Istimewa dan ada keharuan yg tak terpermanai. Tabik, bang.