Sunu Wasono *
Kalau boleh berterus terang, Lik Mukidi adalah orang pertama yang mempersoalkan kesukaan awak memosting cerita wayang di lapak awak ini. Dialah yang mempertanyakan kegunaan tulisan awak di dalam konteks kehidupan yang teramat “maju” ini. Tapi karena dasarnya suka, awak tetap saja menorehkan semacam catatan, entah berupa celoteh atau penulisan cerita dengan tambahan rempah-rempah sekadarnya, setelah mendengarkan pertunjukan wayang dalang favorit awak, Ki Narto Sabdo, di youtube.
Aneh bin ajaib, Lik Mukidi yang semula memperlihatkan sikap negatif pada kesukaan awak, kini mengikuti jejak awak.
“Kapan kita nobar kiprah Ki Narto Sabdo?” tanyanya pada suatu senja yang basah.
“Lik Mukidi mau dan masih kuat begadang?” awak balik bertanya.
“Jangan meremehkan begitu. Mukidi paling tak suka diperlakukan begitu. Mau minta ampun, gak?” ancamnya.
Hadeeuh. Belum mulai, sudah marah duluan, gumam awak dalam hati. Awak dipaksa minta ampun segala, seakan-akan awak ini telah membuat kesalahan besar. Tak ada pretensi lain ketika awak bertanya begitu. Lik Mukidi tak bisa dibilang muda lagi sehingga kalau harus begadang, secara medis berbahaya. Itu saja. Tapi pertanyaan awak ditafsirkan lain. Awak dikiranya meragukan kesanggupan dia. Dia pikir awak mengejek, padahal awak justru mengkhawatirkannya. Kekhawatiran itu bukannya ditanggapi sebagai perhatian, tapi malah dianggapnya ejekan. Sudahlah, gumamku dalam hati. Daripada buang-buang energi awak menuruti kemauan Lik Mukidi saja. Awak pun minta ampun kepadanya.
Rupanya persoalan tak selesai hanya dengan permohonan maaf. Ketika menentukan lakon apa yang akan didengarkan bersama-sama, sesekali Lik Mukidi masih memperlihatkan kekesalannya. “Tahu nggak kenapa aku ingin ikut mendengarkan pertunjukan wayang. Aku bukan semata-mata mencari hiburan. Lebih dari sekadar itu. Camkan, ya.”
“Apa itu, Lik?” tanya awak. Sesungguhnya ini pertanyaan tolol. Mestinya awak diam saja agar dia melanjutkan “pidatonya” sendiri. Dengan bertanya begitu, awak seperti menyiramkan bensin pada kobaran api. Tapi nasi telah menjadi bubur. Percuma disesali.
Tak ada yang dilakukan kecuali siap menerima semburan yang lebih memedihkan lagi dari Lik Mukidi.
“Aku ikut mendengarkan agar bisa memberikan tuntunan yang sesuai untukmu. Kenapa? Sudah bisa dibayangkan, kau pasti hanya tertarik pada yang lahiriah. Kau tak akan bisa menangkap esensi atau hakikat dari tiap adegan. Di situ ada ginem (dialog), suluk (nyanyian dalang dalam melukiskan suasana), narasi, cempala, bunyi kecrek, dll. Aku ingin menuntun agar kau bisa memahami dengan baik dan benar. Setiap lakon ada filosopinya. Pengetahuan dan nalar kau belum sampai, kau belum mampu membaca dan menggapai maksud di balik sesuatu yang tersaji. Kau masih terlalu belia untuk menangkap makna cerita.”
Masih banyak lagi yang disampaikan Lik Mukidi. Dia jelaskan apa makna kayon, lampu, dan mantra yang diucapkan dalang sebelum mulai pertunjukan. Dalam pertunjukan wayang, katanya waktu harus diperhatikan. Waktu menunjukkan pathet atau sebaliknya. Soal estetika pedalangan dia jelaskan juga. “Dalam pedalangan ada pakem, ada estetika. Dalang tidak asal mendalang. Kau pasti tidak tahu tentang itu. Kau pasti masih seperti anak-anak yang senang nonton di dekat kotak wayang. Kalau banyak adegan perangnya, dikatakan bagus dan ramai. Kau akan kecewa kalau tokoh idola kau kalah dalam perang. Kau akan lebih kecewa lagi kalau tak dilempar jadah niyaganya saat perut kau mulai keroncongan, sementara uang sangu dari orang tua yang tak seberapa itu sudah kauhabiskan untuk bermain dadu. Iya apa iya?”
Awak jawab saja iya sebab kata-kata Lik Mukidi ada benarnya. Tapi itu dulu, dulu sekali. Begitulah kelakuan Lik Mukidi. Terlalu panjang kalau awak kutip semua kata-katanya. Satu hal jadi pegangan awak dalam menghadapi Lik Mukidi: sabar. Seperti biasanya, awak tak mau larut dalam perbantahan. Awak iyakan saja semua yang disampaikan agar topik pembicaraan beralih ke soal lain. Setelah semua kata-katanya awak amini, tibalah waktunya untuk memilih lakon (cerita) yang akan ditonton. Di sini awak terlibat perdebatan lagi dengan Lik Mukidi. Supaya relevan dengan apa yang pernah awak tulis, awak mengajukan lakon yg masih terkait dengan kisah Baratayuda, sementara Lik Mukidi memilih lakon-lakon dari episode Ramayana. Dia ajukan lakon “Anoman Obong”, “Rama Tambak”, dan sejumlah cerita lainnya.
Setelah menghabiskan empat gelas kopi luwak, sepiring singkong kaniyem rebus, dan sepiring rondo royal, akhirnya disepakati lakon yang dipilih adalah “Lenga Tala” (“Minyak Tala”). Karena awak sudah pernah nonton, awak ceritakan garis besar cerita ini kepada Lik Mukidi. Rupanya Lik Mukidi tertarik dengan “bualan” awak. Lebih-lebih setelah awak singgung sedikit tentang percintaan widodari dengan manusia yang sedikit banyak masih ada kaitannya dengan cerita “Betis 1” dan “Betis 2”, Lik Mukidi tambah bersemangat. Namun, dengan menyesal awak katakan cerita itu belum bisa awak sampaikan sekarang meskipun awak sudah dua kali mendengarkan. Telah dicapai kesepakatan dengan Lik Mukidi bahwa cerita “Lenga Tala” baru bisa ditulis di lapak ini setelah kami–awak dan Lik Mukidi–nobar. Rencananya malam ini kami nobar. Moga-moga Lik Mukidi tidak berubah pikiran. (bersambung)
***
_______________
*) Sunu Wasono lahir di Wonogiri 11 Juli 1958. Taman SMAN Wonogiri tahun 1976, S1 di Jurusan Sastra Indonesia Fak. Sastra Universitas Indonesia (UI) tahun 1985, S2 di Program Pascasarjana UI (1999), dan S3 di Program Studi Ilmu Susastra FIBUI (2015). Sejak April 1987, staf pengajar di Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI, mengampu mata kuliah Sosiologi Sastra, Pengkajian Puisi, dan Penulisan Populer. Tahun 1992 (6 bulan) menjadi dosen tamu di La Trobe University, Melbourne, Australia. Mulai Oktober 2016, menjadi Ketua Program Studi Sastra Indonesia, Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Sejak mahasiswa menulis artikel di koran. Beberapa puisinya dalam antologi Sajak-sajak 103 (1986), Kampus Hijau 2 (STAIN Press, IAIN Purwokerto), dan buletin Jejak. Buku puisinya “Jagat Lelembut,” diberi catatan Prof. Dr. Suminto Sayuti, penerbit Teras Budaya. Tulisannya berupa resensi, kritik, esai, dipublikasikan di jurnal ilmiah (Wacana, Susastra, Jurnal Kritik), dan di berbagai media massa: Suara Karya, Kompas, Pelita, Republika, Jawa Pos, Horison, Bende, Syir’ah. Bukunya yang lain Sastra Propaganda (2007). Sejumlah hasil penelitian yang dikerjakan bersama Sapardi Djoko Damono, Melani Budianta, Saini K.M., Jakob Sumardjo, dan Bakdi Sumanto, dibukukan dalam Membaca Romantisisme Indonesia (Pusat Bahasa, 2005), Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia (Pusat Bahasa, 2006), dan Absursisme dalam Sastra Indonesia (Pusat Bahasa, 2007). Karya kritiknya dimuat di buku Konstelasi Sastra (HISKI, 1990), Sastra untuk Negeriku (Museum Sumpah Pemuda, 2004), Dari Kampus ke Kamus (Prodi Indonesia FIBUI, 2005), Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern (YOI, 2003), H.B. Jassin Harga Diri Sastra Indonesia (Indonesiatera, Lingkar Mitra dan Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, 2001), Membaca Sapardi Djoko Damono (YOI, 2011), dan Mahaguru yang Bersahaja (Prodi Indonesia, 2016).
One Reply to “LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (1)”