LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (13-17)

Sunu Wasono

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (13)

Kumbayana berdiri. Dikencangkannya ikatan selendang yang melilit di pundaknya agar tak mudah lepas. Dilihatnya putranya masih terlelap. “Anak yang ganteng dan tahu perasaan bapaknya. Baik benar Nak kamu. Tidak rewel. Anteng. Gemes aku. Ayo Nak kita lanjutkan perjalanan. Semoga kita mendapat pertolongan,” kata Bambang Kumbayana kepada anaknya. Tak menoleh ke kanan-kiri, Bambang Kumbayana jalan lurus terus sesuai dengan pesan istrinya.

Entah sudah berupa puluh desa ia lewati. Namun, sebegitu jauh ia belum tahu hendak ke mana. Ketika melewati desa, ada saja orang yang bersimpati kepadanya. Mereka memberikan makanan apa saja sehingga dia dan anaknya tak kelaparan. Untuk Haswatama, diberi makan pisang yang matang di pohon. Orang-orang kampung itu sungguh tulus. Apa saja yang mereka punya ditawarkan dan diberikan kepada Bambang Kumbayana tanpa syarat apa pun.

Ketika Bambang Kumbayana berteduh di pos jaga karena gerimis, ia terkantuk-kantuk. Disandarkannya tubuhnya ke gedek (dinding). Ia menarik napas, lalu menyelonjorkan kedua kakinya guna melemaskan otot-ototnya yang tegang karena perjalananan. Angin sore mengusap wajahnya yang berkeringat. Dilepaskanlah dua kancing baju di bagian atasnya agar angin leluasa membelai leher dan dadanya. Tak lama kemudian, ia sudah berada di gapura kerajaan Atas Angin. Seorang prajurit yang sering mengawal Bambang Kumbayana segera melapor ke raja. Istana Atas Angin gempar.

Seisi istana kerajaan Atas Angin menyambutnya dengan sukacita. Namun, mereka kaget begitu melihat Bambang Kumbayana menggendong seorang anak. Ada di antara mereka yang sinis. “Dulu disuruh kawin menyumpah-nyumpah tak mau kawin. Sudah disiapkan seratus gadis jelita untuk dipilih, bukannya mengambil satu atau beberapa, tapi malah melengos. Sekarang datang-datang membawa anak tanpa ibunya. Dapat dari mana? Paling dia ambil dari rumah bordil. Huh, lagaknya. Sombong kali kau, mBang,” ujar salah seorang pegawai istana yang anak gadisnya ditampik Bambang Kumbayana.

Tak semua sinis. Banyak juga yang gembira atas kepulangan Bambang Kumbayana, termasuk ayahanda sendiri. Di antara sekian banyak itu ada seorang ibu yang sehari-hari bekerja di istana sebagai juru masak. Saat menyalami Bambang Kumbayana, ia menangis karena terharu. Ia pandangi Haswatama dengan penuh cinta. Dijulurkannya kedua tangannya ke arah Haswatama yang masih dalam gendongan bapaknya. Bambang Kumbayana melepaskan selendangnya dan secara spontan menyerahkan Haswatama kepada juru masak istana itu. Tak ada tangis, tak ada rontaan. Anak itu manut saja ketika diraih dan dibawa ibu itu. Bambang Kumbayana tak punya prasangka apa pun. Lalu ia masuk ke dalam istana. Para nayaka duduk di kursi masing-masing menantikan sabda raja yang sibuk dengan cucunya di belakang. Bambang Kumbayana masih terlihat kikuk. Ia tak segera mengambil tempat duduk.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar tangis anak keras sekali. “Itu pasti tangis anakku. Diapakan dia sama perempuan itu,” kata Bambang Kubayana dalam hati. Lama-lama tangis anaknya kian kencang. Bambang Kumbayana tak menunggu waktu, ia yang baru saja mau menaruh pantatnya di kursi bangkit hendak menuju tempat anaknya menangis.

Bobrakkkkk gedebug. Bambang Kumbayana geragapan dan terbangun. Kaki kanannnya sudah berada di tanah, sementara kaki kirinya masih di alas pos jada. Tangan kirinya memegang tiang pos. “Anakku. Anakku. Di mana anakku?”

Haswatama tak ada di dalam pos. Bambang Kumbayana panik. Ia keluar dari pos. Lari ke sana kemari. “Haswatama. Anakku di mana kau!” Saat dia ke belakang pos, betapa kagetnya dia. Seekor ular piton sepanjang 4 meter menghampiri Haswatama. Lidahnya menjulur. Jalannya kleset-kleset, hampir tak bersuara. Anehnya, anak itu terlihat tenang. Jarak ular dan anak itu barangkali tinggal sedepa. Sepuluh detik saja Bambang Kumbayana terlambat menyambar, anaknya niscaya sudah berada di perut ular piton itu, menyusul biawak dan marmot yang lebih dulu dimangsa.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (14)

Konon guru paling baik adalah pengalaman. Sejak kejadian itu Bambang Kumbayana lebih berhati-hati dalam menjaga putranya. Baginya, yang perlu dilakukannya kini adalah melanjutkan perjalanan. Tidur (tertidur) meski sesaat, kalau berkualitas, akan memulihkan energi. Rupanya tidur sesaat di pos jaga itu telah mengembalikan tenaganya. Bersama putranya ia terus berjalan. Satu tujuannya: kerajaan Timpurusa. Kenapa harus ke sana? Tak lain karena di sana diselenggarakan sayembara pilih.

Info tentang penyelenggaraan sayembara itu ia peroleh dari orang-orang yang ditumpangi selama perjalanan. Kalau lelah dan memasuki malam, Bambang Kumbayana senantiasa beristirahat dan numpang nginap di rumah penduduk desa.

“Ikut saja. Saya yakin sampeyan akan terpilih,” kata seorang bapak tempat ia menginap.

“Terima kasih atas saran Bapak. Mungkin aku akan mencoba. Tapi omong-omong, kenapa Bapak yakin bahwa aku akan terpilih?” Selidik Bambang Kumbayana.

Bapak itu memandang raut muka Bambang Kumbayana sejenak, lalu berkata, “Sampeyan ganteng. Saya perhatikan dari tadi, sejak sampeyan masih di pelengkung rumah, sampeyan ini bukan orang biasa. Saya yakin sampeyan masih trahing kusuma rembesing madu, bukan kaum pidak pedarakan macam saya.”

Bambang Kumbayana tersenyum saja. Ia tetap kukuh, tak mau menunjukkan siapa sesungguhnya dirinya.

“Terima kasih atas pujian Bapak, tapi aku ini orang biasa. Tak seperti yang Bapak duga.”

Meskipun hanya obrolan biasa, bagi Bambang Kumbayana, kata-kata tuan rumah yang ia inapi menguatkan hasratnya untuk ikut sayembara. “Siapa tahu aku beruntung sehingga Haswatama akan lebih terawat. Kasihan Nak kamu. Ibumu sekarang lagi apa ya, Nak,” ujar Bambang Kumbayana dalam hati. Tiba-tiba ia teringat pada Dewi Wilutama. Ia membayangkan di kahyangan istrinya lagi mengadakan pesta syukuran untuk merayakan terbebasnya ia dari kutukan. Teman-teman dan sanak saudaranya hadir lalu mengucapkan selamat kepada Dewi Wilutama. Lalu dalam acara itu dihadirkan grup musik campursari. Teman-temannya mendaulat Dewi Wilutama menyanyi. Lamunan Bambang Kumbayana buyar ketika tuan rumah pamit untuk tidur.

“Sudah larut malam. Silakan beristirahat, Raden.”

Oh, kenapa dia tiba-tiba panggil aku raden, gumamnya. Bambang Kumbayana jadi rada kikuk. “Terima kasih, Pak. Tapi mohon Bapak tak panggil aku raden. Aku ini bukan siapa-siapa,” ujar Bambang Kumbayana.

“Saya yakin Raden bukan sembarang orang. Dari wajah dan sorot mata kelihatan. Silakan istirahat.”

“Terima kasih, Bapak.”

Keesokan harinya, setelah sarapan, Kumbayana pamit sama tuan rumah. Rupanya telah disiapkan bekal untuk dirinya dan Haswatama. Ada bubur sumsum, jadah, rondo royal, grontol, dan buah-buahan. Semua dikemas dengan rapi. Juga dibawakan minuman legen yang dimasukkan di bambu (bumbung) yang pada kedua ujungnya diikat seutas tali. Bambang Kumbayana terharu atas pelayanan dan kebaikan tuan rumah. Ia pun mengucapkan terima kasih dan pamitan.

Saat memasuki kota, matahari sudah condong ke barat. Angin sore bertiup membelai rambutnya yang panjang. Sambil terus berjalan ia membatin, kota ini bersih sekali. Jangan-jangan aku sudah berada di pusat pemerintahan. Di dekat perempatan ada orang berkerumun. Dia coba mendekat dan menguping pembicaraan orang yang sedang berkerumun. Perkiraannya ternyata benar. Ia sudah berada di pusat kota. Sejumlah orang berkostum bagus melintas. Dari komentar kerumunan itu ia tahu bahwa rombongan yang melintas itu adalah calon peserta sayembara.

Melihat penampilan mereka yang umumnya keren, Bambang Kumbayana mendadak ragu. “Aku ikut sayembara tidak ya,” katanya entah ditujukan kepada siapa. Belum sempat mencerna kata-katanya sendiri, tiba-tiba dari seberang jalan terdengar orang berteriak. “Sayembara pilih tak jadi diadakan. Sang Putri Raja menolak disayembarakan!” Entah karena kecewa atau lega, Bambang Kumbayana menarik napasnya, lalu menjauh dari kerumunan. “Haswatama, ayahmu tak jadi ikut sayembara. Mari kita pergi dari tempat ini.” Ia menyeberang jalan dan terus menyusuri trotoar menuju selatan.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (15)

Awak harus minta maaf sebelum melanjutkan cerita ini. Seharusnya cerita di bagian ini sudah hadir siang tadi, tapi karena kesibukan awak, kini baru hadir. Kalau ada kasak-kusuk yang mengaitkan leterlambatan ini dengan ulah Lik Mukidi, awak tegaskan bahwa itu tak benar. Justru Lik Mukidilah orang pertama yang memaklumi keterlambatan kehadiran bagian ini. “Kau tak perlu merasa bersalah. Aku maklum ketika kau telat memosting lanjutan cerita “Lenga Tala”. Biasa saja, tak usah galau. Wajar penulis sekelas kau itu lamban. Membedakan mana kalimat bersubjek dan mana kalimat tak bersubjek saja belum bisa. Mana bisa menulis cepat. Karena itu, sekali lagi aku maklum.”

Begitulah “simpati” yang ditunjukkan Lik Mukidi kepada awak. Tak hanya itu. Ia banyak memberi nasihat kepada awak terkait dengan penulisan cerita ini. “Kalau yang menyukai cerita ini hanya dua atau tiga orang, dan dari tiga itu salah satunya kau sendiri, tak usah kendur semangat. Justru itu menjadi isyarat bahwa kau harus tetap menulis walaupun tulisanmu tetap tak digemari karena memang tak bagus. Tetap semangat. Buktikan bahwa kau bisa menulis sampai selesai walaupun hasilnya begitu-begitu saja.”

Itulah antara lain nasihat atau petuah yang disampaikannya kepada awak sebelum awak mulai menulis bagian ini. Kalau awak katakan “antara lain” , itu berarti bahwa petuah Lik Mukidi banyak sekali. Saking banyaknya, awak butuh waktu untuk mencernanya. Setelah awak berhasil mencerna, awak berjanji akan melanjutkan cerita ini sampai selesai.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (16)

Kini saatnya awak melanjutkan cerita, tapi… sebentar sebentar awak mesti menengok ke belakang dulu agar nyambung ceritanya. Beginilah kalau terlalu banyak intermeso, jadi lupa pada cerita yang disusun sendiri. Awak tak menyalahkan siapa-siapa, termasuk tak menyalahkan Lik Mukidi. Keadaannya memang begini. Kalau mau dicari juga siapa yang salah, tentulah awak sendiri. Oke, tak usah berpanjang kata, mulai saja. Tapi di bagian terakhir itu bagaimana ceritanya. Apa yang dikerjakan Bambang Kumbayana dengan anak semata wayangnya. Iiiiyes, terakhir dia meninggalkan kerumunan, lalu menyeberang jalan dan melanjutkan perjalanan menuju selatan. Ia mengurungkan niatnya untuk mengikuti sayembara. Dari obrolan orang-orang yang sampai di telinganya, putri raja tak mau dirinya disayembarakan. Jelas sekarang awak harus mulai menulis dari mana. Oke, siap.
***

Bambang Kumbayana sudah bertekat untuk meninggalkan ibu kota kerajaan itu. Dari pengalamannya ia belajar untuk tidak cengeng. Kini ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak cengeng, tak mudah menitikkan air mata. Sampai di sebuah perempatan, ia berhenti. Ia sedikit ragu dan bertanya di dalam hati, aku harus ambil jalan ke mana. Ia pun bimbang. Ketika dalam keadaan bimbang itulah dia seperti mendengar bisikan bahwa ia harus memilih jalan yang menuju timur. Maka diayunkanlah kakinya menuju timur.

Tak lama kemudian, ia tiba di suatu alun-alun. “Lo, ini alun-alun. Oh, ada beringin kurung di sana. Pasti ada kraton di sini. Jangan-jangan kraton Timpurusa seperti yang dibisikkan Dewi Wilutama kepadaku sesaat sebelum melesat ke kahyangan berada di sini,” begitu gumam Kumbayana. Dia pun berjalan mendekat pohon beringin. “Tak salah lagi. Ini kraton Timpurusa. Besok aku harus pepe di alun-alun ini agar dipanggil Sinuwun yang menjadi raja di kerajaan ini. Sekarang aku harus cari tumpangan di kota ini. Sabar ya, Nak,” ujar Bambang Kumbayana sambil menenangkan Haswatama yang mulai rewel. “Kau harus mendapat asupan yang bergizi. Aku carikan dengan caraku,” hibur Bambang Kumbayana kepada buah hatinya.

“Kalau kau berbuat baik, di mana-mana akan kaujumpai orang baik.” Itu kata-kata ayah Bambang Kumbayana yang “nyantol” di hati dan terngiang-ngiang terus di telinganya. Memang sewaktu masih hidup di lingkungan istana Atas Angin dulu sering dinasihati ayahnya, tapi dia selalu membantah. Rupanya ada juga sebagian yang masuk ke hati Bambang Kumbayana. Sepanjang pengelanaannya nasihat itu menjadi pegangan dia. Lebih-lebih setelah ia ditinggalkan Dewi Wilutama. Ia jaga benar sikap, perilaku, dan ucapannya. Itulah sebabnya dalam perjalanannya ada saja yang menolong dia dan buah hatinya. Termasuk sekarang ketika ia butuh tumpangan dan asupan untuk anaknya.

Seorang bapak yang ditemuinya di sekitar alun-alun menawarkan tumpangan untuknya. Malam itu Bambang Kumbayana dan Haswatama bisa tidur nyenyak di atas kasur empuk. Bapak yang baik hati itu ternyata seorang priyayi, pekerja istana, yang sudah pensiun. Ia menduda dan ditemani sejumlah asisten rumah tangga yang setia. Anak-anaknya sudah pada berkeluarga dan tinggal di kota lain. Bambang Kumbayana dan Haswatama mendapat pelayanan yang sangat baik di tempat tumpangan itu.

Keesokan harinya Bambang Kumbayana dan Haswatama, setelah pamitan, mendatangi alun-alun. Suasana di alun-alun ramai. Banyak orang lalu lalang. Prajurit istana berjaga di pintu gapura. Di sudut-sudut alun-alun senantiasa ada prajurit yang mengawasi lingkungan. Di samping itu, ada sejumlah prajurit berkuda yang mengitari alun-alun dan sekitarnya untuk memastikan bahwa keadaan sepenuhnya aman.

Bambang Kumbayana mengamati lingkungan dengan teliti. Dia sedang mencari tempat yang strategis untuk aksi mepe (berjemur diri agar mendapat perhatian raja). Siang nanti dia akan mepe guna menyampaikan aspirasinya. Dia ingin agar ada pihak yang mau merawat anaknya. Ia sadar bahwa dirinya tak akan sanggup membesarkan Haswatama tanpa sentuhan dan kasih sayang seorang ibu. Memang kalau dipaksakan, bisa saja dia membesarkan Haswatama seorang diri, tapi hasilnya pasti tidak sebaik kalau ada sentuhan perempuan. Apalagi dirinya masih punya banyak rencana. Dia punya rencana ke Pancalaradya untuk menemui saudara seperguruannya. Ia pun masih ingin berguru pada sejumlah tokoh. Tak hanya itu, ia ingin juga menjalani tapa ngrame untuk menebus kesalahan dan kesombongannya di masa lalu.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (17)

Setelah dirasa waktunya tepat, Bambang Kumbayana menuju lokasi pepe. Ia menggendong Haswatama dengan selendang pemberian tuan rumah yang diinapinya. Ditutupinya wajah putranya dengan ujung selendang agar tidak tersengat langsung sinar matahari. Beberapa burung merpati yang tampak jinak mendekati kedua sosok yang sedang melakukan aksi pepe itu. Tak jauh dari tempat Bambang Kumbayana duduk, dua pohon beringin yang rimbun tegak berdiri. Sekawanan burung bermain dan berkicau di reranting dan dahan pohon itu. Sesekali angin bertiup menerbangkan debu kemarau.

Tak pelak, aksi Bambang Kumbayana segera memancing perhatian. Namun, sebegitu jauh belum ada tindakan prajurit istana. Mereka masih membiarkan aksi Bambang Kumbayana. Boleh jadi mereka menunggu sampai ada kepastian bahwa apa yang dilakukan Bambang Kumbayana memang aksi pepe.

Sementara Bambang Kumbayana melakukan aksi pepe, di dalam istana Prabu Kerpaya, Raja Timpurusa, sedang berbincang-dengan kedua anaknya: Kerpi dan Kerpa. Prabu Kerpaya setengah pusing menghadapi putrinya, Kerpi, yang setiap kali diajak berdiskusi tentang jodoh, selalu menghindar. Kerpaya khawatir anaknya lama-lama kehilangan gairah untuk menikah. Gara-gara Kerpi yang tak kawin-kawin Kerpa jadi terhalang kawin. Ia pun jadi bujang tua. Sampai kapan Kerpi akan kukuh dengan sikapnya, itulah yang menjadi pemikiran Kerpaya. Karena itu, kedua anaknya dipanggil untuk menghadapnya

Di hadapan ayahnya Kerpi menangis. Ketika ditanya apa sebabnya, bukannya menjawab tapi malah dikeraskan tangisnya.

“Kenapa kamu jado begini, Kerpi. Ada apa sebetulnya. Kamu menangis karena apa?” kata Prabu Kerpaya.

Kerpi tetap menangis. Tak mau menjawab pertanyaan ayahnya. Tangisnya justru terdengar lebih keras. Kerpa, adiknya, ikut iba. Dia mencoba bertanya juga, tapi Kerpi tak mau menjawab juga. Suasana di sitihinggil jadi muram.

“Duh dewabatara, apa yang harus kulakukan. Ditangisi anak saja tak sanggup berbuat apa-apa. Bagaimana masa depan kerajaan kita ini, Kerpa. Aku tak bisa memikirkan yang lain kalau kakakmu begini terus,” ujar Prabu Kerpaya.

“Kerpi anakku,” katanya kemudian, “seharusnya akulah yang menangis karena sampai setua ini kamu belum juga dapat jodoh. Hari ini kamu genap berusia 40 tahun. Apa kamu tak mau juga memikirkan jodoh. Oh Kermi, Kermi. Sampai kapan kamu akan terus begini, Kermi.”

Demi mendengar ratapan ayahnya, Kermi merasa iba juga. Dia merangkul ayahnya, lalu bersujud. “Baiklah, ayah. Sekarang Kermi ingin kawin, tapi kawin dengan siapa?” ujar Kermi.

Betapa lega hati Prabu Kerpaya demi mendengar jawaban putrinya. Mendung di wajahnya lenyap seketika. Wajahnya kini tampak semringah.

“Kalau begitu,” ujar Prabu Kerpaya, “sayembara pilih tetap kita adakan.” Kepada Kerpa, “Hai Kerpa, segera kauumumkan bahwa sayembara pilih jadi dilaksanakan,” perintah Prabu Kerpaya. Namun, sebelum Kerpa merespon, Kerpi mencegah.

“Jangan ayah. Jangan lakukan itu. Aku akan mendapat malu besar. Jangan lakukan itu.”

“Malu bagaimana. Apa maksudmu?” selidik Prabu Kerpaya.

Kerpi enggan berterus terang, tapi setelah lama ditunggu kata-katanya, ia bilang, “Aku khawatir tak ada pesertanya. Aku tidak muda lagi. Betapa malunya kalau tak ada satu pun laki-laki yang mendaftarkan. Aku ingin menjaga kehormatan ayah, kehormatan kerajaan. Apa kata dunia ayah kalau hal itu terjadi. Jangan sampai ayah ditertawakan raja-raja lain, ditertawakan rakyat. Ayah tak boleh mendapat malu karena anak perempuannya tidak laku.” Kerpi menangis lagi. Kerpa tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Prabu Kerpaya yang semula sudah semringah mendadak berubah raut mukanya.

“Tapi kamu cantik. Meski usiamu 40 tahun, parasmu seperti gadis berusia 20 tahun. Apa iya tak ada laki-laki yang mau,” ujar Prabu Kerpaya membesarkan hati Kerpi.

“Itu kan menurut ayah. Kata orang kalau bicara tentang anak, orang tua itu akan menganggap wingka sebagai kencana. Bagi orang lain, bisa jadi kencana dikatakan wingka,” sahut Kerpi.

“Lalu bagaimana solusinya, Kerpi.”

“Ayah, kuminta sayembara pilih ditiadakan saja. Sebetulnya aku punya uneg-uneg yang belum kusampaikan karena takut.”

“Katakan apa yang ingin kau katakan. Jangan takut. Bukankah ayahmu ini tak pernah marah. Kamu takut karena apa?”

“Takut bahwa yang kukatakan dianggap ngayawara atau mengada-ada, Ayah.”

Suasana di dalam istana jadi hening sejenak.Sementara di luar istana, khususnya di tempat Kumbayana pepe, semakin panas. Berkali-kali Bambang Kumbayana mengusapkan selendang ke mukanya sendiri dan ke wajah Haswatama. Peluh mengucur di sekujur tubuhnya. Ia bergeming. Tak sedikit pun di benaknya ada niat untuk mengakhiri aksi pepenya sebelum mendapat perhatian dari raja. (bersambung)

One Reply to “LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (13-17)”

Leave a Reply

Bahasa ยป