Sunu Wasono
Segala sesuatu ada saatnya, juga ada batasnya. Demikian pun ketika mendongeng. Kalau orang disuruh mendongeng terus tentu tak kuat. Bila kuat sekalipun, hasilnya tak akan maksimal. Bagaimanapun perlu istirahat. Kini setelah awak beristirahat–sebetulnya tak tepat disebut istirahat, karena begitu penulisan bagian (3) awak hentikan, awak salat, lalu menjemput anak dan baru sekarang tiba di rumah–awak ingin melanjutkan cerita.
Sekadar info, dari tadi Lik Mukidi terus saja mengingatkan agar awak lebih cepat dalam menulis tanpa harus mengorbankan unsur nges dan sem. Sudah awak iyakan saran dan nasihatnya, tapi masih saja ia menggempur konsentrasi awak dengan pernyataan-pernyataannya yang penuh kritik dan ejekan. Kalau ditanggapi terus, kapan awak mulai menulis? Supaya kerja awak lancar, tak direcoki terus, untuk sementara nomor HP Lik Mukidi awak blokir dulu. Sekarang saatnya awak melanjutkan cerita.
***
Tingkah laku Bambang Kumboyono yang ugal-ugalan itu tak urung sampai juga ke telinga ayahandanya, Prabu Barat Waja. Dipanggillah ia untuk menghadapnya. Saat dipertanyakan ayahnya mengenai tingkah lakunya, ia menyangkal. Ia bilang bahwa dirinya baik-baik saja. Tak ada orang lain yang pernah ia rugikan. Tentu saja ayahnya tak percaya.
Setelah lelah berdebat, ayahnya mengalihkan topik pembicaraan. “Lupakan perdebatan tadi, sekarang mari kita berbicara tentang perempuan, anakku,” kata Prabu Barat Waja saat mengawali pembicaraan dengan topik baru.
“Perempuan. Apa maksud ayah?” tanya Bambang Kumboyono heran.
“Iya, perempuan. Ada yang aneh?”
“Ayahlah yang aneh. Ditanya malah balik bertanya. Bagi saya, kata-kata Ayah bukan saja aneh, tapi juga absurd,” kata Bambang Kumboyono membalikkan pernyataan ayahnya.
Barat Waja sedikit kehilangan akal untuk bicara baik-baik dan akrab dengan anaknya. Dia malah seperti dalam posisi tertekan. Setiap kata yang diucapkannya disambar begitu saja oleh anaknya. Akibatnya, suasana jadi tegang. Karena itu, agar suasana tak kian tegang, ia berterus terang saja kepada Bambang Kumboyono. Dikatakannya bahwa dirinya sudah tua. Ia ingin lengser keprabon, menyerahkan kerajaan dan kekuasaannya kepada Bambang Kumboyono. Karena Bambang Kumboyono masih lajang, ayahnya minta agar ia segera menikah sehingga punya pendamping ketika memegang tampuk kepemimpinan.
Respon Bambang Kumboyono sungguh mengecewakan. Ia menolak mentah-mentah perintah ayahnya. Meskipun sudah dibujuk dengan berbagai cara, sikap dan pendirian Bambang Kumboyono tetap kukuh: ia menolak untuk segera menikah. “Jangankan ayah, dewa sekalipun yang menyuruh, saya tak mau kawin. Titik!” tolaknya lantang.
Keruan saja melihat sikap keras anak semata wayangnya, Barat Waja naik pitam. Dihunuslah pedang, lalu diayunkan ke arah leher anaknya. Bambang Kumboyono pun cepat tanggap. Seketika itu juga ia melesat, pergi meninggalkan istana. Hanya satu yang ada di benaknya: mengembara!
Kepergian Bambang Kumboyono membuat Barat Wojo menyesal. Lalu ia perintahkan kepada patihnya untuk mengajak Bambang Kumboyono kembali ke Istana. Tapi Bambang Kumnoyono sudah terlalu jauh pergi. Pasukan kerajaan Atas Angin kehilangan jejak Bambang Kumboyono. Dalam perjalanan mencaro Bambang Kumboyono, mereka malah bertemu dengan bala Kurawa dari kerajaan Astina. Wasana terjadilah konflik antara pasukan dari Astina dan pasukan dari kerajaan Atas Angin sebagaimana diceritakan sebelumnya (bersambung)
***
2 Replies to “LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (4)”