Sunu Wasono
LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (5)
Bambang Kumbayana terus saja berjalan. Tak dipedulikannya rasa lapar dan haus. Sepanjang hari sepanjang bulan hanya berjalan dan berjalan sampai pada suatu waktu ia bertemu dengan bengawan (sungai). Di sinilah ia baru berhadapan dengan masalah yang berarti. Ia tidak bisa berenang, sementara ia harus menyeberangi sungai.
Lama ia termangu di tepi sungai. Ia duduk saja di bawah pohon duwet. “Dewa, apa yang harus hamba lakukan?” gumamnya pada diri sendiri. Ia menyesal kenapa tak bisa berenang, padahal di istana kerajaannya selama ini disediakan kolam renang luas dengan airnya yang bening. Kalau mau, ia bisa minta pelatih renang istana untuk mengajarinya. Tapi ia tak melakukannya.
Entah atas perintah ayahnya atau staf ayahnya di istana, pada suatu hari ia didatangi seorang perempuan cantik nan semok. Tak perlu dideskripsikan bagaimana cantik dan semoknya perempuan itu. Dikhawatirkan nanti bapak-bapak yang kini setengah umur jadi aneh tingkahnya: uring-uringan kalau melihat istrinya yang mulai tak jelas lekuk liku tubuhnya karena ditumbuhi lemak dan gelembir di sekujur tubuhnya, tak bisa tidur gara-gara membayangkan kecantikan dan kesemokan perempuan itu.
Kalau ada yang belum tahu, semok itu singkatan–atau lebih tepatnya akronim–dari seksi dan montok. Si Semok tersebut ternyata datang untuk mengajak Bambang Kumbayana yang super polos itu untuk berlatih renang. Perempuan montok itu sudah mengenakan pakaian renang dan siap mencebur ke kolam renang. Tak hanya itu, bahkan ia pun siap berenang bersama di samudera asmara kalau Bambang Kumbayana menghendakinya. Tapi apa tanggapan Bambang Kumbayana? Ia menampiknya. Dasar pengung. Pelatih renang itu malah dikepretnya. Benar-benar Bambang Kumbayana itu tak tahu diuntung. “Bukan hanya itu, ia pengung dan tak tahu barang enak,” celetuk Lik Mukidi dalam suatu obrolan sore yang basah sebelum cerita ini ditulis.
Nah, sekarang Bambang Kumbayana baru tahu rasa, menyesal sekali dia. “Kenapa waktu itu aku menolak dia ya,” katanya entah kepada siapa. “Kucing emoh dikasih daging kalau bukan kucing pengung kucing apa namanya. Dasar pengung. Sekarang kamu rasakan, Kumbayana. Rasakan.” Tiba-tiba ia merasa dirinya terbelah menjadi dua. Dirinya seperti melihat Bambang Kumbayana yang lain, yang pengung itu. Lalu ia tunjuk-tunjuk Si Pengung itu sambil dimakinya.
Lama ia lakukan itu. Tingkahnya, ekspresinya, mirip dramawan yang lagi pentas monolog di panggung. Tak usah awak sebut nama tertentu, semisal Butet, Jose Rizal Manua, Wawan, atau Iman Soleh, hanya untuk memberi gambaran agar lebih konkret. Tak perlu itu. Pokoknya, yang penting bahwa tingkah Bambang Kumbayana seperti tingkah aktor drama yang lagi monolog di panggung, entah di panggung Graha Bakti Budaya TIM yang kini telah dirubuhkan, di Gedung Kesenian Jakarta, atau di Auditorium Gedung IX FIBUI.
Sedih. Sedih sekali Bambang Kumbayana. Dalam keadaan sedih itu muncullah usaha dan semangatnya yang kuat untuk terlepas dari lilitan masalah. Ia pun bangkit dan berdiri tegak di tepi bengawan. Dipandangnya ombak dan riak bengawan itu. Lalu ia mendongak ke langit seakan ingin memberi isyarat kepada dewa untuk bersaksi atas apa yang ingin diucapkannya di senja itu. Benar saja. Bambang Kumbayana pun berseru, “Aku bersumpah, barang siapa atau siapa pun yang bisa menyeberangkan aku, kalau dia laki-laki akan kujadikan saudara, kalau dia perempuan, akan kujadikan istriku.”
Luar biasa. Sungguh mujarab sumpah putra tunggal Raja Atas Angin itu. Tak butuh tempo lama, sumpah Bambang Kumbayana segera mendapat respon. Begitu selesai diucapkan, sekonyong-konyong datang seekor kuda betina yang menghampirinya. Di hadapan Bambang Kumbayana kuda itu terus meringkik. Kakinya yang memancarkan cahaya terang–ah, jadi teringat pada kisah betis Ken Dedes–menggaruk-garuk tanah. Lalu tubuhnya merendah, merendah, dan merapat ke tubuh Bambang Kumbayana.
Tak butuh waktu lama dan teori semiotika untuk menafsirkan perilaku kuda itu. Jelas ia mengirim isyarat kepada Bambang Kumbayana untuk segera menaikinya. “Pucuk dicinta ulam pun tiba.” Begitu pepatah lama mengatakan. Di saat Bambang Kumbayana membutuhkan pertolongan, dengan sekali sumpah datanglah bantuan itu. Tak disangka bahwa yang datang ternyata kuda betina. Tapi kuda itu bukan sembarang kuda. Ia kuda sembrani. Terbukti dari kedua betisnya keluar sayap. Maka begitu Bambang Kumbayana naik, kuda itu langsung melesat terbang. Ia dan Bambang Kumbayana yang melekat mesra di tuhuhnya pun menyeberangi bengawan dengan mudah.
Dalam hitungan detik, kuda dan Bambang Kumbayana berhasil menyeberang. Sampai di tepian timur bengawan, kuda sembrani itu tetap tak menginjakkan kakinya ke tanah. Ia terus terbang membawa Bambang Kumbayana entah ke mana.
LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (6)
Pada bagian ini dan lanjutannya, cerita baru mengait ke betis, pergaulan bebas, dan kutukan. Untuk sementara, lupakan dulu soal lenga tala. Apa yang akan awak ceritakan ini sedikit-banyak bertalian dengan seks. Tapi jangan berprasangka dulu. Awak tak akan membagikan cerita porno. Sama sekali bukan itu yang ingin awak bagikan. Porno adalah porno. Haram hukumnya. Justru yang akan awak sajikan di bagian ini bertalian dengan soal moralitas, soal bagaimana perilaku seks sesuai dengan norma yang memuliakan manusia.
Lik Mukidi sangat peduli dan berkepentingan dengan perkara ini. Ia mendukung penuh upaya awak untuk menggambarkan bagaimana gelegak birahi bisa datang tiba-tiba tanpa direncanakan. Awak berharap moga-moga dari cerita ini ada sesuatu yang bisa dipetik dan dijadikan pelajaran bagi kita semua. Omong-omong sebagai intro, tuturan awak ini barangkali sudah kepanjangan. “Omong dan ceramah terus kapan ndongengnya,” celetuk Lik Mukidi di sela-sela acara ngopinya. Baiklah. Kalau begitu, sekarang awak lanjutkan ceritanya.
***
Bambang Kumbayana rupanya keenakan ketika tubuhnya berada di atas kuda. Tangannya memegang pangkal sayap kuda sembrani. Mungkin karena rada kecapaian, ia kadang tidur kadang bangun. Tanpa terasa ia sudah 40 hari berada di atas kuda. Pada saat ia berada di antara tidur dan jaga (liyep layaping aluyup) itulah sekonyong-konyong ada kekuatan gaib yang membuat birahinya bangkit sebangkit-bangkitnya. Selaras dengan itu, posisi tubuhnya pun makin lama makin bergeser ke belakang, ke belakang, lalu turun sedikit, sedikit. Dan terjadilah peristiwa itu, peristiwa bersejarah dalam hidup Bambang Kumbayana sebagai laki-laki sejati.
Entah bagaimana proses selanjutnya, antara disengaja atau tidak disengaja, nyatanya alat vital (Mister P) Bambang Kumbayana bersentuhan dengan alat vital (Mis V) kuda sembrani. Awak kira tak perlu diceritakan konsekuensi logis dari situasi macam itu. Awak yakin semua pembaca budiman sudah paham dan khatam dalam perkara ini. Tak eloklah kalau masih ada juga yang keceplosan, lantas bilang “Aku masih awam dalam soal itu. Tolong dijelaskan dong.” Kalau masih ada yang pura-pura tak tahu, awak bilang saja pokoknya seru. Namun, supaya ceritanya tetap mengalir, bolehlah awak paparkan sedikit berikut ini.
Sekujur tubuh Bambang Kudayana seperti teraliri energi asmara yang kuat sekali. Demikian juga yang terjadi dengan kuda sembrani. Apa pun nama atau istilahnya, nyatanya keduanya bergumul di dirgantara. Patuk-mematuk, pagut-memagut pun terjadi. Tak penting diketahui siapa memiting siapa, yang jelas tak ada tanda-tanda kekerasan di situ meski barangkali ada yang mengeras pada bagian-bagian tertentu dari tubuh mereka. Siutan angin kiranya makin membuat gairah birahi keduanya terbakar.Tak terdeteksi berapa kali erangan yang keluar dari mulut keduanya. Tak ada radar yang bisa menangkap seberapa kuat engahan napas Bambang Kumbayana dan pasangannya karena semua itu terjadi di angkasa.
Tak terhitung pula berapa kali Bambang Kumbayana menghunjamkan “senjata pamungkasnya” ke “celah sempit” yang ternyata setelah berkali-kali tertusuk pusaka, dari dalam keluar aroma khas yang teramat susah untuk dikiaskan. Wangi, tentu saja. Tapi wanginya lain dengan wangi apa pun. Demikianlah secuil lukisan tentang pergumulan mistis Bambang Kumbayana dengan kuda sembrani betina.
Ketika keduanya sadar, Bambang Kumbayana terlihat sedang bertengger di atas tubuh perempuan cantik yang sastrawan besar mana pun, peraih nobel atau bukan, tak sanggup melukiskan kecantikannya. Kedua-duanya kaget setengah mati. Lalu dengan gerak yang gesit dan indah sekali, perempuan itu membawa Bambang Kumbayana mendarat di bumi.
Setelah keduanya sama-sama berada di bumi dan sudah membereskan pakaian masing-masing, mereka mulai bercakap-cakap dan saling memperkenalkan diri. Peluh masih mengucur di sekujur tubuh Bambang Kumbayana, tapi ia sudah tak ngos-ngosan lagi. Ia mencoba merunut kejadian sejak dirinya berada di tepi bengawan, lalu ada kuda, kemudian menyeberang sampai peristiwa itu terjadi. Meskipun sudah berusaha merangkai bagian demi bagian, ia tetap belum mudeng atau belum dong bagaimana duduk soalnya sampai ia mengalami peristiwa aneh dan dahsyat yang–kalau ada kesempatan dan dirinya mampu–ingin benar ia ulangi.
Perempuan cantik itu jualah akhirnya yang bisa menjelaskan semuanya. Dialah yang menjawab teka-teki hingga Bambang Kumbayana paham atau mengerti mengapa semua itu terjadi. Untuk melanjutkan ceritanya, awak perlu rehat sejenak. Nanti setelah menggigit rondo royal dan menyeruput kopi, awak sambung-lanjutkan lagi kisahnya.
LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (7)
Perempuan itu bernama Dewi Wilutama. Di hadapan Bambang Kumbayana, ia jelaskan kenapa dirinya dipertemukan dengan Bambang Kumbayana. “Kuda Sembrani tadi tak lain adalah penjelmaanku. Akulah Dewi Wilutama, dewi yang tak bisa menghindar dari khilaf dan dosa. Karena kesalahanku, Batara Guru mengutukku menjadi kuda,” katanya mengawali pembicaraan dengan Bambang Kumbayana. Putra Barat Waja dari Atas Angin itu hanya cengar-cengir ketika Dewi Wilutama bercerita. Ia masih larut dalam kebanggaan diri terkait dengan keberhasilannya bercinta dengan salah satu bidadari tercantik dari kahyangan.
Panjang lebar Dewi Wilutama mengisahkan dirinya. Kalau awak ringkaskan, kisahnya kurang lebih begini. Bahwa di kahyangan tak ada bidadari jelek semua orang sudah tahu. Tapi kalau bicara soal siapa yang paling cantik, Dewi Wilutamalah juaranya. Tak heran jika para dewa menaksirnya. Sekadar tambahan info, Dewi Wilutama itu tak sekadar cantik. Ia selain cantik juga punya selera seni yang tinggi. Menari sudah menjadi hobinya. Gerak-geriknya luwes. Kalau diajak ngobrol para bidadara yang berebut mendekatinya, nyambung. Wawasan putri Batara Narada itu luas. Berbagai ilmu pengetahuan ia pelajari dan kuasai. Apalagi pengetahuan yang terkait dengan seni. Ia mempelajari dengan tekun. Isu-isu terkait dengan tata busana dan mode menjadi makanan dia sehari-hari.
Mungkin kalau diminta menulis puisi, dia akan cepat meresponnya. Menulis puisi cinta? Ia jawaranya. Siapa pun yang membaca lirik-lirik cintanya, khususnya kaum laki-laki, akan klepek-klepek. Jika tak kritis dalam menyikapinya, pria yang membaca puisi Dewi Wilutama akan mendadak gede rasa dan merasa seakan puisi itu hanya tertuju secara khusus ke dirinya. Tapi di luar yang telah awak sebutkan, yang terpenting dari semua keistimewaan-keistimewaannya itu adalah bakat besarnya di bidang tarik suara. Tak heran kalau di dalam grup karawitan di kahyangan, ia didapuk menjadi penggerong. Kalau dia sudah beraksi, semua yang mendengar kemerduan suaranya dan melihat kecantikan parasnya akan mabuk kepayang serta lupa segalanya.
Untuk yang ingin tahu lebih detil tentang perannya sebagai penggerong, baca lagi status di lapak awak sebelum ini. Di “Betina (2)” ada sepenggal kisah Dewi Wilutama dalam kaitannya dengan kutukan. Untuk menyegarkan ingatan Tuan-Puan, awak singgung sedikit ceritanya. Pada suatu hari di perhelatan agung di kahyangan ada dua dewa yang tak sanggup mengendalikan nafsu birahinya ketika melihat kemolekan paras Dewi Wilutama. Dewa Angin, Batara Bayu, saking terpesonanya pada kecantikan Dewi Wilutama, tak sanggup mengendalikan angin yang dikuasainya. Terlepas dari kendalinya, angin menyingkap kebaya Dewi Wilutama hingga betisnya terlihat hadirin yang hadir dalam perhelatan itu. Semua yang hadir dan ada di situ tersentak dan secara spontan bilang haaaaa. Mata mereka melotot dan mulutnya menganga saat menyaksikan keelokan betis Dewi Wilutama.
Semua yang terjadi di perhelatan terekam Batara Guru meski di area itu tidak dipasangi cctv. Siapa biang kejadian diketahui dewa penguasa alam semesta itu. Atas kejadian itu, Batara guru yang menjadi pacar gelap Dewi Wilutama marah. Batara Bayu dan satu dewa lagi dikutuk menjadi raksasa. Pada saat itu pula keluar SK yang isinya antara lain memberi sangsi–bukan lagi tegoran biasa–dan memutasikan kedua dewa yang dianggap membuat onar ke sebuah gunung di mayapada. Mereka baru bebas dari kutukan dan bisa diaktifkan lagi sebagai dewa setelah bertemu dengan dan dibebaskan oleh Bima yang diutus Durna mencari air perwitasari ke gunung itu.
Kembali ke cerita semula, cerita tentang pertemuan Bambang Kumbayana dengan Dewi Wilutama. Di sini ada satu poin penting yang perlu digarisbawahi terkait dengan kutukan. Pada kisah yang sudah awak ceritakan secara sekilas, dua dewa dikutuk karena terkait dengan Dewi Wilutama, sementara pada kisah yang baru awak ceritakan ini, Dewi Wilutama yang dikutuk. Kenapa Dewi Wilutama dikutuk telah disampaikan sebelumnya. Ia dikutuk karena bersalah. Tapi apa kesalahannya? Tampaknya awak harus rehat dulu. Nanti akan awak lanjutkan lagi kisahnya agar jelas apa kesalahan Dewi Wilutama hingga ia terkutuk. (bersambung).
***
One Reply to “LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (5-7)”