LUKISAN S. YADI K., YANG TAN KASAT MATA


(Lukisan S. Yadi K, Cat Minyak di Kanvas)
Taufiq Wr. Hidayat *

Menikmati lukisan S. Yadi K dalam “Barong Paju Gandrung” pada pameran bertajuk “Kembang Kawitan” (Oktober 2018) di galerinya, menculik saya dalam sebuah pengalaman tradisi Banyuwangi yang menyimpan kedalaman penderitaan. Lukisan S. Yadi K yang menggambarkan sosok gandrung bercampur barong Kemiren; warna-warna muram menakjubkan mengingatkan pada yang sunyi di balik pengalaman sejarah tradisi Banyuwangi: derita. Juga ketegaran dan keberanian di tengah niscaya ruang-waktu dan perubahan-perubahannya.

Selendang hijau. Sang gandrung mengibaskannya dengan kedua mata yang nyaris terpejam. S. Yadi K memadu komposisi warna redup, merah corak tradisi yang tersamarkan. Lukisan itu menghadirkan sapuan kuas yang tegas, tapi bagai sebuah keraguan yang malu-malu. Yang tampak nyata selalu berupa dilihat mata, diraba, dihidu, dirasa, dicerap. Yang abstrak dalam lukisan S. Yadi K, ialah warna dan garis-garis melengkung. Ia selalu yang tak mungkin, tak tercerap, tak terhidu. Tetapi yang terhidu dan terdengar, jadi penanda tak tampak mata, tak teraba. Bauan dan suara tak tampak mata, tak terpegang. Namun ketaktampakannya pada mata, tak berarti ia tak ada. Sebagaimana penderitaan yang dibalut warna muram meneduhkan pada “Barong Paju Gandrung”nya S. Yadi K. Seolah hendak menegaskan, sekumpulan derita yang terpendam akan tiba dengan ketakjuban tatkala diolah pada sebidang komposisi. S. Yadi K adalah legenda hidup yang meratapi kenyataan dengan warna-warna muramnya yang khas.

Namun derita dan muram itu, datang bersama warna teduh yang redup. Warna muram yang tak hendak mengajak siapa pun diringkus olehnya. Ia tak tampak secara harafiah. “Tan kasat mata,” ujar orang Jawa. Yang tak tampak mata. Lantaran mata tak pernah bisa dipercaya.

Hari ini, orang terkesima layar dengan kedua matanya. Tanpa kemungkinan menemukan sesuatu entah apa di balik layar itu. Tertipu layar dan citra. Bahkan yang berhenti menatap layar, sesungguhnya pun tertipu kedua matanya. Ialah yang harafiah. Meski juga banyak yang tak terpesona, menetap dalam pertimbangan. Tetapi layar selalu mengajak manusia mengimani yang tampak mata belaka, yang harafiah itu, yang artifisial itu.

Pada lukisan S. Yadi K, sebuah tari dimainkan sang gandrung dengan kedua mata nyaris terpejam. Barangkali itu memang keniscayaan sejarahnya, tak ingin tertipu kenyataan. Atau tak perlu meyaksikan nasib sendiri. Tetapi, ia suguhkan keindahan pada pandangan. Dan membisikkan penderitaan yang tak terpecahkan bagi para penyaksi. Penyaksi tak belaka memakai mata yang harafiah guna meraba kenyataan. Ia sesungguhnya sebentuk gerak yang ditubuhkan. Kini ia, oleh S. Yadi K, ditubuhkan pada warna, pada sosok gandrung, berbaur dengan barong Kemiren yang mashur itu. Tari yang mencipratkan keindahan dari lubuk muram, menjadi “setubuh ungkapan” jiwa yang dilafalkan, ujar Curt Sachs dalam “World History of The Dance” (1937). Gandrung itu sendiri, sebenarnya “tan kasat mata”. Lantaran tubuh melafalkannya, tarian pun tampak, dilihat mata. Tapi jika mata terpaku pada tubuh sang penari, orang tertipu. Tarian hilang dari hakikatnya yang sejati. Yang ada hanya tubuh. Bukan tarian. Dan nasib tubuh adalah fana. Sedang tarian kekal adanya. Gerak tari merupa upaya menubuhkan tari, menubuhkan gerak jiwa. Maka tarian adalah metafisik, yang transendental. Ia ada karena ditubuhkan. Bagai warna muram yang metafisik pada lukisan S. Yadi K itu. Penari dapat berlalu beserta kemolekan tubuhnya, kata seorang penyair. Tapi biarkan tariannya kekal dalam ingatan. Pandangan pada tubuh bukan yang mutlak, melainkan hanya perlu ada sebagai penubuh dari “yang tak bertubuh” itu. Ia yang tak bertubuh; sebentuk gerak. Dan ia kekal. Pada lukisan S. Yadi K, warna dapat berubah. Namun nuansa dari perubahan warna, kekal bersama realitas hidup yang diratapi dengan ketakberdayaan yang tersembunyi jauh di pedalaman kesunyian. Sehingga tak seorang pun mudah untuk menemui segala keluh-kesah kesunyiannya yang transendental.

Barangkali tanpa kepahitan, seseorang tak pernah mengenali dengan tepat apa yang tak selamanya getir. Namun tanpa mengenali penderitaan, ia mustahil mengenali di mana dan bagaimana kebahagiaan menubuhkan diri atau menyusup dalam jiwa. Tanpa melewati keperihan puncak, yakni rasa kehilangan dari suatu perpisahan, ujar Budha, nuansa dan tarian jiwa tak mungkin tiba dengan segala ketakjuban. Dari perjalanan melelahkan puncak kehilangan yang menakutkan itu kiranya, S. Yadi K menyapukan gejolak warna yang metafisik pada kanvasnya. Warna sebagai penubuh tari jiwa yang metafisik itu, memilih menghikmati segala derita yang tiba dari puncaknya yang paling sunyi dan perih.

Barong Kemiren yang mencemaskan. Gandrung yang menderita, yang punah di tengah segala festival omong kosong kekuasaan. Tak dikenali lagi jati diri. Sosok gandrung yang tak berdaya, habis digilas waktu. Di tengah semua itulah kiranya, “Barong Paju Gandrung” S. Yadi K menawarkan kemungkinan untuk kembali dipertimbangkan.

2018-2020

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *