“Kau sudah menyimpan satu fotonya?” tanya Jan ketika Marie melihat beranda dipenuhi berita duka cita.
“Belum. Lihat ini, Jan, foto beliau di akun Mahesa Ayu Jenar,” Marie mengarahkan layar mendekati lengan Jan. Di layar itu sebuah wajah bertopang dagu, seperti tidak pernah ada duka di kulit keriput yang cerah itu.
“Aku jadi teringat nenek,” lanjut Marie.
“Ya, mungkin mereka berdua bisa bertemu sekarang,” sahut Jan sambil menyambut tangan Marie yang menggenggam selular. Sejenak ia mengernyitkan dahi, lengan baju di pergelangan tangan Marie basah. “Kamu tadi nangis, ya?” Ia hapal kebiasaan Marie mengusap air mata dengan lengan baju.
Ditanya begitu, Marie menarik cepat-cepat tangannya lalu menyembunyikannya di saku.
“Ah, kau ini. Seolah para orang tua itu akan berpesta puisi di alam baka,” sergah Marie sambil mengerucutkan bibir dan pura-pura tidak memperhatikan kalimat terakhir Jan.
“Ah, kamu juga suka pura-pura tabah. Sini peluk.” Tangan Jan meraih bahu Marie, merapatkannya ke dada.
“Mungkin saja beliau sekarang sedang berpelukan dengan penyair-penyair lainnya, Jan, seperti Rendra, Chairil, dan aktor Djaduk.”
“Ya, dan sepertinya itu sangat menyenangkan,” sahut Jan.
Sejenak hujan rintik terdengar dari luar membuat rasa semakin syahdu, sepertinya kesedihan tidak hanya milik manusia di bumi Indonesia, tetapi langitnya juga turut serta.
Pat, 2020.
*) Patricia Pawestri, tinggal di Yogyakarta. Buku antologi tunggalnya “Metafora Goodnick Griffin.”