Atafras *
Ada guru baru di sekolahku. Guru bidang studi Bahasa Inggris. Pak Edo Gunawan Master Pendidikan. Orangnya sebetulnya gagah dan tampan, tapi menurutku sangat menyebalkan. Rambutnya yang selalu awut-awutan menambah lengkapnya kesan yang tidak menyenangkan bagiku. Mungkin juga bagi kebanyakan teman-temanku.
Setiap ada jadwal pelajaran Bahasa Inggris, perutku selalu mules. Pasalnya karena Pak Edo selalu saja punya alasan untuk menghukumku. Yang lupa bawa buku lah, yang baju tidak kumasukkan lah, atau bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan pun, aku terkena hukuman. Macam-macam pula bentuk hukumannya. Kadang skotjam, kadang sit-up, yang sering itu, Stand-up, alias berdiri di depan kelas. Malu? Sangat… Sesekali aku pernah bolos, malas ikut pelajaran malah ngumpet di UKS, pura-pura sakit. Eh….ujung-ujungnya Pak guru menyebalkan itu tahu. Dan esoknya, hukuman yang kurasa lebih berat pun harus kuterima. Asli, lama-lama aku pun menjadi semakin malu, karena selalu saja aku stand-up di depan kelas dan mengikuti pelajaran Pak Edo dengan berdiri. Bayangkan, dua jam pelajaran, alias dua kali empatpuluh menit, alias delapan puluh menit, atau sama dengan satu jam duapuluh menit aku harus berdiri. Uh, betul-betul menyebalkan pak guru yang satu ini. Satu-satunya yang membahagiakanku saat seperti itu adalah bunyi bel penanda pergantian pelajaran. Karena dengan begitu, Pak Edo pasti pindah ke kelas lain, dan aku bisa duduk dengan lega mengikuti pelajaran lain dari guru yang lain. Bagiku, mengikuti pelajaran Bahasa Inggris adalah siksa.
“Eh, Man, kamu mengapa sih kok nggak mau berusaha?” Yanto teman akrabku tiba-tiba bertanya, saat aku sudah duduk.
“Maksudmu?” Tanyaku balik dengan nada agak jengkel kepadanya. “Usaha bagaimana?’ Aku belum mengerti arah pembicaraannya.
“Ya… usaha belajar Man, yang sungguh-sungguh, biar nggak stand-up terus kalau pas pelajaran Bahasa Inggris. Masa Kamu nggak malu sih, setiap ada pertanyaan atau quis dari Pak Edo enggak bisa jawab, terus ikut pelajaran sambil berdiri gitu. “ Papar Yanto menjelaskan. “Nih, lihat nih! Aku sampai beli buku ini supaya bisa mengikuti alur pembelajaran Pak Edo, supaya nggak kena stand-up. Dan Alhamdulillah, sekarang aku jadi lebih enjoy mengikuti pelajaran beliau.” Yanto menyodorkan bukunya kepadaku.
“Ah….” kutarik nafas berat seraya menerima buku itu, “Kamu tahu kan Yan, gimana aku bisa beli buku? Aku nggak tega minta sesuatu dari emakku.” Aku hanya bisa menunduk, merenungi nasibku. Pilu.
“Ok deh, Man, gini aja, buku ini kamu buat resumenya, kamu tulis di buku catatanmu. Nanti setelah selesai kembalikan padaku. Gimana?”
“Ah, enggak lah, Yan. Trimakasih. Aku malas, biar saja gak papa stand-up terus. Lagipula Pak Edo yang lebay. Biar saja kuikuti saja pelajarannya dengan muak hati.” Sahutku menolak tawaran Yanto dan mengangsurkan buku itu.
“Parman..Parman…aneh kamu itu, kamu lho sebetulnya lebih pintar daripada aku. Tapi…ya sudahlah, kalau begitu terserah kamu.” Yanto pun memasukkan buku itu kembali ke dalam tasnya.
Obrolan kami pun terhenti karena bu guru IPS sudah memasuki kelas. Kami pun larut kembali dalam pikiran masing-masing dan mengikuti materi berikutnya. Di dalam hatiku sebetulnya aku mengakui, bahwa sejak Pak Edo mengajar di kelas kami, banyak teman yang jadi kian semangat belajarnya. Motivasi mereka macam-macam, ada yang karena malu dihukum terus, ada yang karena Pak Edo tampan, ada yang karena memang ingin bisa berbahasa Inggris dengan baik. Satu contoh diantaranya adalah Yanto. Anehnya, kok aku tidak seperti mereka. Aku justru muak pada cara Pak Edo setiap kali mengajar di kelas kami. Meskipun aku tahu pasti, Pak Edo sudah berbuat adil, siapa pun yang tidak bisa menjawab pertanyaan quisnya, pasti stand-up. Dan itu berlaku untuk siapa saja, siswa laki-laki maupun perempuan.
Semakin hari semakin sedikit jumlah temanku yang stan-up. Dan Itu artinya model pembelajaran yang diterapkan Pak Edo di kelasku telah berhasil. Tapi, makin hari aku pun makin sebal dan jengah kepada guru Bahasa Inggris sok pintar itu. Hingga pada suatu ketika, terjadi sesuatu di luar dugaanku.
Sore itu, seperti biasa, aku asyik dengan sabit di tanganku. Mencari rumput untuk sepasang kambing bantuan dari desa yang diberikan kepada semua pelajar yatim di desaku ini. Setelah kurasa cukup, rumput-rumput itu pun kuikat dan kutata di boncengan onthelku, tiba-tiba Cak Rokhim tetanggaku berteriak dari kejauhan.
“Man! Parman…!” tangannya melambai sambil berlari ke arahku.
Belum sempat juga aku bertanya, Cak Rokhim sudah berada di dekatku dengan nafas ngos-ngosan, “Man….emakmu, Man. Emakmu ditabrak orang, sekarang di puskesmas Kembangan.”
Tanpa banyak tanya aku pun mengikuti langkah Cak Rokhim yang segera menuntun sepedaku dengan setengah berlari.
Sesampai di puskesmas, di ruang UGD, kulihat emak dikerumuni banyak orang. Mereka tampaknya bertanya macam-macam pada emak yang menjawab dengan bicara ala ndesonya. Ada Pak dokter dan perawat, ada banyak orang juga yang tidak kukenal, dan ada seorang perempuan muda yang duduk di sebelah emak. Aku tidak sempat berpikir siapa dia. Di kepala dan siku kiri emak ada balutan perban. Nampak ada bekas luka yang ditutup jahitan.
“Lha…..ini anak saya datang…., sini Le…“ Ah, emakku ini sok gaul juga.
“Mak gak papa?” Tanyaku pendek.
“Alhamdulillah, Le, Emak gak papa. Mak tadi itu ditabrak orang di depan pasar. Emak juga nggak tahu gimana kejadiannya. Emak cuma ingat pas dagangan pisang kita itu habis, emak sangat gembira, dan maunya langsung pulang. Pas jalan cari ojekan, terus emak sudah nggak ingat lagi, Le…”
“Kata orang-orang, ibu ini ditabrak lari oleh pemuda bermotor ninja.” Sahut perempuan itu. “Melihat jalanan depan pasar yang macet, dan banyak orang berkerumun seperti ada yang butuh bantuan, suami saya segera turun dari mobil dan tidak tega, akhirnya ibu anda kami bawa ke sini. Ibu masih dalam kondisi pingsan tadi saat bapak-bapak ini membantu kami membawa ibu.”
Sesaat kemudian, datang seseorang dengan menenteng kresek putih berisi banyak sekali obat-obatan. “Ini, Ma. Letakkan di meja itu!” Ucapnya seraya mengangsurkan bungkusan kresek kepada perempuan yang sedang berbicara.
Semua mata beralih tertuju kepadanya. Termasuk mataku. Dan spontan jantungku berdegup hebat. Ada rasa malu dan bersalah yang luar biasa. Dengan kikuk kusapa dan segera kusalami tangan lelaki itu. “Pak Edo…” pucat pasi rasanya saat mendekati beliau. Seketika hilang semua rasa sebal dan muak.
“Lho, kok kamu, Man…ini ibumu ya?” tanya beliau bijak. Orang yang selama ini sering kumaki dalam hati, ternyata adalah pahlawan penyelamat.
Saat Pak Edo dan istri beliau berpamitan, berkali kuucap terimakasih. Sebelum masuk mobil, beliau pun sempat menyodorkan beberapa lembar uang berwarna biru kepadaku. Aku menolaknya, tapi beliau terus memaksa.
Aku kembali melangkah ke dalam puskesmas setelah mobil Pak Edo hilang dibalik tikungan. Hanya satu pikiranku saat itu. Aku hendak membeli buku Pintar Berbahasa Inggris seperti milik Yanto. Dan, aku berjanji dalam hati, akan belajar sungguh-sungguh. Yakinku, aku pasti tidak akan terkena stand-up lagi.
“Pak Edo, maafkan saya….” Desisku dalam hati. Tiba-tiba aku tak sabar pada pertemuan kami berikutnya di kelas, akan ada ode untuk Pak Edo, sebuah ucapan tulus dariku. Bukan lagi umpatan dalam hati, bukan lagi rasa muak, dan bukan lagi makian yang tersembunyi. Seketika, aku ingin berteriak, “Trimakasih Pak Edo……!“ lalu bisikku kembali, “Selamat tinggal stand-up…!”
***
____________
*) Atafras, nama aslinya Atrik Trisnowati Anisa Fitri Rasyida. Lahir di Surabaya 17 Oktober 1975. Aktif di KOSTELA dan FP2L. Seorang guru di SMP Negeri 1, Sekaran, Lamongan.