PERKARA NILAI BUDAYA

Djoko Saryono *

Yang menentukan sesuatu dalam masyarakat, organisasi, dan keluarga itu struktur ataukah budaya? Pernah ada jawaban dan diyakini sekian lama oleh banyak pihak bahwa budaya-lah yang paling menentukan keberadaan, kelangsungan, kemajuan, dan atau kelanggengan sesuatu dalam masyarakat, organisasi, dan atau keluarga. Dalam arus pendirian ini, sebagai misal, MCellend lalu berpendapat bahwa ketertinggalan atau keterbelakangan suatu masyarakat disebabkan oleh tiadanya semangat kemajuan dalam masyarakat tersebut, tidak ada virus NAch [Need for Achievement] dalam masyarakat tersebut. Sebagai contoh lain, ada pandangan bahwa ketertinggalan atau keterbelakangan ekonomi suatu masyarakat, misalnya masyarakat pribumi Indonesia, karena kaum pribumi -malas, tidak mau bekerja keras [yang kemudian melahirkan mitos pribumi malas].

Kita tahu, jawaban dan keyakinan akan peran-dominan budaya tersebut kemudian hari dibantah atau dinegasi secara total oleh berbagai kalangan. Dengan amat meyakinkan, mereka berpendapat bahwa struktur-lah yang paling menentukan keberadaan, kelangsungan, dan kelanggengan sesuatu dalam masyarakat, organisasi, dan keluarga. Sederet argumen dan bukti kemudian dikemukakan, misalnya, kemiskinan bukanlah disebabkan oleh budaya kemiskinan yang diikuti oleh orang miskin, tetapi struktur yang timpang dan tidak adil bagi orang-orang miskin [yang kemudian melahirkan konsepsi kemiskinan struktural, menggeser konsepsi budaya kemiskinan]. Keterpurukan kaum buruh disebabkan oleh ketakadilan struktur produksi atau struktur industri. Korupsi terjadi akibat struktur [sosial, birokrasi, dan atau politik] memungkinkan terjadinya korupsi.

Dari sinilah kita melihat ekstremitas dua pandangan. Pandangan dominasi peran budaya menafikan peran struktur pada satu sisi dan pada sisi lain pandangan dominasi peran struktur telah menafikan peran budaya dalam menentukan sesuatu dalam masyarakat, organisasi, dan atau keluarga. Kita juga tahu, ekstremitas kedua pandangan tersebut dipandang oleh banyak pihak kurang menguntungkan untuk menyelesaikan dan mengembangkan sesuatu dalam masyarakat, organisasi, dan keluarga.

Karena itu, berbagai pihak mencoba mengatasinya. Anthony Giddens, sebagai contoh terdepan, mencoba mengatasinya dengan menggunakan teori strukturasi; dan tokoh-tokoh lain mencoba mengatasi dualitas struktur dan budaya. Dalam teori strukturasi, Giddens berpendapat bahwa sesuatu ditentukan oleh faktor aktor atau pelaku [agency], struktur, dan budaya.

Ketiga faktor tersebut berinteraksi dan berkelindan dalam menentukan sesuatu, misalnya perubahan sosial. Di samping itu, ketiga faktor tersebut saling memengaruhi; artinya, dalam keadaan tertentu faktor aktor bisa saja memengaruhi budaya dan struktur; dalam keadaan yang memungkinkan bisa juga faktor budaya memengaruhi aktor dan struktur; dan struktur bisa saja memengaruhi aktor dan budaya. Besarnya pengaruh masing-masing ketiga faktor tersebut tidak sama atau sangat bergantung pada keadaan tertentu.

Karena itu, kemudian kita pun tahu bahwa kajian-kajian tentang peran aktor justru memperlihatkan keterbatasan peran aktor dalam menentukan sesuatu. Kajian-kajian tentang peran struktur menunjukkan keterbatasan struktur dalam menentukan sesuatu. Kajian-kajian tentang peran budaya justru menunjukkan betapa tetap berperannya budaya secara signifikan dalam menentukan sesuatu. Selaras dengan hal ini, sebagai contoh, dalam The Clash of Civilization Samuel P. Huntington menunjukkan bahwa perbenturan peradaban pada masa depan disebabkan oleh perbedaan gugusan [nebula] budaya. Dengan tegas-lantang Huntington mengingatkan bahwa benturan masa depan pada dasarnya benturan budaya. Bersama dengan Lawrance C. Harrison, dalam buku Kebangkitan Peran Budaya, Huntington juga menunjukkan kebangkitan peran budaya terutama bagaimana nilai-nilai budaya telah dan akan membentuk kemajuan manusia.

Kemudian dalam The End of History and Last Man, Francis Fukuyama juga telah menunjukkan ihwal akhir sejarah setelah kemenangan ekonomi kapitalisme dan demokrasi liberal. Robert Hefner pun menunjukkan keberadaan dan peran nilai budaya dalam perkembangan ekonomi pasar Asia. Ini semua mengimplikasikan, pada masa sekarang kedudukan dan peran budaya tetap signifikan di samping aktor dan struktur dalam menentukan sesuatu dalam masyarakat, organisasi, dan keluarga.

Tak heran, sekarang telah berkembang kembali pandangan bahwa keberadaan dan peran budaya khususnya peran nilai budaya [sebagai lapisan terdalam budaya] sangat penting atau strategis bagi maju mundurnya suatu lembaga, organisasi (baik ekonomi, sosial, maupun politik), dan masyarakat. Dalam lembaga ekonomi Max Weber telah lama menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi [Barat] didorong dan digerakkan oleh nilai-nilai etis Protestan atau etika Protestan. Pandangan ini kemudian banyak diteladani oleh berbagai pihak. Banyak pihak berusaha menggali keberadaan dan peran etika non-Protestan, misalnya Mohamad Sobari mencoba melihat etika Islam dalam menggerakkan ekonomi.

Para pakar manajemen korporasi juga membuktikan bahwa nilai budaya menjadi inti keberadaan dan kemajuan perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang berkembang pesat dan mampu melakukan lompatan kemajuan terbukti selalu memiliki dan atau mengembangkan nilai budaya tertentu yang mendorong perkembangan dan kemajuan perusahaan tersebut. Dalam lembaga sosial, misalnya sekolah yang maju dan unggul ternyata selalu memiliki nilai budaya tertentu, antara lain nilai mengejar yang terbaik (persuit of excellence). Budaya sekolah-lah yang menentukan maju mundurnya sekolah.

Demikian juga lembaga-lembaga politik, misalnya partai politik dan parlemen yang baik, selalu dilandasi oleh nilai budaya tertentu yang mendukung kebaikan tersebut. Partai politik dan parlemen tanpa nilai budaya yang jelas-kokoh tidak bakal mencapai tujuan mulia berpolitik, yaitu menyejahterakan dan membahagiakan rakyat. Selanjutnya, masyarakat yang maju niscaya juga memiliki nilai budaya yang mendukung kemajuan tersebut. Jadi, nilai budaya terbukti tetap menjadi sumbu-poros kemajuan atau kemunduran suatu masyarakat, organisasi dan keluarga, di samping tentu saja sumbu-poros aktor dan struktur.

Secara aktual, akibat berinteraksi dengan aktor dan struktur, nilai budaya tidak pernah tunggal betapapun rekayasa budaya atau politik budaya tertentu hendak menunggalkan, melainkan senantiasa majemuk dan beraneka ragam dalam suatu masyarakat, organisasi, dan keluarga. Misalnya, orang awam dan ilmuwan dapat dengan mudah membedakan antara nilai budaya Jawa dan nilai budaya Melayu. Banyak pakar manajemen juga begitu yakin ada perbedaan nilai budaya organisasi Toyota dengan nilai budaya organisasi Microsoft. Begitu juga nilai budaya keluarga petani berbeda dengan nilai budaya keluarga pegawai.

Kendati perbedaan ini mencerminkan adanya kemajemukan dan keberanekaragaman, tetap dapat ditemukan kemiripan atau kesejajaran di antara berbagai nilai-nilai budaya. Misalnya, terdapat kemiripan tertentu di antara nilai budaya Sunda, nilai budaya Jawa, nilai budaya Bali, dan nilai budaya Sasak. Demikian juga terdapat kemiripan atau kesejajaran tertentu di antara nilai budaya Toyota, Honda, Zuzuki, dan Yamaha. Karena itu, bisa dikatakan dengan cara lain, bahwa nilai budaya selalu memiliki keunikan dan partikularitas di samping keumuman dan universalitas; keunikan dan partikularitas mencerminkan adanya perbedaan nilai budaya, sedangkan keumuman dan universalitas mencerminkan adanya persamaan nilai budaya. Partikularitas dan universalitas itu melahirkan mosaik-mosaik dan gugusan-gugusan nilai budaya, yang kemudian dapat diidentifikasi, diklasifikasi, dikarakterisasi, dan diberi nama tertentu, misalnya budaya Timur dan budaya Barat; budaya Dayak, budaya Melayu, dan budaya lokal lain.

Dalam kenyataan [ke]hidup[an] kita, nilai budaya itu selalu dinamis atau berubah, tidak pernah statis atau mandek. Perubahan nilai budaya itu mencerminkan kemampuan adaptif nilai budaya, yang akan memampukan budaya untuk bertahan dan berkembang, sehingga dapat tetap eksis, segar, dan fungsional. Kemandekan suatu nilai budaya menggambarkan kegagalan nilai budaya dalam menanggapi dan mengelola kenyataan, tuntutan, tantangan, dan ancaman baru sehingga acapkali membuat suatu budaya yang disokongnya tenggelam, bahkan punah. Sudah demikian banyak contoh budaya di dunia ini yang tenggelam atau punah akibat gagal melakukan transformasi nilai budaya dan mengalami kemandekan.

Sebab itu, nilai budaya “yang hidup sehat” senantiasa bertransformasi secara dinamis tanpa mengalami disintegrasi berkepanjangan dan involusi; nilai budaya “yang sakit” akan selalu mengalami kegagalan bertransformasi dan mengidap disintegrasi dan involusi. Ini semua menandakan bahwa transformasi nilai budaya merupakan perintah kesejarahan [historis] suatu kebudayaan agar tetap hidup sehat dan berguna bagi pemangku budaya. Bagaimanakah transformasi nilai budaya itu?

Pandemi COVID-19 merupakan sebuah interupsi, bahkan disrupsi budaya yang menuntut adanya transformasi budaya terutama transformasi nilai budaya. Bisa dibilang, hal ini perintah historis budaya yang harus kita jalankan dan kelola dengan baik. Apa yang sekarang disebut normal(itas) baru atau pasca-pandemi COVID-19 merupakan suatu aras dan arah transformasi nilai budaya. Pertanyaan pokoknya: kemanakah arah transformasi nilai budaya? Nilai-nilai budaya apakah yang hendak kita transformasikan? Desain dan model transformasi nilai budaya seperti apakah yang kita ikuti — model linier, spiral ataukah sirkuler? Masalah transformasi apakah yang perlu diantisipasi agar prosesnya tak kikuk dan gamang, jangan sampai terperosok ke dalam dislokasi, disorientasi, dan transisi kepanjangan, apalagi disintegrasi dan involusi?

______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *