Pramoedya Ananta Toer Pernah Keliling Swiss


Sigit Susanto

Atas undangan dua organisasi sosial SOLIFONDS (Solidaritätsfonds für soziale Befreiungskämpfe in der Dritten Welt) dan HEKS (Hilfswerk der Evangelischen Kirchen Schweiz) di Swiss, Pramoedya Ananta Toer keliling Swiss pada tanggal 3-6 Juni 2002 ke empat kota besar: Zürich, Bern, Basel, dan Jenewa. Dari Indonesia Pramoedya ditemani oleh putrinya Astuti dan Johny Simanjuntak seorang pengacara dari ATMA (Advokasi Transformasi Masyarakat) di Solo. Dalam membacakan karyanya Pramoedya didampingi Brigitte Schneebeli, penerjemah karya-karya Pramoedya dalam bahasa Jerman. Bertempat di gedung Literaturhaus, Limmatquai 62, kota Zürich sore itu 3 Juni 2002 sudah banyak hadirin yang datang, meski ada hujan rintik-rintik.

Di pintu masuk, seorang kawan Indonesia memberi tahu, kalau dirinya tak dapat tempat duduk. Hadirin yang datang tanpa reservasi terpaksa harus ditampung dalam “waiting list”. Menjelang pembacaan karya Pramoedya jam 20.00 waktu setempat, hadirin yang masih waiting list, dipersilahkan masuk, walau harus berdiri dan ada yang duduk di lantai. Diperkirakan semua yang hadir ada 70-an orang, baik orang Swiss sendiri maupun warga Indonesia yang bermukim di Swiss. Pramoedya masih tampak tegar mengenakan baju batik warna biru dan jaket kuning krem duduk di meja bersama Brigitte. Acara dibuka dengan sambutan singkat dari pihak sponsor dan panitia. Sebelum Pram memulai bicara, dia membuka topi warna krem yang dikenakan. Pram berusia 77 tahun, tapi ternyata suaranya masih keras dan tegas, identik dengan kepribadiannya yang kokoh, walau pendengarannya sudah berkurang dan rambutnya sudah beruban semua.

Sambutan pembukaan Pram:
Ini malam atau sore? (Pen: Banyak hadirin yang tertawa, menjelang musim panas ini, meski sudah pukul 20.00, namun langit masih tampak terang). Selamat malam para hadirin. Suatu kali datang Johny Simanjuntak mengundang untuk datang ke Swiss, karena ada undangan dari SOLIFONDS dan HEKS. Waktu itu saya sedang sakit, saya minta waktu dua bulan. Dalam proses kesembuhan itu, Johny Simanjuntak datang lagi dan dia tanyakan apakah menerima undangan itu? Saya berpikir, saya sama sekali tidak mengenal Swiss, sebab di SD, Swiss tidak pernah diajarkan. Yang diajarkan: Belanda, Prancis, dan Inggris, tapi Swiss tidak disebut-sebut. Oleh karena itu saya tidak pernah baca karya sastrawan Swiss.

Undangan saya terima, walau tak tahu apa-apa. Pada waktu saya datang, saya geleng-geleng kepala. Semuanya hijau, air-air bersih tanpa sampah, jalan-jalan dengan lalu lintas yang rapi. Semua saya rasakan menyenangkan di Swiss. Untuk itu, saya hormat pada yang membuat suasana seperti itu, tidak pernah di impian, melihat negeri seperti ini. Terima kasih atas undangan dan seluruh rakyat Swiss.”

Tepuk tangan bergemuruh, saat Pram selesai memberi sambutan. Dilanjutkan Brigitte memperkenalkan diri dan membacakan biografi Pram secara singkat. Pram membacakan karyanya tentang sebuah surat yang dikirim untuk anaknya, namun tak pernah sampai. Suara Pram yang keras dan tegas itu memukau hadirin dan tenggelam dalam lautan keheningan. Setiap paragraf Pram berhenti membaca dan diteruskan dengan terjemahan bahasa Jerman oleh Brigitte. Surat permenungan itu merupakan rangkaian ucapan selamat untuk pernikahan anak perempuan Pram yang paling besar yang di dalamnya juga berisi cerita sekitar perjalanannya bersama 800 orang tahanan politik (TAPOL) yang diangkut dengan kapal laut menuju “Happy Land” Pulau Buru. Pulau yang lebih besar dari Pulau Bali, terletak di Maluku.

Di kapal yang mengangkut para TAPOL itu ada radio yang sering mendendangkan lagu-lagu keroncong, fatwa orang gereja, juga wejangan pejabat yang memberi selamat bagi para TAPOL yang akan memulai hidup baru di Pulau Buru. Ombak bergulung-gulung membuat banyak orang mabuk, karena kebanyakan para TAPOL itu belum pernah melihat laut, walaupun katanya nenek-moyang mereka adalah bangsa maritim. Mereka sakit, mereka kelaparan, mereka tersiksa. Sebelum membacakan paragraf berikutnya, Pram sempat bertanya: Apa hadirin sudah bosan? Hadirin tertawa dan tepuk tangan sambil menjawab serempak: Belum.!

Pram mengakhiri bacaan suratnya: Pulau Buru bagian selatan, pagar ganas, ladang bocel-bocel bertopi ilalang, mendarat dikawal Divisi Patimura dengan senapan dan tinju, ayahmu menuruni kapal. Pembacaan surat untuk anaknya itu berlangsung hingga sekitar 40 menit kemudian dilanjutkan dengan acara diskusi. Pertanyaan pertama datang dari orang Swiss. Kemudian penanya saling bergantian antara orang Swiss dan orang Indonesia.

Tanya: Apakah surat itu sudah pernah diterima anaknya?
Pram: Tidak.

T: Bapak masuk penjara pada usia muda, apa boleh membaca?
P: Saat menjadi tahanan Belanda, tidak hanya boleh baca, tapi juga menulis. Dalam tahanan Orde Baru, ada seorang yang baca potongan koran, ditangkap, kedua tangannya diikat, dan esoknya sudah mengambang di sungai. Dalam tahanan Orde Baru, hanya agama yang boleh dibaca, syukurlah ada misi Katolik yang mengedarkan buku-buku bacaan lain secara sembunyi-sembunyi dan dibaca para tahanan secara bergantian.

T: Ada masalah di Indonesia sekarang antara konflik Kristen-Islam, bagaimana bapak melihatnya?
P: Apa yang terjadi baik konflik horisontal maupun vertikal, tampaknya keadaan ini di perlukan, agar korupsi selamat. Untuk itu bentrokan di mana-mana tanpa bisa dihentikan. Jawaban saya, bentrokan seperti diatur. Di Indonesia ada penganggur 15 juta. Kerja apa saja, bila dapat uang.

T: Bagaimana bisa punya tenaga untuk menulis terus?
P: Tenaganya adalah perlawanan.

T: Apakah keluarga anda juga ikut menanggung kesulitan?
P: Tentu saja. Dua minggu setelah peristiwa G 30S, rumah beserta isinya disita. Istri, anak tak bisa masuk rumah sendiri, tanpa punya baju, numpang sana-sini dan apa yang dirampas hingga kini belum dikembalikan.

T: Bapak kenal dengan Romo Mangun, bagaimana kesannya? P: Saya hanya sekali bertemu Romo Mangun di Pulau Buru dan dia bilang: saya akan menulis seperti Pak Pram dan ternyata dia lakukan itu, karena dia menulis mulai usia sekitar 40-an.
T: Apakah ada impian-impian bapak di penjara yang sudah terealisasikan pada pemerintah sekarang?
P: Perubahan dasar belum ada, karena masih banyak orang Orba.

T: Apakah bapak tidak mengalami kesulitan mengumpulkan daftar orang-orang yang meninggal dan tidak ada kabar beritanya, padahal masih dalam penjara? P: Tidak, karena saya tanya pada bagian kesehatan, termasuk menjajagi wanita-wanita Jawa yang dijadikan pelayan seks, yang katanya akan dibawa ke Tokyo dan Singapura untuk melanjutkan sekolah, ternyata sebagai obyek seks tentara Jepang. Oleh penduduk setempat wanita-wanita itu diburu seperti binatang dan ditangkap untuk dimiliki, bisa disewakan atau dijual.

T: Tentang wanita Jawa yang dijadikan pelacur orang Jepang, apakah susah naskah itu diterbitkan?
P: O, semua naskah saya selundupkan. Dibawa tukang motorboat ke pelabuhan pada bagian logistik, yang menerima seorang pastor orang Jerman bekas tentara Nazi Jerman. Perlu diketahui, pada saat ke luar dari tahanan, semua kertas saya dirampas, jadi gereja Katolik yang menyelamatkan.

T: Saya pernah membaca artikel, bahwa Pak Pram bersahabat dengan Günther Grass, bahkan pernah mengunjungi Grass di Hamburg beberapa tahun lalu. Pada tahun 1999 Grass mendapat hadiah Nobel sastra dan Pak Pram ikut pidato menyambut Grass di Goethe Institut di Jakarta, juga Pak Pram pernah mendapat sebuah lukisan dari Grass yang dititipkan Arief Budiman. Pertanyaan saya, karena Pak Pram sudah lama menjadi kandidat peraih nobel sastra, namun hingga kini tak kunjung datang, bagaimana perasaan Pak Pram? P: Saya tak pernah mengharapkan dari luar.

T: Keadaan Indonesia yang tidak menentu ini, bagaimana menurut pandangan Pak Pram? P: Persoalan Indonesia, saya malu bicara tentang Indonesia. Di koran, Indonesia di gambarkan sebagai orang “Sakit” di Asia Tenggara. Tidak ada “Karakter”. Untuk itu Soekarno benar, yang perlu diupayakan itu “Nation and Character Building”. Elit Indonesia tak punya karakter. Sebagai contoh: waktu Orde Baru lahir, membunuh dua juta manusia, seluruh intelektual tiarab. Itu tidak adanya karakter. Kalau ada perlawanan dari intelektual, itu yang dari luar negeri. Tapi dari dalam negeri praktis tidak ada.

Sekitar pukul 22.00 acara diskusi selesai. Pram memberikan tanda tangan pada hadirin yang membeli bukunya. Beberapa buku Pram dalam bahasa Jerman banyak dibeli oleh hadirin. Seorang perempuan Eropa menyodorkan rokok kretek cap Gudang Garam pada Pram, namun Pram menolak dan merogoh dari sakunya sendiri rokok kretek cap Djarum.

Di sela-sela acara santai itu, Sigit Susanto, pegiat sastra yang bermukim di Swiss dari komunitas sastra Bumi Manusia memberikan buku Antologi pada Pram. Sigit menerangkan, bahwa ada komunitas sastra di Internet dengan nama Bumi Manusia, karena kami pengagum novelnya Pak Pram (http://groups.yahoo.com/group/bumimanusia/)

Komunitas sastra itu sudah menerbitkan buku Antologi dari berbagai penulis baru. Setelah Pram memperhatikan sejenak buku tersebut, dia mengulurkan tangannya sambil mengucapkan terima kasih. Sehari sebelum acara pembacaan karya Pram, TV Swiss menayangkan singkat kehadiran Pram di Swiss. Disebutkan Pram sebagai kandidat peraih Nobel sastra dari Indonesia. Dalam tayangan tersebut Pram berbaju batik cokelat berdiri di teras rumah, kemudian Pram naik Tram di kota Zürich didampingi putrinya Astuti. Pram mengatakan: “Di dunia ini semua punya makna. Ketidak-adilan juga punya makna, apa maknanya? Maknanya yaitu harus dilawan”.

Pada kesempatan yang berbeda, PPI-Swiss dengan diwakili beberapa anggotanya juga mendatangi Restoran Indonesia di kota Zürich, dimana Pram makan malam. Di situ mereka mendaulat Pram. Koran terbesar di Swiss NZZ (Neue Zürcher Zeitung) edisi 3 Juni 2002 menurunkan wawancara khusus dengan Pram.
***

[Keterangan: foto tahun 2002, ketika Pramoedya keiling Swiss, Spanyol dan Portugal, diantar putrinya Mbak Astuti Ananta Toer dan Mas Simanjuntak, kini anggota DPRD dari PDI-P]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *