Anindita S. Thayf *
Radar Mojokerto, 19/07/2020
Seseorang pernah berkata, “Bahkan penulis pun butuh piknik.” Tak disangka, ide serupa juga pernah diungkapkan Nietzsche puluhan tahun lampau. Saya baru mengetahuinya saat membaca karya sang filsuf berjudul Mengapa Aku Begitu Pandai. Nietzsche ternyata suka rekreasi dan menganggapnya sebagai sesuatu yang mesti dilakukan. Saking pentingnya hal itu, Nietzsche memasukkan rekreasi sebagai satu dari tiga unsur yang mempengaruhi kepandaiannya.
Nietzsche memang filsuf, juga penulis, yang pandai. Nietschze juga murah hati karena, lewat karyanya itu, dia sudi berbagi resep mengapa dia begitu pandai. Resepnya sederhana karena bahannya cuma tiga. Biarpun sederhana, hasil resep tersebut sungguh luar biasa. Zarathustra buktinya. Sebuah maha karya yang menunjukkan kepandaian Nietzsche dan terus dibaca hingga hari ini, serta sanggup membuat pembacanya merasa begitu butuh piknik bahkan sebelum tiba di halaman terakhir buku itu.
Menurut Nietzsche, agar menjadi pandai sebagaimana dirinya, seseorang butuh tiga hal: makanan, tempat (dan iklim), rekreasi. Untuk makanan, dia menyuruh agar membiasakan makan yang baik dan bergizi, memilih makanan/minuman yang tepat, serta menghindari makanan yang membosankan. Nietzsche mencontohkan dirinya yang, setelah menenggak minuman yang tepat, bisa menulis esai panjang berbahasa Latin, lalu membuat banyak salinannya, dalam sekali duduk. Semua itu ditulisnya dengan tangan.
Adapun tempat (dan iklim), masih menurut Nietzsche, sesungguhnya sangat berpengaruh dalam, “… mengubah seorang genius menjadi medioker,” dan sebaliknya. “Kesalahan sehubungan dengan tempat dan iklim tidak hanya membelokkan siapapun dari tugasnya tetapi bahkan menjauhkan tugas itu darinya,” tambahnya lagi.
Untuk rekreasi, Nietzsche lebih memilih membaca buku bagus dan mendengarkan musik bagus ketimbang pergi piknik atau bertamasya. Buku-buku bagus membuatnya bisa melompati batas, meluaskan pandangan yang sempit, dan memberikan rangsangan untuk berpikir. Sementara itu, musik bagus membuatnya bergairah.
Tiba-tiba, saya teringat pada program residensi yang diminati banyak penulis itu. Sungguh kebetulan, dalam program tersebut, khususnya program residensi ke luar negeri, ketiga bahan yang diperlukan untuk menjadi pandai ala Nietzsche tersedia dalam kualitas terbaik. Setiap penulis yang diimpor ke negara pilihannya akan mendapatkan semua bahan itu secara gratis. Dimulai dari makanan.
Sebagai penulis, saya menyetujui argumen Nietzsche yang menomorsatukan perut dalam bekerja. Intinya, dari perut turun ke pekerjaan atau karya, bagi penulis. Di luar negeri sana, setiap peserta residensi tentu bakal menyantap makanan khas negeri itu yang dibuat dengan citarasa asli dan kualitas yang sebaik makanan restoran di Indonesia. Umpamanya, bistik daging sapi premium, pizza dengan keju nomor satu dan resep roti asli, atau anggur merah terbaik. Kepuasan menyantap menu seperti ini dijamin mampu mendorong semangat menulis sebagaimana ungkap Nietzsche.
Jujur saja, sejak berumah di Blitar, Jawa Timur, saya sudah bosan makan nasi pecel setiap sarapan. Sesekali, kebosanan semacam ini mempengaruhi semangat menulis saya. Itulah mengapa terkadang saya ingin menyantap sesuatu yang lebih bervariasi, seperti masakan chili Amerika, yang sayangnya tidak ada di tempat tinggal saya. Alih-alih berpikir mendaftar residensi ke Amerika Serikat, saya lebih memilih memasaknya sendiri dengan menyontek resep dari internet.
Kedua, soal tempat (dan iklim). Pengaruh unsur yang satu ini paling cepat terlihat dalam bentuk foto. Begitu si penulis pilihan tiba di negara tujuan residensi, foto-foto dirinya yang sedang berpose di dekat papan nama bandara udara internasional atau sudut-sudut kota berpemandangan ala negeri empat musim langsung mengisi halaman sosial medianya. Foto-foto yang berlatar belakang gedung kampus, toko buku terkenal, museum, perpustakaan hingga tempat-tempat bersejarah, entah bersama satu-dua orang asing atau sendirian, tidak lupa pula disertakan sebagai bukti bahwa tujuan residensi yang sesungguhnya telah tercapai. Yaitu, untuk mencari bahan tulisan dan memperluas jaringan.
Mengabaikan hari-hari jet lag usai kedatangan, waktu residensi yang hanya beberapa minggu dan proses penelitian yang memakan waktu, foto-foto itu selalu menampakkan wajah bahagia si penulis. Sepertinya keriangan berada di tempat yang tepatlah penyebab hal itu terjadi.
Jika demikian, sungguh benar ucapan Nietzsche bahwa jiwa yang bebas bisa menjadi sempit, tertutup, suka marah-marah hanya karena berada di iklim yang salah. Sebaliknya, seseorang bisa menjadi pandai, bahkan genius, jika berada di tempat dan iklim yang tepat. Barangkali itulah mengapa produktivitas menulis saya agak menurun tahun kemarin. Penyebabnya pasti musim kemarau panjang yang melanda Indonesia hingga membuat suhu siang hari selalu sekitar 34°-35° Celcius di tempat saya. Untuk mengatasinya, saya tidak berpikir kabur sebentar ke Paris, tapi cukup dengan membeli kipas angin besar dan menyetelnya sepanjang siang.
Ketiga, rekreasi. Pentingnya hal ini tidak perlu diragukan lagi, terutama bagi penulis yang bekerja mengandalkan imajinasi. Serupa ponsel, imajinasi harus selalu diisi ulang, salah satunya lewat rekreasi. Berbeda dari Nietzsche, sebagian besar penulis masa kini lebih memilih berekreasi dengan cara pergi melancong ketimbang membaca buku. Piknik pun menjadi salah satu kebutuhan utama mereka, apalagi piknik ke tempat yang jauh, seperti luar negeri.
Seorang penulis yang kehabisan energi berimajinasi, bahkan untuk membayangkan kondisi sebentang jalan di Inggris pada masa Raja Arthur, misalnya, membutuhkan bantuan khusus agar bisa menyelesaikan karyanya. Dalam kondisi macet begini, si penulis yang tidak mampu lagi mengasah imajinasinya lewat buku dan riset pustaka itu merasa perlu turun langsung ke lapangan untuk meneliti sambil menghirup udara segar sekalian berjalan-jalan. Saat inilah peran program resindensi baru terlihat pentingnya. Residensi memberikan kesempatan kepada seorang penulis untuk meneliti sekaligus berekreasi di tempat pilihannya. Sebuah rekreasi yang berkelas sebab selain diberikan hanya kepada orang-orang pilihan, ia juga mampu membuat para penulis yang bersangkutan dianggap telah naik kelas setara maskapai penerbangan yang mereka gunakan: internasional
Pada akhirnya, dari kesadaran atas kepandaiannya, Nietzsche bisa menghasilkan buku-buku yang bagus. Bermodalkan ketiga bahan seadanya dari resep di atas, saya berharap bisa pula meniru jejak sang filsuf dalam menghasilkan buku-buku yang bagus. Pun, para peserta residensi yang telah kembali semoga memendam harapan serupa dan mampu mewujudkannya tidak hanya dalam bentuk rencana di artikel situs berita, melainkan sebuah karya nyata yang bisa dibeli di toko buku.
***
__________________
*) Anindita S. Thayf lahir pada 5 April 1978 di Makassar. Menulis cerpen dan novel. Novelnya, Tanah Tabu (Gramedia Pustaka Utama, 2009), menjadi juara I lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2008, finalis Khatulistiwa Literary Award 2009, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Daughters of Papua (Dalang Publishing, San Francisco, 2014).